30.7.07

Oligarki Kekuasaan di Republik Kapling

Usia republik sudah menginjak 61 tahun atau melewati setengah abad. Tapi tunggu dulu. Sebagai renungan, apakah setiap perayaan kemerdekaan kita menyadari esensi kemerdekaan itu sendiri. Sebeb mayoritas penduduk masih terus hidup dalam kemiskinan, rakyat harus menanggung utang tanpa pernah merasakan manfaatnya, korupsi kronis telah menyatu dalam mentalitas dan sistem sosial masyarakatnya. Sedangkan 60% daratan negara kepulauan ini sudah habis dibagi dan dikapling-kapling untuk perusahaan-perusahaan perkebunan dan tambang skala besar.
Tak bisa dihindari, negeri ini telah kehilangan kedaulatan. Pergantian rezim dan partai politik berkuasa hanyalah pergantian pemain namun tetap dengan perilaku yang sama: Mengkapling sekaligus mengeksploitasi bahan mentah sebesar-besarnya guna membiayai dan mempertahankan kekuasaan politik semata. Akibatnya, muncul fenomena berikut ini. Hutan sebagai kawasan pemasok air telah mengalami deforestasi hingga 3 juta hektar pertahun. Buruknya Pengelolaan air berakibat terjadinya 236 kali banjir pada 136 kabupaten di 26 propinsi. Juga terjadinya 111 longsor pada 48 kabupaten di 13 propinsi dan 80 kejadian kekeringan pada 36 kabupaten pada tahun 2003. Sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini di beberapa daerah.
Revolusi hijau semasa Orde Baru, hanya melahirkan ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia. Keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan rontok. Akhirnya impor beras dilakukan walau menyengsarakan petani. Lahan-lahan pertanian produktif berubah menjadi kawasan industri ekstraktif, ataupun dipaksa menanam komoditas pasar. Sementara itu sekitar 20 -70 persen jenis habitat asli telah lenyap, akibatnya negeri ini memiliki daftar spicies terancam punah terpanjang didunia mencapai 528 spicies (2002). Angka kekurangan gizi juga tinggi. Kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara (UNDP, 2004).Energi pun diambang kebangkrutan. Sejak migas menjadi komoditas devisa dengan membuka pintu lebar bagi perusahaan-perusahaan lintas negara (TNC's) melakukan penghisapan didaerah kaya migas, cadangan minyak kita tinggal secuil. Ironisnya jumlah paling tinggi populasi keluarga miskin, kasus pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM ditemukan didaerah kaya migas tersebut. Bahkan penyelenggara negara justru menyerahkan tanggung jawab pemenuhan energi kepada korporasi asing seperti , Shell, British Petroleum, Caltex pada 23 November 2005. Harga BBM diatur oleh mereka, bukan pemerintah, apalagi rakyat.Melihat beragam fenomena objektif tersebut muncul pertanyaan yang krusial untuk diajukan, yaitu mengenai pendirian negara. Pertanyaan itu adalah, apakah negara, terkhusus pemerintah saat ini, telah berusaha sekuat tenaga untuk “ melindungi segenap rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia” dan mengawal serta memastikan agar “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”? Jawabannya: hampir seluruh kabinet yang pernah terbentuk sejak 1968, menurut penulis, telah gagal menunaikan amanat pokok konstitusi tersebut. Lebih celaka lagi, sebagian besar dari mereka malah menjadi agen penjual kekayaan bumi nusantara atau paling kurang menjadi penjarah kemakmuran rakyat. Imbasnya, konflik sosial bermunculan.
Akibat perilaku tersebut, sangat tepat Noreena Hertz, dalam buku Silent Takeover and the Death of Democracy, mengatakan, bahwa demokrasi telah mati. Para pemimpin negara, demikian kata Hertz, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka lebih sibuk melayani pelaku bisnis global yang tidak memilihnya. Para pemimpin negara akan melakukan apa saja asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang di negaranya. Bahkan, mereka bersaing satu sama lain menyodorkan tawaran, karena para investor hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka.
