27.12.06

NADEMKRA: asas atau idiologi?

beberapa waktu lalu, kawan yg menamakan diri CAH ANYAR menanyakan tentang IDIOLOGI atau ASAS kah NADEMKRA itu. pertanyaan ini juga menggelinding di milis fppi. berikut petikannya :
---------------------------------------------------------------------------------------
CAH ANYAR :
Berdasar dari deskripsi FPPI, di benak kami timbul pertanyaan
tentang IDEOLOGI yang dibawa oleh FPPI.
Diatas diterangkan bahwa NADEMKRA bukanlah sebuah IDEOLOGI tetapi
hanyalah sebuah asas.
Seluruh basis yang ada disini selama ini menganggap NADEMKRA adalah
IDEOLOGI...
kalo NADEMKRA bukan IDEOLOGI, terus apa yang dimaksud IDEOLOGISASI
oleh kawan2..???
dan apa IDEOLOGInya FPPI?????
MANIFESTO udah dibaca..!!!,
tetep kami menganggap bahwa NADEMKRA adalh IDEOLOGI...! !!

Dimohon jawabannya dengan segera dan kongkrit, ok bung..!!!

SALAM PEMBEBASAN.. ..!!!!

ABANG_GUN :
Secara umum seluruh kader harus tidak hanya mengenali historiografi dan historisitas gerakan rakyat dan juga gerakan mahasiswa di Indonesia, juga ideologi dan sebelumnya, pun marxisme, sebelum dan sesudahnya. Tapi musti juga tahu sejarah organisasinya: Situasi Nademkra ketika diputus dalam kongres I dan Nademkra ketika diputus dalam Fornas I dan seterusnya.

Kalau problemnya dokumennya hilang, atau yang lainnya. Menjadi signifikan bagi FPPI untuk membikin semacam biro sejarah organisasi.

SUNARING KURNIANDARU:
ya...terkadang sejarah organisasi terputus atau
teracak pada setiap isi kepala para pemikir pendahulu,
bagaimana manifesto di buat bahkan nama dan lambang
FPPI sendiri selalu simpang siur sejarah satu dengan
lainnya berbeda.
bagiku apa yang aku dapat dari proses bersama FPPI
hingga hari ini adalah sebuah keyakinan, ketika
bertanya apakah nademkra adalah ideologi.
yakin dan menyepakati apa yang di tuliskan dalam
coretan sejarah kawan-kawan di FPPI

salam

CAH ANYAR :
lha trus pye....????
malah dadi mumet ak...
mosok g ada dukumentasi paling tidak dari kongres pertama FPPI...
menurut ku, kongers ataupun fornas bukanlah sesuatu yang dapat
memotong sejarah tentang FPPI. bahkan dengan adanya kongres maupun
fornas sejarah perkembangan organisasi akan lebih mudah unruk
ditelusuri.. .
dan paling tidak IDEOLOGI apa yang kawan-kawan semua yakini dapat
membawa kemakmuran dan dapat membebaskan dari kongres pertama FPPI
sampai sekarang itu apa??
itu tidak perlu dokumentasi yang rijit, ini adalah maalah keyakinan
dan ruh yang ada di dalam dada kawan-kawan semua..!!!
setelah tau apa ideologinya FPPI,baru kemudian saya ingin berdiskusi
tentang ideologi FPPI tersebut...
kalo sekarang masih buntu, mau diskusi pye..?
Ideologinya aj ak masih bingung, FPPI itu sebenarnya ideologinya apa
tho..???
mohon maap sebelumnya.. .
ditunggu jawabannya.. .

terimakasih. ...!!!
-----------------------------------

tampaknya persoalan ini musti mendapat jawaban secara akurat, tentu saja terlepas dari kebutuhan akan pentingnya merunut kembali sejarah FPPI dari sejak semula ia didirikan. Selamat berdiskusi.



