18.1.08

Aku Mengonsumsi Maka Aku Ada

“Runtuhlah kekuatan teologis, berjayalah kekuatan teleonomis” Jean Baudrillard

Kolonialisme masih hidup. Namun bukan dalam wujud fisik. Kolonialisme yang dimaksud adalah kolonialisme dalam bentuk tanda. Keseharian hidup kita, terutama yang tanggal di perkotaan, setiap detiknya tidak akan pernah lepas dari jeratan ‘shock terapi’ billboard-billboard, pamflet-pamflet, dan iklan konsumerisme. Slogan-slogan ‘licik’ dengan wajah dan kata-kata yang manis, persuasif, dan penuh gairah terus ditayangkan terkhusus melalui media. Untuk itu siapa pun tak akan menyadari bahwa dirinya sedang terhegemoni, terjajah oleh tanda dan citra yang menawarkan kebebasan, kenikmatan, dan kebahagiaan hidup, yang tentu saja fetish dan semu.

Begitu juga dalam ikonografi (penandaan) yang dibuat oleh para penguasa, khususnya penguasa ekonomi, di dalamnya terkandung nilai-nilai yang direkayasa dan dipaksakan. Kita tidak bisa menentukan dan mengidentifikasi sendiri nilai-nilai yang berkenaan dengan istilah ‘bagus’, ‘modern’, ‘keren’, ‘canggih’, ‘maju’, ‘berperadaban’, dan lain sebagainya berdasarkan versi kita sendiri. Sebab canon-canon indokstrinisasi dan propaganda adalah hak mereka, produksi adalah hak mereka, sementara kita hanya cukup diberikan peran sebagai konsumen pasif.

Barthes mewartakan inilah era postmodernisme. Sebuah zaman yang mengagungkan budaya massa. Indikasinya; konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda mengalahkan nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan. Era postmodern, yang didalamnya terdapat budaya massa, adalah kurun sejarah yang memuja bentuk dan penampakan ketimbang kedalaman, kenikmatan ketimbang kekhusukan, serta mengejar keuntungan ketimbang kemanfaatan. Televisi, iklan, shopping mall, video game, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, sampai senam seks adalah sederet ikon gaya hidup dan kosakata baru budaya massa.

Mengutip Jean Budrillard, sejarah budaya massa dapat dilacak semenjak era "Roti dan Sirkus" dalam masa kekaisaran Romawi. Budaya massa pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta rakyat yang diselenggarakan setiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia bersifat massal karena tidak hanya terbatas bagi kalangan keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian semakin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Prinsip-prinsip seperti produksi massal, pembiayaan yang rendah, standarisasi, penyeragaman selera dan citarasa, menjadi hukum baru proses produksi.

Dalam pengertian itu, budaya massa dipahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi dalam bentuknya yang lebih halus dan lebih memikat. Budaya massa ditumbuhkan dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen; khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli.

Oleh sebab itu dalam realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya-tinggi, agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya rendah atau pinggiran. Budaya-tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya yang dikomersialkan. Dengan industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi percetakan, secara perlahan-lahan terjadi proses transformasi sosial. Perubahan ini didorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi mekanik berskala massal dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.

Merebaknya budaya massa didukung oleh perkembangan kapitalisme lanjut – yang mengintegrasikan ilmu dan teknologi sebagai tulang punggungnya. Dalam kerangka kapitalisme lanjut, tujuan utama budaya massa, tentu saja adalah untuk kepentingan memperoleh keuntungan. Budaya massa merupakan salah satu strategi budaya yang disodorkan kapitalisme untuk menciptakan produk-produk massal, melalui industri produksi massal untuk konsumer yang massal pula. Lewat produk-produk budaya massa, kapitalisme berusaha memperbesar margin keuntungannya sampai batas yang tak terhingga. Semakin luas jangkauan penyebaran budaya massa dan budaya populer, maka semakin besar kapital yang dapat dikeruknya.

Menurut Barthes, karakter budaya massa dicirikan oleh sifatnya yang baku, standar, merupakan hasil duplikasi dan reproduksi. Budaya massa merayakan kesenangan yang dangkal, sepele dan sentimental, sembari menolak nilai-nilai yang otentik, luhur dan sakral. Maka budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang otentik.

