28.3.08

Catatan dari Ujung Kulon II


Abah Sukemi, seorang nelayan. Ia berbesan dengan lurah kampung—Kamirudin. Anak-anak lelakinya mengikuti jejak sang ayah. Setiap hari melaut. Tubuhnya kekar, hitam terpanggang matahari.

Siang hari kami berangkat. Cikawung Girang menuju desa Cikawung. Jarak tempuh tak seberapa. Sungai yang menjadi pintu utama desa Cikawung Girang agak sukar dilalui. Dua hari hujan turun tanpa henti. Volume air meluap, arus bertambah deras. Abah Kemi tak mau dikecewakan. Dua bulan lalu kami ke sini, ia merasa agak cemburu. Hanya desanya yang tak dikunjungi.

Bukan maksud hati enggan mengunjungi. Sukemi dan anak-anaknya tak sungkan memperlakukan teman-teman laiknya raja. Padahal, kita tak tahu bagaimana kondisi ekonominya. Udang laut bertubuh gemuk, ikan bakar dan sambal asam dihidangkan. Untuk menu yang disajikan, kita perlu mengeluarkan kocek kira-kira sebesar Rp.300.000—itu di Jakarta. Di Ujung Kulon, laut, ladang, sawah dan hutan memberikan segalanya. Masyarakat tak begitu saja mengambil. Di sini berlaku kepercayaan. Yang telah diamalkan secara turun temurun sejak generasi pertama Abah Pelen.

Abah Pelen dipercaya warga sebagai leluhur masyarakat Ujung Kulon. Ia adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Syahdan, ia merupakan salah satu orang kepercayaan Soekarno. Ia juga dipercaya memiliki kemampuan supranatural—hal yang lazim di masyarakat sini. Abah Pelen meninggalkan pesan untuk anak-cucunya. Mereka yang hidup bersanding dengan alam. Manusia, adalah srigala. Tapi di sini, manusia adalah penjaga. Sangat dilarang untuk menebang pohon sembarangan. Balai Taman Nasional Ujung Kulon tak bosan menuduh warga sebagai perambah huton. Di kampung, nama abah Pelen masih begitu dikagumi. Pesan-pesannya, dijunjung begitu tinggi.

Abah Sukemi, sama seperti leluhurnya. Meski ia tak berladang. Ia mengambil isi laut seperlunya. Subsisten. Abah Sukemi dan nelayan lainnya, melaut dengan cara yang masih tradisional. Kapal kayu yang ditumpangi tak mampu menampung awak berhitung belasan. “ Saya baru bisa menangkap udang tahun 1999,” ujar abah Kemi polos. Ia mendapatkan pengetahuan menangkap udang dari nelayan Indramayu yang datang. Jaring pukat yang digunakan nelayan sini pun mulai beragam.

27.3.08

Catatan dari Ujung Kulon I



220 km dari Jakarta. Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang-Banten. Di sana, terselip kisah, tentang semangat warga yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Hak atas tanah, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak untuk kehidupan yang layak. Sebagian besar dari kita masih bertarung untuk mendapatkan itu semua. Warga Ujung Kulon tidak sendiri.

Kampung Legon Pakis. Di sana, listrik tidak ada. Pak Kadir, seorang juragan kopra—hanya dia yang memilikinya. Minggu ini, Kamsah putri Kadir dinikahkan. Meninggalkan kesan pada dinamika perjuangan seorang kawan. Seluruh kampung ramai, orang dari luar kecamatan turut diundang.

Legon Pakis saat ini dirundung sedih. Sudah tiga orang mati. Sakit panas dan liver. Di sana tak ada layanan kesehatan. Warga masih mempercayakan pengobatan pada dukun ataupun mantri. Seorang warga masih bertahan dalam kesakitannya. Perutnya membesar, tubuhnya melayu. Jasa rumah sakit di ibukota propinsi pernah dicoba. Tehnologi modern membantu si sakit mengempiskan perut yang membusung. Sekali sedot, mampu mangambil sepuluh liter air dari tubuh. Perut mengempis, tapi tak berapa lama. Sedang untuk penggunaan peralatan kesehatan membutuhkan biaya. Di sana, desas-desus tak bisa dibendung. “Ini hasil guna-guna”—kata warga kampung.

Cikawung Girang, sekitar sepuluh kilometer dari Legon Pakis menggunakan kendaraan roda dua. Lebih cepat menembus hutan. Resikonya—ular hitam. Jika terpatuk, tubuh hanya akan bertahan dalam bilangan jam. Carik Udin, menceritakan beberapa pengalaman. Ada yang selamat dari patukan si bulat hitam, itupun dengan merelakan sebelah tangan. Ular hitam, menurut orang-orang adalah ular yang sangat mematikan. Semakin dewasa ia, semakin memendek ukuran tubuhnya—semakin keras bisa-nya.

Di Cikawung Girang, seluruh masyarakat bermasalah dengan pengelola taman nasional. Hutan yang menjadi tapal batas wilayah masyarakat dengan balai, dimajukan secara sepihak sampai memasuki lahan garapan warga. Kang Rohman, kepala rukun tetangga tak tinggal diam. Tahun lalu ia datang ke Jakarta, meminta solidaritas perjuangan. Rohman menembus lima jam jarak Ujung Kulon-Pandeglang, dilanjutkan tiga jam Pandeglang-Jakarta. Ia tak tahan naik mobil, apalagi yang ber-AC. Tetapi ia meneguhkan, derita yang ia rasakan tak berbanding dengan derita yang ditimbulkan dari hegemoni kekuasaan. Hutan diperluas, menggusur lahan garapan dan pemukiman warga.

11.3.08

Omong Kosong Penyewaan Lahan

Kisah Negeri Salah Urus
Oleh Sahat Tarida

Lumpur Lapindo kini hanya menampakkan lautan kelam. Hunian, ladang sawah tempat bekerja, dan pabrik rumahan tenggelam. Pengungsi tak semuanya mendapatkan ganti rugi—yang layak. Penyelenggara negara menganggapnya sebagai bencana alam.