Fenomena pengkaplingan sumber daya strategis bangsa dimulai pada masa Orde Baru. Mulai zaman itu, setiap jengkal dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling ekonomi politik dalam berbagai ukuran sesuai dengan skala modal yang ditanam dan jumlah upeti yang dipersembahkan ke rekening pejabat negara dan daerah serta para anggota DPR Pusat dan Daerah. Bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhoksumawe untuk Exxon Mobil, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont Internasional, Teluk Bintuni, Papua Barat untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal. Semakin banyak usaha ekonomi berpindah tangan ke modal asing yang justru tidak memberi kemakmuran sama sekali bagi negara dan masyarakatnya.
Akibat kondisi tersebut, maka tak aneh semangat nasionalisme Indonesia meluntur dengan kecepatan yang sangat menguatirkan pasca reformasi. Lihat saja, berbagai upaya pengkaplingan dan penutupan daerah berdasar sentimen suku (isu putera asli daerah) dan agama, dengan pengusiran pendatang misalnya, begitu mencolok mata dan menjadi wabah yang terus meluas dan cenderung dipertahankan. Orang Jawa diusir oleh orang Aceh, orang Madura diusir oleh orang Dayak, Halmahera dan Ambon dikapling-kapling oleh agama-agama yang berbeda. Penulis, sebagai seorang sosiolog, meyakini semua konflik yang terjadi di negara ini bukanlah konflik yang cenderung bisa disederhanakan sebagai konflik agama atau etnis semata. Namun, akibat dari tidak terjadinya distribusi sumber daya strategis, baik ekonomi, sosial hingga politik, yang terdistribusi secara adil dan merata di antara semua komponen anak bangsa. Akibatnya, tak ayal bangsa ini dihinggapi beragam konflik bak api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi sebagai bangsa, menurut penulis, ternyata kita tidak punya lembaga, sistem, mekanisme, maupun instrumen deteksi dini ketegangan masyarakat yang mumpuni.
Bila pengkaplingan sumberdaya strategis sudah sedemikian timpang, seperti sekarang ini, maka ledakan konflik dengan kekerasan hanya soal waktu saja untuk terjadi oleh faktor pemicu yang sepintas sama sekali sepele. Apalagi, keadaan masyarakat dan negara Indonesia setelah turunnya Soeharto adalah masyarakat tidak berdaya mengurursi dirinya sendiri karena terbiasa diatur dan didikte oleh negara satu pihak, sedangkan di lain pihak negara dalam keadaan berantakan porak-poranda. Bila terjadi ledakan kekerasan akibat ulah pengkaplingan sumber daya strategis ini, maka rakyat kecillah yang paling menderita. Dan bangsa ini kembali tak kunjung bangkit.
Melihat sekian problematika tersebut, muncul pertanyaan, apa penyebab utama yang bisa dijadikan “tertuduh pertama” atas sekian kerusakan tersebut. Bagi penulis, kekuasaan yang oligarki adalah penyebab utamanya. Sebagaimana yang kita ketahui, negara Orba muncul dan dibangun dengan struktur politik yang sentralistis. Negara berpijak pada koalisi dan aliansi aktor-aktor politik seperti militer, teknokrat, elemen Islam dan nasionalis, pengusaha Tionghoa dan pribumi, pengusaha asing dan dukungan negara industri Barat serta lembaga multilateral. Masing-masing memiliki kepentingan sendiri, kadang beriringan dan kadang berbenturan. Kebijakan politik dan ekonomi Orba diwarnai oleh pergumulan dan persaingan kepentingan aktor-aktor di dalamnya.