Mengurai Akar Gerakan Perempuan Indonesia

Berbagai diskusi sejarah gerakan perempuan Indonesia, biasanya—paling sering—menyandarkan diri pada tokoh Kartini, yang disebut-sebut sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia. Walaupun kepahlawanan yang dilabelkan kepada Kartini pantas untuk diragukan. Bukan saja ia tidak melakukan apa pun kecuali hanya imajinasi semata-mata, tetapi ia sendiri bersedia menjadi istri dari laki-laki yang sudah beristri. (Gadis Arivia: 1997). Menguatnya kajian gerakan perempuan bersandar pada Kartini, setidaknya karena ia meninggalkan written text, yaitu surat-surat yang ditulisnya dan lalu diterbitkan dalam sebuah buku yang amat terkenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. (Maria Hartiningsih: 2000). Berkaitan dengan buku di atas, tidak sedikit pula para ahli yang menyangsikan keasliannya sebagai karya asli Kartini (Saskia Eleonora Wieringa: 1999).

Kajian lain justru menunjukkan, tokoh seperti Dewi Sartika, sebenarnya jauh lebih jelas melakukan tindakan-tindakan aksi ketimbang Kartini yang tidak pernah melakukan apa-apa. Dewi Sartika mendirikan sekolah pertamanya pada tahun 1904 dengan nama Sekolah Istri dan selanjutnya diubah menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Hingga tahun 1912, Dewi Sartika telah mendirikan 9 sekolah, jumlah yang mencapai 50% dari keseluruhan sekolah di Pasundan (Marianne Katoppo: 2000).

Kecurigaan sebagian peneliti terhadap written text itu, setidaknya bersandar pada kemungkinan adanya keinginan Belanda untuk membuktikan keberhasilan politik etis, dengan dibukanya peluang-peluang bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, semangat pendidikan di Indonesia akibat politik etis—sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, tetapi lebih untuk menunjang terselenggaranya pemerintah Hindia Belanda. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan dimaksudkan agar bisa dapat bekerja di kantor-kantor pemerintahan Belanda. Sudah pasti, kebanyakan hanya menduduki jabatan pegawai rendahan. (Sukanti Suryochondro: 1995).

Tetapi, menurut Sukanti Suryochondro, setidak-tidaknya—meski tidak secara langsung, kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika (1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.

Setelah ini berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri. Sebut saja misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryochondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini, menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.

Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.

Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tanggal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahirkan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas, misalnya, pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan—salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (Sukanti Suryochondro: 1995).

Perkembangan gerakan perempuan semakin maju, ketika dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.

Pada tahun yang sama dengan berdirinya Istri Sedar tahun 1930-an, para aktivis perempuan dalam Sarekat Rakyat mengorganisasikan demonstrasi politik untuk buruh perempuan dengan tuntutan kenaikan upah, kesejahteraan buruh dan keselamatan kerja. Salah satu aksi yang paling mencolok, sebenarnya justru demonstrasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926 di Semarang yang menuntut perbaikan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dengan memakai caping kropak. Selama pembrontakan komunis pada tahun 1926 banyak perempuan ditahan bukan hanya karena mereka membantu suami mereka, tetapi juga karena aktivitas mereka sendiri. Bersama dengan laki-laki, banyak perempuan yang diasingkan ke Boven Digul, sebuah kamp konsentrasi Belanda di Irian Jaya. Sukaesih dari Jawa Barat, dan Munasiah dari Jawa Tengah termasuk di antara perempuan-perempuan tersebut. (Saskia E. Wieringa: 1988).

Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen (Budi Wahyuni, dkk.: 2002).