Bencana alam ini dimulai dari kebijakan penyelenggara negara yang memberikan ijin operasi penambangan di Jawa Timur. Tanpa sepengetahuan warga, operasi dilakukan. Semburan lumpur perdana, diumumkan sebagai dampak dari Tsunami yang menggoncang Jawa. Pembohongan publik semena-mena. Lumpur saat ini menambah luasan area, menggeser hunian dan pusat kegiatan. Anak-anak tanpa sekolah, dan petani tanpa sawah.

Kali ini, pemerintah kembali menunjukkan ketidakmampuannya dalam pengelolaan negara. Tak mampu—paling terang tak mau. Diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2008 menunjukkan itu. PP No.02 tahun 2008 berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang berlaku di Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Dalam peraturan ini, pemerintah memberikan kewenangan pada siapapun untuk mengelola hutan lindung dengan sistem sewa. Tarifnya murah, hanya Rp. 300 permeter persegi untuk hutan lindung, dan Rp.120 permeter untuk hutan produksi. Jika dihitung, biaya sewa perhektar lahan hutan hanya sekitar Rp. 1.800.000 hingga Rp.3.000.000. Biaya sewa lahan hutan lebih murah dibandingkan seliter minyak goreng.

Bencana Ekologi Terencana
Pertemuan Internasional Perubahan Iklim di Bali beberapa waktu lalu merekomendasikan upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang timbul akibat aktifitas manusia. Tak hanya diakibatkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil, perubahan iklim sejatinya didukung oleh kerusakan lingkungan.

Indonesia, merupakan salah satu negara penyumbang terbesar untuk kerusakan lingkungan. Lautnya, hutan dan gunung kerap diperkosa. Tanpa upaya pemulihan yang memadai dan berkelanjutan. Aneka kebijakan telah diterbitkan, untuk mengatur penggunaan dan eksploitasi lingkungan yang ramah. Apa lacur, sistem hanya untuk dibuat. Sekian peraturan diluncurkan kembali, aturan dan perundang-undangan timpang tindih.

PP No.02/2008 salah satunya. Peraturan serupa dibuat pada era Megawati—menjelang akhir jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemilu—jika jadi dilangsungkan, tinggal satu tahun lagi. Yang berarti pertarungan politik skala nasional memperebutkan kekuasaan. Di sini tampak modus yang hampir tak beda. Kontroversi dimunculkan kembali. Kebijakan ini secara langsung mementahkan komitmen Indonesia dalam kepemimpinan kolektif untuk mengupayakan pengurangan perubahan iklim.

Banjir, longsor bukan semata kehendak tuhan apalagi fenomena alam yang terjadi begitu saja. Namun, prilaku terhadap alam yang mendorong terciptanya sebuah fenomena.

Perkembangan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarah menunjukkan sinergi harmoni antara manusia dan alam. Hal ini membekas dalam prilaku masyarakat modern yang masih menempati hutan dan lingkungan pedesaan. Tak semena-mena memperlakukan lingkungan. Tindakan tidak terpuji justru lahir dari rekomendasi kebijakan yang dilahirkan pemerintah pusat—yang memberikan ruang untuk operasi industri. Sebut saja Freeport di Papua atau Newmont, di Nusa Tenggara atau Sulawesi Utara.

PP no.02/08 menambah keluwesan industri untuk kembali mengekspolitasi lingkungan. Tanpa memberikan kepastian pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkannya kelak. Pengusaha industri dengan nyaman berlindung di balik ketiak pemerintah, dan ini nampaknya akan terus berulang. Kasus Lapindo memberikan pelajaran, bahwa pemerintah tidak tegas dalam menjalankan aturan hukum. Dari Rp.300, bukan tak mungkin pembayar pajak menanggung Rp.3.000.000 untuk recovery terjadinya kerusakan yang makin parah. Jadi, patutkah rencana ini disetujui?

10.3.08

KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

oleh :Feri Widodo
Sekjen FPPI PK Jogjakarta


Memasuki tahun 2008 keadaan situasi masyarakat semakin lama semakin terhimpit. Isu krisis pangan dunia (Global Food Crisis) menjadi cukup hangat beberapa bulan terakhir. Hal ini mengingat bahwa FAO sebagai organisasi pangan dunia pernah merilis dan menyebutkan, jumlah orang yang lapar di dunia, termasuk Indonesia, nyaris tidak bergeser jauh dari angka 10 tahun lalu.

Menurut laporan Task Force on Hunger (2006), lebih separuh dari penduduk yang mengalami kelaparan (food entitlemens) dan kurang gizi berasal dari keluarga petani miskin yang terputus aksesnya atas sumber-sumber pangan, baik akibat bencana alam atau pun manajemen ketahanan dan distribusi atas komoditi/produk pangan yang kacau. Tak hanya Indonesia, ancaman krisis pangan juga mengintai negeri lainnya. Masih menurut versi FAO, kebutuhan pangan dunia pada 2007-2008 diperkirakan meningkat 2.103 juta ton atau naik hampir 2 persen dibandingkan periode sebelumnya. Sementara stok pangan dunia yang diperhitungkan hingga akhir musim tanam 2008 justru akan turun sekitar 420 juta ton atau nyaris 2 persen dari stok sebelumnya.

FAO memprediksi bahwa perdagangan sereal dunia mencapai 252 juta ton atau turun 1 persen dibandingkan periode 2006-2007.1 Harga internasional komoditas ini akan tetap tinggi dan diprediksi terus meningkat karena suplai yang ketat. Hal ini belum lagi ditambah dengan data yang dikeluarkan seluruhnya ada 37 negara yang akan terkena dampak krisis pangan, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2) dan akan di kwatirkan bahwa krisis pangan di beberapa negara telah dan akan memicu krisis sosial diberbagai level masyarakat.2

Sebelum kita mengulas lebih jauh dampak krisis pangan, ada baiknya kita telusuri dahulu penyebab krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini sebenarnya mulai timbul pada periode tahun 2005 yang lalu pada saat beberapa Negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS, China, Brasil Australia dan Negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis fosil.3 Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara di dunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini.