Dalam buku ini penulis memaparkan bahwa sejalan dengan karakter khas budaya massa, terbentuklah konsepsi khas khalayak konsumer budaya massa. Khalayak budaya massa adalah para konsumen pasif, individu-individu yang rentan terhadap manipulasi dan bujukan media massa, tunduk pada daya tarik hasrat untuk selalu dan selalu membeli, menikmati kesenangan semu konsumsi massa dan merupakan objek eksploitasi komersial. Inilah massa yang nyaris tanpa pikiran, tanpa kemampuan berefleksi, tanpa kemampuan bernalar secara kritis, selain hasrat yang besar untuk mengkonsumsi dan mengkonsumsi.
Sebagai massa, mereka kehilangan kualitas dan identitas kemanusiaannya. Karena massa adalah keramaian: sejumlah besar individu yang tak mampu mengekspresikan dirinya sebagai manusia, karena berhubungan dengan orang lain tidak dalam kerangka individu ataupun anggota suatu komunitas – bahkan, mereka samasekali tidak berhubungan satu sama lain – melainkan sekedar berhubungan dengan sesuatu yang abstrak, berjarak, sesuatu yang bersifat non-human: seperti keramaian permainan sepakbola atau penjualan obral, sistem produksi industrial atau pun massa partai atau negara. Manusia massa adalah semacam atom yang teralienasi, seragam dan nyaris tak bisa dibedakan dengan ribuan bahkan jutaan atom lain yang membentuk "keramaian yang sunyi”.

Selanjutnya, menurut Barthes, budaya massa juga membawakan gagasan meledaknya nilai-tanda dan nilai-simbol di atas nilai-guna dan nilai-tukar. Karakter khas budaya massa dan budaya populer yang bersifat massal, dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman – sekaligus mengisyaratkan lebih diterimanya simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau maknanya. Merebaknya persaingan gaya hidup – dengan pelbagai simbol budaya pendukungnya: handphone, credit card, pakaian; diserbunya pusat-pusat perbelanjaan, kursus kecantikan atau bahkan iklan operasi plastik – sebagai simbol dominannya penampilan; sampai merebaknya paket wisata-budaya yang mengemas upacara adat, kesenian tradisional dan keunikan budaya etnis lokal, adalah beberapa bukti lebih dominannya nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realiatas budaya massa.

Melalui iklan, kampanye, tayangan talk show, dan gempuran pelbagai informasi melalui media massa, konsumen dirayu untuk mengkonsumsi lebih dan lebih banyak lagi. Dalam mekanisme komunikasi seperti ini, tak ada lagi pesan, tak ada lagi makna, kecuali semata dorongan memikat untuk mengkonsumsi apa yang ditawarkan. Konsumen adalah, mengutip Baudrillard, "mayoritas yang diam" (the silent majorities), yang pasif menerima segala apapun yang masuk ke dalam tubuh dan pikirannya, menelannya mentah-mentah tanpa pernah mampu merefleksikannya kembali dalam kehidupan yang sebenarnya, dan bahkan hanyut dalam gelombang deras budaya massa.

Mengutip Idi Subandi Inrahim, dalam pengantar buku, inilah karya Barthes yang paling banyak dibaca, yang memperlihatkan bahwa Barthes adalah penganalisis yang paling jeli ihwal sosiopatologi kehidupan sehari-hari. Buku ini memiliki cakupan yang luas tentang berbagai praktek, peristiwa dan objek budaya. Setelah membaca buku ini, Anda akan melihat kehidupan keseharian dalam suatu pemahaman baru. Barthes mengajari kita untuk tidak lagi melihat dunia dengan mata sang penerima pengakuan dosa, atau fisikawan, tetapi dengan mata manusia yang berjalan-jalan di kotanya tanpa horison apa pun selain tontonan semata di hadapannya, tanpa kekuasaan selain matanya sendiri.

Epung Saepudin Kader FPPI
(Naskah ini pernah dipublikasikan di Media Indonesia, 14 Juli 2007

Alamat Baru

Kawan2, untuk memudahkan orang lain (dan tentu diri kita sendiri) untuk mengingat nama blog ini, mulai sekarang blog FPPI bisa diakses dengan domain [ www.fppi.co.cc. ].

Namun demikian, www.fppi.blogspot.com juga masih dapat dipakai sehingga tidak akan menyulitkan kawan kawan yang lain yang belum mengetahui informasi ini.

Kepada Epunk UNJ, harap hubungi Kawan Lodzi di 085646442961, karena ada beberapa perubahan menyangkut akses account untuk posting materi.

Trimakasih.