Kekuasaan oligarki diperkuat dengan mengguritanya bisnis keluarga, dari elite-elite politik. Kemampuan mereka beraliansi dengan modal asing dan mengembangkan jaringan bisnis ke luar negeri, membuat kekuatan ekonomi oligarki makin menjadi-jadi. Akibatnya, negara hanya dijadikan arena pengkaplingan dan penjarahan dan pemerasan dari aktor-aktor politik di dalamnya. Maka sangat wajar semasa Orba, negara bukan berfungsi untuk memakmurkan rakyat, sebaliknya, berisi para penjarah ekonomi politik semata.
Kini, perilaku itu ditiru para ‘petualang politik’ yang menjadikan negara sebagai sasaran sapi perah. Pusat-pusat kekuasaan dan aset-aset ekonomi menjadi rebutan. Bagi-bagi kekuasaan adalah menu politik mereka sehari-hari. Kasus anggota DPR yang dipecat adalah bukti nyata watak oligarkis. Cara pikir kaum oligarkis bisa disederhanakan seperti ini, mumpung institusi demokrasi masih lemah, mengapa tidak ambil kesempatan untuk mengeruk keuntungan? Terjadilah konspirasi kotor antara pemegang kekuasaan dan pemegang modal, dengan akibat jabang bayi demokrasi akan tewas sebelum dia tumbuh besar. Kalau di negara yang sudah lama demokratis mengalami kesulitan membendung rayuan dan belitan kapitalis global, apalagi negara yang "sedang belajar" berdemokrasi.
Ada empat yang turut mengantarkan bangsa ini ke tepi jurang disintegrasi dan tidak meratanya sistribusi sumber daya strategsi. Faktor itu adalah (1) ketimpangan struktural internal (2) praktek dan budaya politik yang elitis sebagai faktor ikutan dari ketimpangan struktural internal (3) rezim pemerintahan teknokratik yang neo-fasistik-militeristik; serta (4) birokrasi pemerintahan yang sentralistik. Akhirnya, pengeroposan negara ini dari dalam tubuh birokrasinya sendiri adalah sebab utama dan pertama mengapa gonta-ganti presiden 5 kali dalam 6 tahun terakhir tidak membawa perubahan apa-apa dibanding dengan Thailand dengan satu kali pergantian Perdana Menteri telah banyak merubah nasib rakyat kecilnya. Artinya, menurut penulis, sebaiknya kita sebagai bangsa tidak mencari kambing hitam di luar pagar negeri kita. Siapapun yang datang ke negeri ini secara bersahabat adalah tamu kita yang mampu kita lindungi. Penyebab luka martabat bangsa adalah para baron yang korup-baik di Pusat maupun Daerah-yang senantiasa dikerubungi laron-laron yang mengajak selingkuh.

Epung Saepudin (Berbagai Sumber)


Mereka yang Melawan Amerika

Aku yakin benar bahwa tatanan ekonomi sekarang ini, yang dipaksakan oleh negara maju, tidak saja kejam, tidak adil, tidak manusiwawi, akan tetapi juga, secara inheren, rasis (Fidel Castro). Siapapun tak menyangkal bahwa Amerika masih penguasa tunggal panggung politik global. Pasca runtuhnya Uni Soviet Amerika berjalan sendiri mengatur irama dan gerak dunia global. Hal itu dilakukan dengan berbagai kekuatan; ekonomi, politik, bahkan tak jarang invasi militer. Seperti yang dilakukan ke Irak dan Afganistan. Maka sangat wajar jika kunjungan kenegaraan pemimpin Amerika ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia pada 20 November nanti, banyak ditolak gugat berbagai kalangan.
Dalam hal budaya, Amerika juga menginvasi seluruh dunia melalui berbagai korporasinya. Mc Donald, Pepsi, Coca Cola, adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah bagaimana mengguritanya kekuasaan korporasi tersebut membentuk cita rasa masyarakat dunia. Tak terkecuali cita rasa masyarakat bangsa ini. Hanya saja, di tengah mengguritanya kekuasaan tersebut, sangat jarang kita temukan para pemimpin dunia mampu bersikap tegas dan berani melawan. Mereka justru hanya bisa mengangguk tuntuk dihadapan kekuasaan hegemoni Amerika.
