George pada mulanya. Hanyalah seorang anak kecil yang iri pada seorang lelaki yang sangat dipuja—dipuji, oleh banyak orang. Pada permainannya, anak-anak lain akan berkata “ia pantas menang karena ia adalah George.” Dan cibiran yang menyebalkan akan terdengar, “sungguh memalukan seorang George kalah.” Hidupnya selalu dibayangi akan kebesaran nama lelaki yang perlahan sangat dibencinya. Lelaki yang meniduri ibunya, sehingga menyebabkan George kecil lahir ke dunia.
Pada hari Minggu, George selalu mendatangi gereja. Ia datang paling pagi, membantu para pastur untuk menyiapkan upacara. Menggantung kantung-kantung di ujung bangku. Mengisi air di cawan perak, dan memasang rangkaian bunga di atas altar. Ia melakukan itu untuk menghindari ajakan ayahnya berangkat ke Gereja bersama. Seusai Misa, ia akan segera memacu cepat sepedanya, pulang ke rumah. Ia tidak ingin siapapun mengajaknya berbicara—yang akan memujinya, betapa beruntungnya ia dilahirkan ke dunia sebagai George Junior. Ia membencinya.
George tidak pernah ingin ayahnya hadir pada tiap perayaan di sekolah, karena hanya akan membuatnya malu. Membuatnya tampak bukan sebagai apa-apa, selain sebagai George kecil. Dan ia sangat membenci itu. Ia sangat ingin berteriak “ Hei, ada apa dengan kalian? Aku adalah George, bukan bayang-bayang George.” Tapi George tidak pernah bisa meneriakkan itu, dan ia sangat tahu, ia tak pernah bisa meneriakkan itu, hanya teriakkan dalam hati atau goresan tebal pada kertas kusam yang langsung dihancurkannya.
Hingga pada suatu pagi, George terbangun dari tidur. Ia memutuskan untuk berdamai dengan perang yang dialaminya. “ Ini adalah gencatan senjata, kita harus mengatur strategi yang lebih hebat,” pikirnya. Di meja sarapan, ia bertanya pada ayahnya. “ Dad, maukah kau mengantarkanku ke sekolah?” Pagi itu, ia melupakan sepedanya, dan membiarkannya usang dalam garasi.
George memilih diam dan mendengarkan pembicaraan ayahnya. Ia berharap mobil lebih cepat tiba di sekolah. “ Ketika aku kecil, aku tidak pernah diantarkan ayahku pergi ke sekolah. Perang memaksanya untuk berada jauh dengan kami, dan ia tak pernah kembali. Aku sangat membenci perang.” Kakek George adalah seorang pilot pesawat tempur, ia meninggal di Afrika. George kecil tidak pernah melihat kakeknya. Pagi itu, George tahu apa yang harus dilakukannya. George memulai dengan memperpanjang jam belajarnya, dalam satu semester, ia diakui sebagai anak paling cerdas di sekolah. Selain itu, ia mengikuti klub olahraga rugby, di sana, ia menjadi kapten, ditakuti oleh semua lawan.
George mendaftarkan dirinya pada program akselerasi. Di usia enambelas tahun, ia tercatat sebagai mahasiswa di universitas. Ia menikmati kehidupan kampusnya. Pesta di Sabtu malam dan seks yang menyenangkan. Berada jauh dari ayahnya.
“ Ini tiket kepulanganmu,” seorang Profesor tua memberikan amplop berisi tiket penerbangan. Ia tahu untuk apa. Rumahnya kini dipenuhi oleh orang-orang yang selalu menghiasi layar televisi. Selebritis, politisi dan pengusaha-pengusaha kaya, yang hanya tahu soal keuntungan dan kesenangan. Ibunya, bergaun hitam. Duduk sendu di samping peti mati. Ia datang, memberikan bahunya untuk sandaran tangisan. Ia tidak menangis.
George berada di barisan paling depan, iring-iringan yang mengantarkan jenasah ke Gereja. Di sana, ia sampaikan pada pelayat, kematian ayahnya adalah sebuah misteri kehidupan. Tidak pernah ada yang menginginkan, tiga tembakan peluru bersarang di dada, untuk mengantarkan nyawa pada kematian. Dan tidak akan pernah ada, keabadian selamanya. George membayar duaribu dollar untuk tiga peluru. Letusan salvo menandakan, dia adalah pemenang. Atas perang yang berlangsung seumur hidupnya. Ia bisa menjadi George, tanpa bayang-bayang George.
George memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Ia mendaftarkan diri di Angkatan Darat.. Ia sangat menyukai perang. Letusan peluru adalah nafasnya, tatapan kengerian adalah senyumnya, yang menemani nyawa-nyawa meregang. Lemparan granat, adalah sebuah kesenangan lain, yang hanya ia sendiri dapat merasakannya. Perang adalah hidupnya. George adalah pahlawan. Meski kini ia tidak lagi di medan pertempuran, ia tetap mencintai perang. Dan ia sangat berterimakasih pada ayahnya, yang sangat membenci perang. Pada kakeknya, yang tak pernah ia lihat wujudnya, yang mati dalam perang.
George adalah pahlawan. Meski ratusan orang membencinya, tidak berbanding dengan jutaan para pengikutnya. Ia adalah pahlawan. Perang adalah kehidupannya. Untuk hidup, ia selalu menciptakan perang. Perang yang menyenangkan kolega-koleganya. Yang tak segan-segan memberikan lembaran-lembaran dollar, pada tiap perang, dan keberhasilan perang yang dibuatnya. Perang yang memacu para ilmuwan untuk menunjukkan kehebatannya. Pada tiap perang dan keberhasilan perang. Perang yang menggairahkan prajuritnya, orang-orang buangan untuk menunjukkan nasionalismenya. Perang yang selalu membuat ia tertawa. Perang adalah pekerjaan. Ia selalu berpesan, “pergilah berperang, dan kau akan menjadi pahlawan, dalam perayaan kematianmu.”
Hingga pada suatu malam. Ibunya, mengenakan gaun terusan hitam. Wajahnya tampak berkilauan. Dalam temaram dan hidangan makan. “ Ibu menyaksikan, ribuan orang membentangkan spanduk, mereka berjalan dan berteriak. Lelaki dan perempuan.”
“Dan?”, jawab Goerge. “ Aku menyaksikan, anak-anak bertubuh kurus, mereka kelaparan. Aku menyaksikan, perempuan-perempuan histeris menangisi anak lelakinya. Mereka membencimu George.”
“ Ibu bermimpi?”
“Tidak, aku menyaksikan perang melalui televisi. Bertahun-tahun sejak kematian ayahmu.” “ Ayolah Bu, kau adalah perempuan berpendidikan. Kau tahu, televisi adalah sebuah kebohongan. Televisi hanya meracuni otakmu, tanpa sesuatu yang bermanfaat.” Goerge menyantap hidangan, “ masakanmu selalu yang terlezat.”
Ibunya kembali meneruskan pembicaraan. Tentang perang, tentang kelaparan, tentang kematian, membuat George bosan. Hingga setelah diamnya, ia melanjutkan.
“ Masakanku memang selalu lezat. Ayahmu, tidak pernah ingin memakan masakan orang lain. Jika ia pulang, ia akan segera membuka open dan bertanya girang, “Lihat, apa yang kudapatkan.” Ia lelaki yang menyenangkan.”
George menghentikan makannya, ia usap lembut pipi ibunya, basah airmata. “Kau percaya George, pada karma? Pada kehidupan setelah kematian?” George kembali pada kursi, mendudukinya. Ia sangat mencintai ibunya. Pada masa kecilnya, ibunyalah yang mendatanginya, saat tangan George kecil berlumuran darah. Ia membunuh Rainbow, anjing kesayangan ayahnya. Ia berkilah, Rainbow menggigit celana barunya, ia hanya mempertahankan diri. Saat menggali tanah, ia berpesan jangan sampai ayah tahu, ayahnya sangat tidak menyukai pembunuhan, bagaimanapun caranya.
Pada akhirnya, George hanyalah seonggok tubuh tanpa nyawa. Sendiri dalam kematian. Tenggorokannya tercekat. “ Ibu meracuniku!!!” Suaranya lirih, nafasnya tak beraturan.
“ Tidak George, ibu hanya melakukan, apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu.”
George terdiam. Ibunya menelpon beberapa orang, “ Maukah kau datang malam ini ke rumahku? Untuk sebuah perayaan kematian?”
Pisangan, 5 November 2006.
Dimuat dalam antologi cerpen “Perayaan Kematian” 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Si lugu membuat kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu manusia.
bacalah 100 tahun kensunyian, gracia marques....ok
aduhhh....aduhhhhh silugu ternyata sedang di babtis.
untuk menjadi manusia seutuhnya....
Post a Comment