Sebenarnya reaksi pemerintah atas isu krisis pangan dunia ini baru muncul pada Juni 2007 ketika OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan) dan FAO merilis dan mengembuskan isu akan adanya kenaikan harga pangan dunia. Sekarang sekitar 6,3 miliar penduduk dunia akan dihadapkan pada tantangan global yaitu krisis pangan, tetapi, sebenarnya isu krisis pangan telah mampu dibaca indikasinya oleh beberapa Negara-negara didunia dan indikasi atas krisis pangan dunia inilah yang kemudian menjadi dorongan beberapa Negara untuk meningkatkan cadangan pangan mereka terutama beras. Coba kita bandingkan dengan cadangan beras pemerintah China yang mencapai 34 juta ton, India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), dan Filipina (0,75 ton). Sedangkan pemerintah saat ini hanya memiliki 350.000 ton stok beras yang terdapat digudang-gudang Bulog. Cadangan itu jelas terlalu kecil dan sangat sulit dijadikan jaminan bagi stabilisasi harga beras. Walaupun pemerintah telah melakukan intervensi pasar guna menstabilkan kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, toh kenaikan itu tetap tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah. Pertanyaan kemudian bahwa kebijakan pemerintah apa yang dapat menjawab krisis pangan yang akan dan sudah melanda negeri ini ?????..............


Dampak Krisis Pangan Di Negeri Ini

” Pada rakyat kami minta pengertian. Kami bertanggung jawab mencarikan solusi. Kami secara serius mengelola permasalahan harga pangan akibat gejolak ekonomi dunia. Kami yakin ada solusi stabilkan harga pangan tersebut. “ SBY menegaskan seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta (Detik, 21.02.08). Kutipan pidato Presiden ini kembali menunjukan bahwa pemerintah belum siap dan bahkan tidak siap dalam mengantisipasi krisis pangan yang melanda negeri ini, terlepas dari rasa pengertian yang kita berikan kepada pemerintah, dampak sosial yang sudah sangat terasa atas krisis pangan ini adalah kenaikannya harga-harga sembako dibeberapa pasar tradisional di beberapa daerah di Indonesia.

Kenaikan ini sudah barang tentu sangat memukul masyarakat kecil, misalnya saja kenaikan harga minyak goreng yang mencapai Rp 15500/kilo-yang normalnya sekitar Rp 9000/kilo-di Tegal, merupakan gambaran kecil dari kenaikan beruntun beberapa kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Tercatat dibulan ini saja setidaknya tiga jenis pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Bulan ini dilalui bagai mimpi buruk oleh ibu rumah tangga yang kantongnya semakin kempis. Mimpi buruk terutama dialami oleh rakyat jelata yang paling miskin. Fenomena gizi buruk dan busung lapar mungkin yang paling mengkwatirkan yang pasti akan terjadi di negeri ini.

Data menunjukan bahwa sepanjang Januari-Desember 2007 tercatat ada 1234 kasus gizi buruk dan busung lapar yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006, bahwa lebih dari sepertiga populasi anak-anak yang berusia balita mengalami kekurangan makan, gizi, dan nutrisi akut. Situasi ini amat memprihatinkan mengingat usia balita adalah masa penting bagi proses tumbuh-kembang anak. Bagi balita, makanan yang bergizi adalah kebutuhan mutlak. Jika tidak, ke depan negeri ini akan menghadapi problem the lost generation. Dan dari indeks harapan hidup manusia, angka risiko kematian paling tinggi di Indonesia ada pada kelompok usia balita. Dari 1000 kelahiran hidup, 35 bayi mati tiap harinya. Sementara angka kematian ibu yang melahirkan hingga kini juga masih tinggi, yakni sekitar 307 orang untuk tiap 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2002). Berdasarkan kajian Institute for Ecosoc Rights (2006), masalah kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar yang mengemuka di Indonesia sejak pertengahan 2004 lalu, jumlah angka resminya sebenarnya jauh di bawah fakta sesungguhnya. Meski masalah gizi buruk dan busung lapar sudah sedemikian struktural dan laten sifatnya, di mana 72 persen kabupaten/kota di Indonesia tercatat mengidap kasus gizi buruk tiap tahunnya, namun pola penanganannya hingga kini masih bersifat darurat, karitatif, dan sporadis.5


Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah

Kenaikan harga kedelai pada waktu awal Januari 2008 yang menjadi Rp7.500 per kg, dengan cepat direspon oleh pemerintah. Hingga tepatnya pada tanggal 15 Januari lalu Presiden SBY langsung menggelar Sidang Kabinet Terbatas mencari solusi atas krisis kedelai. Dalam Rakor (Rapat Kordinasi) terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY di gedung Departemen Pertanian, presiden menyatakan tiga isu utama sekaligus sebagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Tiga isu yang penting dalam menanggulangi krisis kedelai, yaitu ketahanan pangan, stabilitas harga pangan dan kesejahteraan petani.

Dalam hal ini isu utama yang di keluarkan presiden, mungkin oleh sebagian kalangan masyarakat dapat dikatakan baik dan mempunyai visi ntuk mensejahterakan petani, tetapi bila kita kaji lebih mendalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan kamuflase pemerintah dalam menutupi situasi yang sebenarnya terjadi. Isu ketahanan pangan yang kemudian dihembuskan oleh pemerintah merupakan suatu hal sedikit mustahil apabila pemerintah hanya mengandalkan tingkat produksi pertanian dalam negeri tanpa melakukan proteksi atas produksi pertanian. Artinya kalau kita selama ini masih mengandalkan produk pangan impor maka hal ini mungkin cukup sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, mengingat bahwa isu krisis pangan dunia ini diperkirakan akan tetap berlangsung selama 5-10 tahun kedepan dan akhirnya setiap Negara yang yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini pun, akan sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka dekat serta menambah pasokan pangan digudang-gudang mereka untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan. Disinilah tugas pemerintah dalam memberikan proteksi bagi produksi pertanian.