Perjuangan dan gagasan gerakan perempuan yang sedemikian kuat dan berani pada akhirnya menjadi sepi. Kentalnya patriarkhi yang melingkupi para penulis sejarah Indonesia, menjadikan gerak perempuan dalam konteks pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan—tentu saja mencakup gerakan politik yang telah mereka lakukan, tersisihkan atau bahkan terhapuskan sama sekali. Kecuali catatan-catatan peran mereka dalam wilayah domestik, seperti dapur umum untuk para gerilyawan. Di sinilah lantas muncul arus besar dalam pendidikan sejarah di Indonesia tentang peran laki-laki dalam perjuangan nasional dan nasionalisme kemudian menjadi sungguh-sungguh semata-mata wacana laki-laki (Catherine Hall, 1993). Padahal, sebagaimana ditegaskan, Catherine Hall, tak seharusnya ketertenggelaman perempuan dalam perjuangan nasional ini hilang. Sebab jika membaca berkembangnya motivasi utama yang mendorong gerakan kemerdekaan Indonesia adalah kekecewaan terhadap kekuasaan kolonial yang paternalistik dan berwatak menindas laki-laki, tetapi perempuan jauh lebih berat mengalaminya, baik dalam kehidupan publik maupun pribadi. Penindasan dua tingkat ini yang mendorong perempuan berpartisipasi aktif dalam gerekan kemerdekaan. Selain, hampir menjadi fakta tak terbantahkan, semua gerakan nasionalis Indonesia diorganisasikan oleh pemuda dan perempuan untuk memerangi rasa kedaerahan yang mewarnai gerakan kemerdekaan. Dalam konteks inilah, mulai muncul kritik tajam terhadap ilmu pengetahuan sosial yang menyembunyikan pengalaman perempuan secara individu maupun kolektif, dalam seluruh kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kemunculan mereka dalam panggung sejarah gerakan nasional, misalnya, hanya dalam posisi penempelan atau menduduki posisi antagonis.

Memasuki babak baru gerakan perempuan Indonesia, ketika pada tahun 1946, setelah kemerdekaan diperoleh bangsa ini, organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda—termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.

Sejarah gerakan perempuan yang panjang ini, memang masih banyak menyisakan pertanyaan dan kebutuhan akan lacakan-lacakan yang lebih serius dan mendalam. Karena sangat dibutuhkan adanya landasan sejarah yang kuat dalam membangun gerakan perempuan saat ini. Diyakini benar, gerakan perempuan memiliki kekhasan karakter dan strategi gerakan dan bahkan mungkin ideologi dalam setiap tahapan sejarah di Indonesia. Soal lain, yang mungkin relevan untuk didiskusikan adalah sejak kapan sesungguhnya akar sejarah gerakan perempuan di Indonesia mesti ditautkan?***


21.11.06

Gerak Lawan

Gerak Lawan:
Nasionalisasi Aset-Aset Perusahaan Amerika untuk Rakyat!

Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, ke Indonesia kembali menuai penolakan.Kamis (16/11), puluhan massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neo-Kolonialisme (Gerak Lawan) AS melakukan aksi di kantor perusahaan Mosanto dan Freeport Indonesia di Jakarta, menentang kedatangan Bush serta menuntut nasionalisasi aset perusahaan Amerika di Indonesia.

Gerak Lawan memandang bahwa kelangsungan internasionalisasi modal perusahaan-perusaha an transnasinal (TNC) Amerika seperti Freeport dan Exxon Mobile telah menyebabkan kedaulatan rakyat Indonesia tergadaikan. Amerika dengan menggunakan Bank Dunia dan IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia melahirkan kebijakan yang merugikan rakyat. “Karena Amerika-lah kita kehilangan sumber-sumber agraria, upah buruh murah, dan pendidikan mahal,” ujar Adi, koordinator aksi lapangan.


Lebih lanjut, Adi juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut seluruh kebijakan publik serta produk hukum yang merupakan pesanan kepentingan perusahaan asing. Menurutnya, kebijakan-kebijakan nasional saat ini lebih kental mencerminkan skenario neo-imperialisme. “Undang-undang Sumber Daya Air, Undang-undang Perkebunan, dan Undang-undang Migas adalah bukti pemerintah lebih berpihak pada pemodal internasional,” ujarnya berapi-api.

Bukan hanya berorasi, dalam aksinya di depan kantor perusahaan Mosanto, Gerak Lawan menampilkan aksi teaterikal. Digambarkan, karena kepentingan perusahaan-perusaha an Amerika, masyarakat Papua harus tergusur dari tanah-airnya, serta fenomena kelaparan yang berujung pada kematian. Maka, selain nasionalisasi, Gerak Lawan juga mendesak pemerintah Indonesia agar membawa kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Amerika ke Mahkamah Internasional.