Asumsi proteksi bukan hanya memberikan kebijakan yang ketat bagi semua produk impor pertanian tetapi juga memberikan jaminan sosial bagi petani dalam berproduksi pertanian. Kedua adalah pemerintah berani dalam melakukan Reforma Agraria, sebagai fondasi pertanian dalam penyediaan pangan juga sebagai penggerak utama pembangunan khususnya perekonomian perdesaan yang mampu mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan.6. Yang pasti harus pemerintah lakukan adalah, mengkaji/mengoreksi ulang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam perundingan bilateral dan multilateral yang selama ini lebih menguntungkan kaum kapitalis dan negara-negara yang secara politik dan ekonomi sangat kuat. Selama ini, keberdaulatan kita atas pangan, amat diragukan. Misalnya, untuk menentukan bibit yang dipakai saja pun pemerintah harus tunduk pada kebijakan negara lain. Gambaran paling nyata bahwa, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan kacang kedelai, kita harus mengimport sebesar 70 persen dari total kebutuhan.

Dengan demikian, kebutuhan kacang kedelai kita mau tidak mau harus bergantung pada negara lain.7 Melihat perkembangan situasi sosial yang semakin akut ini bahwa sudah saatnya kita menuntut pertanggung jawaban dari pemerintah, hal ini mengingat sejak empat tahun terakhir, bahwa peran pemerintah dalam menangani situasi rawan pangan nasional tak kunjung teratasi oleh pemerintah.8 Inilah situasi yang sangat nyata terjadi di tanah air dan tampaknya belum dimaknai oleh pemerintah sebagai urusan serius bangsa. Secara normatif, hidup sejahtera dan bebas dari kemiskinan adalah impian setiap warga negara. Namun, bagi rakyat Indonesia, agaknya semua itu masih sebuah mimpi yang sulit terwujud.




5.3.08

Pluralitas Sebagai Modal Sosial

Front Perjuang Pemuda Indonesia atau FPPI lahir dari komunitas-komunitas aktivis yang plural. Bagi mereka, perbedaan merupakan modal sosial yang berharga untuk pengorganisiran masyarakat.


Yusran, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Makassar, Sulawesi Selatan. Pria berkacamata yang hafal 30 juz Al-qur’an ini menghabiskan masa remaja dan sekolah menengahnya di pondok pesantren Tarbiyah Takalar. Setamat dari pesanten, dia memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta. Di kota ini, rupanya Yusran menjadi mahasiswa yang tak puas hanya dengan 3D (datang, duduk dan dengar). Sebagai santri yang punya minat besar pada kajian Al Qur’an, Yusran bergabung dengan Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz Al-Mizan, sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang concern pada kajian, hafalan, dan berbagai kegiatan seni Al Qur’an.

Kuliah, mengaji dan dan berdiskusi. Begitulah Yusran menjalani hari-harinya. Entah karena apa, Yusran lalu tertarik untuk membicarakan banyak hal, di luar topik-topik yang selama ini dia diskusikan. Mungkin karena factor bahan bacaan yang kian beragam, atau cara pandang atas realitas kehidupan yang mulai berkembang. Pria yang kini berambut gondrong ini mulai bergaul dengan teman yang beragam. Ia mulai terlibat dalam obrolan-obrolan tentang keberagamaan, kondisi social masyarakat hingga perpolitikan. Akhirnya Yusran merasa cocok untuk berproses dengan teman-temanya yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi atau lebih dikenal KMPD.

Sejak 1990-an awal, hampir semua aktivis di kota Gudeg mengenal komunitas mahasiswa ini. Di zaman Orde baru dulu, kelompok ini dikenal sebagai komunitas aktivis mahasiswa yang radikal. Advokasi masyarakat Kedung Ombo, demonstrasi penurunan Bupati Bantul Sri Roso yang masih keluarga Soeharto merupakan sebagain dari peristiwa sejarah yang membuat kelompok ini dikenal.

Sejak zaman dulu aktivis KMPD berusaha membangun komunikasi dengan komunitas-komunitas serupa di kampus lain, bahkan di luar kota. Kendati aktivis di kelompok ini sebagian berlatar belakang santri atau pendidikan pesantren, mereka tak pernah melihat perbedaan agama atau etnis dalam menjalin jaringan kerja dengan komunitas lain. Maka tak heran bila setelah reformasi 1998, mereka bersama seluruh jaringan organisasi gerakan mahasiswa yang telah terbangun sejak era 1990-an mampu membentuk Front Perjuangan Pemuda Indonesia atau FPPI.

Di kota Yogyakarta, komposisi basis kampus organisasi ini cukup plural. Lihat saja dari asal kampus mereka. UIN Sunan Kalijaga, Universitas Sanata Dharma, Atmajaya, Janabadra, UPN Veteran hingga UGM. Maka tak heran bila toleransi beragama bukan lagi isu yang relevan bagi mereka karena mereka tak merasa ada sekat antar teman yang berbeda agama.

Seluruh aktivis dari UIN Sunan Kalijaga pasti beragama Islam, dan hampir semua yang dari Universitas Sanata Dharma beragama Katholik. Mereka hidup dalam satu rumah kontrakan yang biasa mereka sebut base camp. “Saat adzan berkumandang diskusi harus dihentikan untuk memberi kesempatan sholat bagi yang Muslim. Begitu pula saat Sabtu sore atau Minggu pagi, banyak teman Muslim yang meminjamkan motor atau mengantar teman-teman Katholik dan Kristen ke gereja” Yusran bercerita.

Dari kampus Universitas ada Pangihutan Blasius Sihaloho atau biasa dipanggil Iyut. Mahasiswa asal Jambi ini lahir dan tumbuh dalam keluarga dan lingkungan Katholik. Iyut mengaku awalnya mengikuti LDK (latihan dasar kepemimpinan) yang diselenggarakan oleh BEM UJB. Lantas enam bulan kemudian baru mengkuti pelatihan kader SMPR (Sarekat Mahasiswa Peduli Rakyat), basis FPPI di kampusnya. Ketika ditanya kenapa tidak masuk organisasi mahasiswa yang berbasis keagamaan, ia mengaku karena latar belakang pemahaman agamanya yang cukup minim. Selain itu memang karena dinamika di Universitas Jana Badra, tempat ia kuliah, tidak didominasi oleh organisasi pergerakan yang berbasis keagamaan. Dan pada akhirnya dengan pilihan rasional, ia memilih FPPI sebagai organisasi pergerakannya. “Di dalamnya persekawanan cukup baik, ada solidaritas, dan cara pandang melihat situasi cukup akomodatif,” kesannya pertama kali terhadap FPPI.

Berbeda dengan Veronica Indrianingrum atau biasa dipangil Varo. Kesan pertama yang ia rasakan, FPPI adalah organisasi yang serius dan akomodatif. “Dari banyak organisasi yang sudah saya lihat dan ikuti, FPPI membuat saya ingin berbuat sesuatu. Intinya dari orientasi sertifikat menjadi “hidup rakyat…!” ungkapnya dengan penuh semangat. Soal perbedaan di dalamnya, Varo dengan tegas mengatakan sudah terbiasa dengan keberagaman. “Keluarga saya adalah keluarga katolik, tapi salah satu kakek saya muslim dan sebagian saudara juga ada yang Kristen. Jadi sudah terbiasa dengan keragaman,” imbuhnya.

Baik Yusran, Iyut maupun Varo tak memerlihatkan sekat bergaul sama sekali. “Kami sudah terbiasa tinggal dalam satu rumah kontrakan bersama teman-teman yang berbeda agama,” kata mereka. Mereka bersepakat bahwa perbedaan dan keragaman, baik agama atau ras, merupakan suatu keharusan di muka bumi ini. Namun bukan penghalang untuk membangun cita-cita bersama.

Aditya Rahman, ketua FPPI pimpinan Kota Yogyakarta, sangat bangga dengan pluralitas kader yang ada. Menurutnya, sejauh ini tidak pernah ada pertentangan sekalipun. Bisa saling memahami, berkomunikasi dengan baik dan menghormati perbedaan yang ada. Ia juga mencontohkan ketika lebaran atau natal, banyak pengurus organisasi yang minta libur dan organisasi mengizinkan. “Kalau rapat yang mau sholat diizinkan sholat dan yang mau ke gereja diizinkan ke gereja,” jelasnya.

Bagi kader FPPI, perbedaan kepercayaan bukan persoalan yang harus diperdebatkan bahkan dipermasalahkan sebab pada intinya kepercayaan bersifat personal, hubungan hamba dengan Tuhannya. Beda agama bukan berarti beda prinsip dalam bermasyarakat dan cita-cita pembebasan nasional menuju demokrasi kerakyatan.

Ketika ditanya tentang komentar orang lain atas aktifitas mereka, beragam jawaban bermunculan. Varo mengatakan bahwa keluarga dan teman-temanya mendukung tetapi dalam taraf memberikan semangat secara moral saja. Sedangkan beberapa dosen ada sebagian yang kritis dan concern juga dengan masalah-masalah kerakyatan tetapi di kampus seperti Sanata Darma mereka lebih memilih moderat karena sudah masuk dalam lingkungan sistem. “Yang lain lebih menyuruh saya study orented daripada social orented, padahal udah jelas motto Sanata Darma itu adalah memadukan keunggulan akademis dan nilai-nilai humanistik,” ceritanya panjang lebar.

Tak beda jauh dengan cerita Pangihutan Blasius Sihaloho, cowok kelahiran Jambi ini sepenuhnya mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari keluarga, dosen, teman dan saudara. “Teman-teman men-support, baik dari LKM atau Permahi (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia). Orang tua juga mendukung dengan catatan menyelesaikan dan mendahulukan studi,” tutur Iyut dengan tersenyum.

Beda halnya dengan Yusron, kader FPPI yang sempat kuliah satu semester di UMI Makassar ini. Ia dengan susah payah meyakinkan keluarga dan orang-orang terdekatnya agar mau memahami sikap dan pilihannya. “Bapak saya NU, ibu saya Muhammadiyah dan saya sendiri bertekad memilih untuk keluar dari mainstream politik aliran tersebut,” ceritanya.

Pluralitas sebagai Modal Sosial

FPPI sendiri dideklarasikan di Jakarta tahun 2000 silam. Organisasi ini lebih memilih menggunakan terma pemuda supaya lebih memperluas keanggotaan. Namun sebagian besar kader atau anggotanya memang mahasiswa perguruan tinggi. Menurut Aditya Rahman, organisasi ini telah memiliki cabang atau pimpinan kota hampir di seluruh propinsi, termasuk Yogyakarta. Dari database FPPI Yogyakarta, jumlah kader FPPI Jogja kurang lebih 200 orang yang terdiri dari 60% beragama Islam, 35% beragama katolik, dan 5% dari selain Islam dan Katholik. Terdiri dari beberapa etnis serperti Jawa, Sunda, Madura, Lombok, Kalimantan, Batak, Irian, Sulawesi, Sumatra dan lain sebagainya. “Kalau di kongres kemarin yang hadir cuma 105, tetapi yang tidak hadir lebih banyak. Terdiri dari bermacam kampus seperti UIN, UMY, USD, UAJY, UJB, UPN, UTY, UGM, UNY, dan kampus-kampus lain,” terang Adit. Di samping basis kampus, FPPI Yogyakarta juga mempunyai kader yang berlatar belakang buruh, petani dan pedagang kaki lima berkat proses advokasi dan pengorganisiran yang telah lama dilakukan.