Selanjutnya, masih menurut Adi, besok (17/11) Gerak Lawan akan kembali turun jalan menentang kedatangan Bush dan menuntut nasionalisasi perusahaan Amerika. Rencananya, massa aksi akan mendatangi kantor perusahaan Halliburton Energy di Jakarta yang notabene merupakan milik Bush.
Peryataan Sikap

Kunjungan presiden Bush ke Indonesia, bukanlah kunjungan persahabatan, maka milyaran rupiah yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam rangka menyambut dan mengamankan Bush adalah terlalu mahal dibandingkan dengan penderitaan rakyat akibat kebijakan keblinger pemerintah Indonesia, semenjak Suharto, hingga SBY sekarang, yang menerapkan kebijakan negara yang menghamba pada kepentingan imperialisme Amerika.

Karena Amerika-lah, maka hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1949, Indonesia langsung terbebani hutang luar negeri, tetap dikuasainya sumber-sumber agraria (khususnya perkebunan dan pertambangan) oleh perusahaan asing dan lepasnya Irian Barat.

Karena Amerika-lah, militer semasa Orde Baru, dijadikan ”satpam penjaga modal” yang dengan gigih melindungi investasi namun dengan keji melanggar hak asasi manusia rakyat Indonesia. Dan karena Amerika jua, Freeport mendapat ijin konsensi pertama dari rezim militer Orde Baru, dan hingga sekarang Freeport menjadi biang kerok permasalahan di Tanah Papua.

Kini, demi menjaga tatanan ekonomi dunia yang neo-liberalis, serta kelangsungan dari internasionalisasi modal perusahaan-perusaha an transnasional Amerika seperti Freeport, Exxon Mobile, General Electric, Mosanto, dan lain-lain, dengan mempergunakan World Bank, IMF (International Monetary Fund) WTO (World Trade Organization) , dan AFTA (Asia Pasific Trade Agreement), Amerika berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan publik dan produk hukum yang pro internasionalisasi modal seperti progam privatisasi dan pencabutan subsidi, tetapi jutru menghilangkan hak rakyat atas sumber-sumber agraria, upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, mahalnya harga BBM serta pendidikan bagi rakyat, dan sebagainya yang membuktikan bahwa negara Indonesia adalah setengah jajahan.

Untuk itulah kami yang tergabung dalam Gerak Lawan AS memandang:
Demi kemerdekaan nasional, demokrasi, keadilan sosial dan pemenuhan hak asasi manusia, penyelenggara negara Indonesia harus menuruti aspirasi perjuangan dan penderitaan rakyat dengan mencabut seluruh kebijakan publik dan produk hukum yang merepresentasikan kepentingan neo imperialisme, seperti kontrak karya Freeport dan Exxon Mobile, Undang-Undang Sumberdaya Air, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Anti Teroris dan lain-lain.

Demi para korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan-perusaha an transnasional, penyelenggara negara Indonesia harus menuntut pertanggungjawaban perusahaan-perusaha an TNC dan menutup perusahaan tersebut untuk selanjutnya dikelola demi kesejahteraan rakyat.

Demi menghapuskan penjajahan di muka bumi serta menjaga ketertiban dunia (Indonesian way for global justice), pemerintah Indonesia harus membawa kasus kejahatan perang, kejahatan genocida, kejahatan terhadap kemanusian, dan kejahatan agresi yang dilakukan Amerika ke Mahkammah Internasional Permanen sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998, dan mendorong instrumen hak asasi manusia internasional (mekanisme di PBB) untuk mengatur perilaku TNC dan gugatan terhadap TNC, serta kesepakatan- kesepakatan di WTO

Jakarta, 16 November 2006
Kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neo Kolonialisme- Neo Imperialisme dan Amerika Serikat

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Serikat Buruh Jabotabek (SBJ)
Lingkar Studi – Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI)
KAM LAKSI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Laksi)
KM AI (Kesatuan Mahasiswa Anti Imperialisme)

Seruan Aksi Besok

Hari : Jumat, 17 November 2006
Pukul : 10.30 – selesai
Tempat : Kantor PT. Halliburton Energy (Jl. Letjend Simatupang Kav. 38 Jakarta)

Info lebih lanjut hubungi
Gunawan (Kadiv Kajian Kampanye PBHI/Humas Panitia Aksi Gerak Lawan)
Perkantoran Mitra Matraman A2/18
Jl. Matraman Raya 148
Jakarta Timur 13150
Tel. (021)859 18064
Fax. (021)859 18065
Email: pbhi@cbn.net. id
Web: http//www.pbhi. or.id