Untuk mengelola keberagaman ini, tambah Adit, harus disiasati dengan persekawanan atau pendekatan kultural, bukan pendekatan formal yang dikedepankan. “Sebenarnya bukan mengelola tetapi mengikuti alur saja karena itu sensitif dan personal,” jelas mahasiswa Universitas Sanata Dharma ini.

Menurut Adit, potensi organisasi ini terletak pada diri seorang kader untuk mengelola potensi diri sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Dari potensi yang dimiliki setiap kader, kelak akan terbangun sinergi social yang sangat kaya karena mereka berasal dari lingkungan keagamaan dan social yang beragam. Bagi kami, terang Adit, pluralitas merupakan potensi berharga yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pengorganisasian social masyarakat yang memang plural. Dengan kohesi social yang kuat, baru dimungkinkan untuk membangun cita-cita dan kerja bersama.

Lebih lanjut, Adit mengatakan, bahwa selain mendidik dan mengembangkan potensi kepemimpinan kader, FPPI secara organisasi juga menjadi fasilitator untuk melakukan kerja-kerjka riil di masyarakat, seperti advokasi kebijakan, pendampingan, dan pendidikan kader.

Selain kegiatan di atas, FPPI juga kerap membangun komunikasi pemuda lintas etnis, agama, dan ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. “Setiap tahun kita selalu melakukan buka puasa bersama, kita juga pernah menyelenggarakan kursus politik bagi teman-teman paroki Katholik,” kata Adit.

Organisasi kepemudaan ini lahir dengan menyebut “Nasional Demokrasi Kerakyatan” sebagai ideologinya. Dengan ideologi tersebut, mereka mampu mengelola pluralitas yang ada demi cita-cita nasional yang lebih akomodatif terhadap keragaman. Tak ayal bila kader FPPI tampak merasa nyaman dengan perbedaan yang ada. Bagi mereka, berbeda kepercayaan bukan berarti berbeda cita-cita.

Ditulis oleh: M. Falikul Isbah

Reportase oleh: Ficky Ubaidillah dan Abdul Aziz



4.3.08

Aroma Derita Warga dan Komitmen Pemerintah

Peraturan dan perundangan-undangan Indonesia secara jelas menyatakan bahwa penguasaan tanah diatur oleh negara dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan pengusaha.

Telah satu minggu Oman ditempatkan di penjara Polres Palabuan Ratu. Jumat malam 23 Februari 2007, Oman ditangkap dan langsung ditahan kepolisian, dengan alasan telah memasuki dan menggunakan lahan perkebunan Tugu Cimenteng Sukabumi, tanpa ijin. Keesokan harinya, Imas, sang istri baru mengetahui keberadaan suaminya. Imas tidak menangis, meski hatinya sedih. Sesungguhnya, ia merasa sangat takut. Tidak terbiasa dengan keadaannya kini. Tanpa suaminya—dalam hari-harinya. “ Saya nanya, kata orang-orang dia di rumah komandan,” papar Imas. Kedua anaknya belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Satu minggu pula Imas tidak memasak makanan. Sawahnya dibiarkan terlantar. Rumahpun enggan dibersihkan. Semangatnya hilang, kerapuhannya datang. “ Ya gimana, kita istri masak ama bebenah buat nyenengin suami, biar suami betah di rumah. Gara-gara ini, saya jadi malas ngapa-ngapain. Makan saja nggak nafsu.” Kedua anaknya bergantian diurus para tetangga, sering juga mertuanya. Kedua orangtua Oman tinggal tak jauh dari kediaman mereka. Angga si sulung, beberapa kali menanyakan keberadaan bapaknya. Imas hanya dapat memberikan kebohongan yang sama, sebelum ia mengetahui keberadaan suaminya. Setelah penangkapan, beredar desas-desus penangkapan lanjutan. Kali ini ditujukan pada kaum perempuan dan anak-anak. Istri dan keluarga “pembangkang”. Ketakutan Imas bertambah. Atas prakarsa warga, ia diungsikan ke kediaman Komandan.

“Komandan”, alias Taufik selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam menghadapi masalah sengketa tanah mereka. Berbekal pengetahuan akademik, Taufik yang pernah mengenyam pendidikan Sejarah sejak tahun 1990 di Universitas Indonesia dengan sukarela membantu warga. Ia menikah, memiliki anak dan menetap di sana. “ Lebih enak tinggal di desa. Di Jakarta semuanya mahal, yang murah cuma satu, harga diri,” ujarnya berkelakar. Jalur ekstraparlemen pernah ditempuhnya, perlawanan dari jalanan. Ini tidak cukup. Berbekal kepercayaan warga, Taufik yang kini sedang menunggu kelahiran anaknya yang kedua maju dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Ia terpilih, dan pada tahun ini pula, ia akan dilantik sebagai lurah desa Bojong Haur, Sukabumi.

Penangkapan

Iptu. Enan Supena. SH. Bripka. Cahya. Spd. Bripda. Anthonius. Amd. Briptu. Omon Sutisna Spd. Bripda. Ali Indriawan—berbekal surat perintah penangkapan dengan nomor : Sp.Kap/40/II/2007/Reskrim datang ke kampung Cibunut, Babakan Baru (BBR). Bersama mereka, Kanon yang juga warga setempat, merangkap keamanan perkebunan menjadi pemandu—penangkapan tetangganya. Tanpa perlawanan berarti, Oman ditangkap. Sebelumnya, ancaman dan teror dialami. Penangkapan dan penahanan ini bukanlah kali pertama dialami Oman. Tahun 2004, ia mendekam di prodeo selama duapuluhtujuh hari. Surat penangkapan menginstruksikan untuk membawa serta Sohibin, Kosasih, dan Hidayatulloh. Ketiganya lari ke hutan. Bersembunyi di sana. Sohibin dan Kosasih serta bapak Oman, meneruskan perjalanan ke Jakarta. Menembus hutan, melewati bukit. Berharap derita yang dialaminya akan dibantu oleh “orang-orang pintar” di Jakarta. Usahanya tidak sia-sia. Gerak Lawan, Gerakan Rakyat Lawan Nekolim dengan segera berangkat ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan dua kendaraan. Ada tujuh belas orang, termasuk Kosasih. Dari Jakarta, rombongan langsung menuju Polres Palabuan Ratu, tempat Oman ditahan. Setiba di sana, polisi piket menjelaskan bahwa Kapolres sedang tidak ditempat. Begitu juga Wakapolres, petugas penyidik dan Iptu. Enan Supena SH, petugas berwenang yang menangkap dan menahan Oman. Iptu. Budhi, selaku petugas piket mengantarkan rombongan membesuk Oman. Pembicaraan diawasi, pengambilan gambar dilarang. Oman menyerahkan kuasa hukumnya pada pengacara dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia). “ Ini merupakan tindakan waspada hukum, jika kasus saudara Oman ditindak lanjuti hingga pengadilan.” Ujar Janses, koordinator tim pengacara. Bersamanya Manahar dan Benny, masing-masing pengacara PBHI.

Setelah dari polres, rombongan Gerak Lawan bergerak ke kecamatan Lengkong. Sebelumnya, kami mampir di kediaman “komandan”, mendiskusikan kronologi dan langkah-langkah yang akan ditempuh selanjutnya. Pukul sembilan malam, rintik gerimis dan lantunan suara alam malam menyertai kami ke kediaman camat Lengkong. Tak sungkan, ia mengajak kami ke kantornya. Pertemuan merekomendasikan camat untuk meninjau ulang kasus sengketa tanah yang dialami warganya. Rapat Muspika akan segera digelar, sehubungan dengan kasus ini. Tugas pertama dalam satu bulan jabatan barunya sebagai camat Lengkong.

Dusun BBR

Kampung Cibunut, desa Cilangkap, kecamatan Lengkong kabupaten Sukabumi. Dusun Babakan Baru, dihuni 20 kepala keluarga. Ada dua puluh rumah hunian, dan satu Musholla, yang kesemuanya berbentuk rumah panggung. “ Kita sih pengennya permanen, tapi kan dilarang.” Ujar Kosasih, menjelaskan mengenai model rumah panggung yang dihuni warga. Memerlukan waktu sekitar tiga jam dengan berjalan kaki menuju dusun BBR. “ Bisa cepat, lewat jalan pintas. Kira-kira satu setengah jam-lah nyampe.” Untuk memasuki wilayah ini, tersedia ojek. Bebatuan kasar, jalan tanah menyempit. Hujan yang datang merupakan tantangan tersendiri bagi orang yang hendak menyambangi dusun yang terletak di balik bukit perkebunan teh. Penumpang ojek tidak selama perjalanan dapat duduk di atas jok motor. Jika dirasa sulit, supir ojek akan meminta penumpangnya untuk turun dan berjalan kaki. “ Demi keselamatan,” ujar supir ojek. Bersama kami, seorang yang pernah aktif menjadi penggemar alam. Berbekal petunjuk via sms, dia berada di depan, menunjuk jalan.

Bermula pada bencana tanah longsor yang terjadi tahun 1999, di Kecamatan Lengkong, Sukabumi. Kosasih, kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap dan tokoh masyarakat lainnya, meminta agar sebanyak 150 KK direlokasi. Dibuatlah kesepakatan antara, Muspika (musyawarah pimpinan kecamatan) Lengkong, Kadus Cilangkap, masyarakat dan pihak perkebunan Tugu Cimenteng—agar warga yang rumahnya terancam longsor direlokasi.

Perkebunan Tugu Cimenteng, PT. J.A. Wattie, mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.44/HGU/BPN/1998. Tanah seluas ± 1.893,7160 Ha diberikan HGU dengan komoditi teh kepada PT.J.A Wattie yang akan berakhir haknya pada 31 Desember 2023.

Hingga tahun 2001, terdapat 12 KK yang telah direlokasi, jauh dari permohonan warga dan hasil inventarisir yang telah disepakati. Masing-masing KK yang telah direlokasi mendapatkan tanah dari PT. J.A. Wattie, perkebunan Tugu Cimenteng sebesar 200m2, dengan status pinjam pakai. Warga yang direlokasi, membersihkan sendiri tanah yang kelak akan digunakannya. “ Dulu mah ini alang-alang. Kita bersihin sendiri. Namanya tanah di bukit.” Ujar Kosasih. Alang-alang tinggi, perkebunan yang tidak terawat, pucuk-pucuk daun teh tidak dipetik. Masuk ke tengah areal perkebunan, tampak pohon-pohon karet yang berusia muda. “ Setelah tanah kita bersihin, perkebunan nanam karet. Mereka bilang, tanah yang kita bikin rumah juga akan ditanam karet.” Di atas kerta ijin HGU adalah penanaman teh. Di lapangan, areal perkebunan ditanami karet. Inilah yang menjadi alasan pengusiran warga. Perkebunan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembersihan lahan.

Pihak perkebunan keras berusaha mengusir warga. Teror senantiasa datang. Mereka ketakutan. Warga tidak mau pergi. Mereka tetap berupaya untuk mempertahankan rumahnya. Pinjam pakai yang disepakati atas tanah yang digunakan warga tidaklah gratis. Setiap panen, mereka wajib menyetorkan parabon sawah (hasil panen) pada pihak perkebunan. Parabon sawah yang disetorkan, disesuaikan dengan luas tanah yang mereka gunakan. Umumnya, mereka bertanam padi, kacang tanah, jagung dan ubi kayu. “ Warga memang harus mempertahankan tanahnya. Kemana lagi mereka akan tinggal dan mencari nafkah.”

Kekerasan Pada Petani

Adalah Engkos Kosasih. Mantan kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap. Sejak tahun 1980 ia telah dipercaya masyarakat untuk memimpin dusun. Atas prakarsanya pula warga mendapatkan relokasi atas tempat tinggal yang terancam longsor. Semasa menjabat sebagai kepala dusun di BBR, melanjutkan amanah setelah hijrah dari Cijeruk—ialah yang paling sering diintimidasi, oleh perkebunan dan kepolisian. “ Tahun 2004, saya diundang ke kecamatan, untuk membicarakan hal ini. Belum sampai di kecamatan saya dihadang pasukan Brimob. Saya ketakutan. Sama mereka saya disuruh tandatangan surat.” Kosasih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya. Ia diminta secara paksa untuk menandatangani surat, yang berisi tuntutan agar tidak lagi menghasut warga dan tidak lagi muncul di masyarakat. Ia sangat tahu, ancaman yang akan didapatkan jika tidak menendatangani surat yang disodorkan Brimob. Pasukan Brimob juga pernah menyerbu masuk ke dusun BBR. Memeriksa rumah-rumah, mencari dan menangkap para lelaki, serta mengejar untuk menahan kelompok yang membantu masyarakat untuk mempertahankan tanahnya. “ Kita lari dan bersembunyi ke hutan.” Kata Hidayatulloh. Lari dan bersembunyi ke hutan, merupakan pilihan yang diambil oleh sebagian besar warga untuk menghindari teror dan kekerasan yang dialami oleh mereka. Budaya perlawanan sangat jarang dalam masyarakat Sunda. Mereka memilih menyingkir. Pendidikan yang relatif rendah, serta budaya cinta damai menjadi latar belakang yang menjelaskan pilihan tersebut. Lelah terus-menerus diteror, Kosasih dan beberapa warga mencari bantuan lain.

Di sana, rombongan Gerak Lawan, dipertemukan dengan masyarakat yang tersebar di beberapa lokasi dusun. Anak-anak, orang tua dan para istri. Tidak tampak wajah-wajah pemuda dalam pertemuan yang di gelar di halaman rumah Kosasih. “ Anak mudanya pada di kota. Kerja konveksi, pembantu rumah tangga. Kalau Lebaran nanti baru pulang.”

Hidayat, pun kembali dari persembunyiannya di hutan. Kegiatan pengajian yang dipimpinnya belum dapat dilaksanakan segera, setelah terhenti akibat kaburnya Hidayat, menghindar dari upaya penangkapan aparat. Kejar-kejaran warga dengan aparat, teror yang diterima warga menyebabkan terhentinya kerja masyarakat. Sawah tidak terawat, sebagian dari mereka memilih bersembunyi.

Reforma Agraria

Sebagai upaya penyelesaian konflik agraria, dan upaya mengatasi ketimpangan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan struktur agraria, pemerintah Indonesia saat ini menyelenggarakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sebanyak 8,15 juta hektar tanah akan akan di re-distribusi kepada petani. Program yang dipimpin langsung oleh Presiden melalui kepala Badan Pertanahan Nasional, sejatinya akan mengurangi angka kemiskinan masyarakat Indonesia.

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menjadikan agenda pembaruan agraria sebagai bagian dari visi, misi dan program pemerintahan. Pelaksanaan agenda ini diletakkan dalam dua kerangka program pembangunan nasional, yaitu sebagai bagian dari agenda “perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesaan”. Sesuai Perpres 10 Tahun 2006, pelaksanaan agenda ini juga menjadi mandat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Agenda ini, bersama dengan pengkajian dan penanganan konflik agraria, merupakan bagian dari 21 fungsi BPN RI dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

Pada tataran kebijakan, titik tolak bagi pelaksanaan agenda ini juga telah ditunjukkan oleh komitmen pemerintah yang dinyatakan Presiden SBY beberapa waktu lalu untuk mengalokasikan sejumlah lahan sebagai obyek pelaksanaan pembaruan agraria. Hal ini akan dilaksanakan dalam sebuah kerangka terpadu Program Pembaruan Agraria Nasional (disingkat PPAN). Kerangka terpadu PPAN ini mengandung pengertian bahwa agenda pembaruan agraria harus dijalankan dengan kandungan dua aspek sekaligus. Selain merupakan upaya struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria (baca: asset reform), ia juga mesti diikuti program-program pendukungnya yang membuat aset tadi akan berkembang produktif, seperti dukungan teknologi, pendidikan, pembiayaan, infrastruktur, pasar, kebijakan ( access reform).

Dengan kedua aspek ini, maka pelaksanaan pembaruan agraria secara langsung akan berkontribusi kepada penyelesaian konflik agraria, penciptaan sumber-sumber baru kesejahteraaan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Tetapi lebih dari itu, dengan berkembangnya aktivitas perekonomian pertanian di pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembaruan agraria memiliki landasan yang kuat bukan saja dari sudut politik dan hukum, tetapi juga secara sosial dan ekonomi.

Seiring dengan komitmen pemerintah ini, hal yang kemudian harus dilakukan adalah menggalang kebersamaan dan kesatupaduan langkah di antara semua komponen bangsa secara umum, dan khususnya mereka yang bergerak di bidang agraria. Kebersamaan dan kesatupaduan langkah ini penting untuk menjamin agar pelaksanaan PPAN ini dapat berlangsung secara sinergis, terkelola, dan terarah sehingga berhasil mencapai tujuannya untuk menjamin akses rakyat pada sumber-sumber agraria, mendorong perekonomian nasional, dan melahirkan kemakmuran bangsa secara keseluruhan.

” Udah miskin, dianiaya pula,” keluh Imas. Imas berupaya tetap tabah. Ia yakin, yang dialami suaminya adalah konsekuensi perjuangan yang juga menimpa banyak orang, sehubungan dengan konflik tanah yang dialami masyarakat. Di luar itu, ia tidak memahami pertarungan besar antara kekuatan koorporasi-koorporasi dengan masyarakat miskin. Akankah negara dan penyelanggara negara dapat melindungi warga negaranya ?