Di Indonesia, hanya Soekarno saja yang sangat tegas dalam bersikap menghadapi arogansi negara adidaya tersebut. Suatu ketika tatkala kegeramannnya memuncak, Soekarno dengan tegas dan berani mengatakan “Go to hell with your aids”. Ungkapan tersebut diklontarkan Soekarno sebagai jawaban akibat desakan negara-negara maju yang akan menciptakan ketergantungan terhadap negara-negara yang baru meredeka melalui kebijakan utang. Lalu bagaimana dengan pemimpin sesudah Soekarno?
Soeharto yang menggantikan Soekarno justru sebaliknya. Ia terang-terangan membuka keran investasi asing tanpa terlebih dahulu menciptakan ketahanan ekonomi politik negara dan masyarakat. Imbasnya, hingga sekarang bangsa ini secara ekonomi politik tidak pernah bisa tegas dalam membela kepentingan rakyat dan kehormatan bangsanya. Semua kebijakan yang keluar dari penguasa dimunculkan sekadar demi melayani kepentingan pihak asing. Akhirnya ketidakadilan, demoralisasi dan dehumanisasi menjadi fenomena sosial dalam masyarakat. Bahkan terparah para elit politik hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Buku Presiden Radikal karya Eko Prasetyo, lahir dari rasa optimisnya bahwa dunia lain dimungkinkan. Dunia yang adil dan sejahtera yang lahir dari tangan para pemimpinnnya. Buku ini sungguh tepat kiranya ketika dalam percaturan politik global mulai bermunculan para pemimpin negara yang berani mengambil berbagai kebijakan demi terciptanya kesejahteraan rakyat mereka. Bahkan tak jarang berani konfontatif dengan negara adi kuasa Amerika Serikat. Mereka adalah Evo Morales, Hugo Chaves, Mahmoud Ahmaninejad dan Fidel Castro. Mereka inilah, di mata Eko, bisa memberi optimisme bahwa dunia yang lain itu dimungkinkan. Dunia yang berkeadilan dengan berdasar prinsip kedaulatan yang utuh. Meski tentu saja di mata para penguasa global kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan keempat pemimpin tersebut dinilai negara maju, terkhusus Amerika, hanya akan merusak tatanan dunia yang sedang dalam genggamannya.
Eko memberi contoh Evo Morales. Presiden Bolivia ini menjalankan kebijakan yang menentang keras praktek neo liberalisme. Kaki tangan perusahaan multinasional dibekuk dengan kebijakan nasionalisasi. Dengan nasionalisasi keuntungan perusahaan dialihkan kepada negara kemudian didistribusikan kepada rakyat. Tentu saja kebijakan nasionalisasi di mata Amerika sangat ditolak karena dinilai merugikan dan mengganggu stabilitas pasar dan ekonomi global yang sedang digenggamnya. Akibatnya, melalui kebijakan nasionalisasi, seperti yang pernah dilakukan Soekarno, pemipin negara tersebut dikucilkan negara-negara maju.
Molarez sejatinya menyadari bahwa dirinya sedang melawan sebuah tahta kekuasaan yang punya segalannya dan repotnya kekuasaan modal memiliki taring dan jaring dimanapun. Tapi Moralez tetap berdiri gagah dan terhormat untuk tetap teguh mengikuti kebijakan radikal ini; ia tahu bahwa malapetaka sosial yang sudah terlampau lama diderita rakyatnya hanya bisa dihapus dengan menentang kezaliman korporasi multinasional. Sikapnya ini kemudian menjadi tauladan di kawasan Amerika Latin sehingga nasionalisasi asset kemudian menjadi keputusan politik yang dilakukan dimana-mana. Bolivia dibawah kepemimpinan Evo Moralez telah menunjukan kembali prinsip kedaulatan, persamaan dan kebebasan bersikap suatu negara tidak bisa di intervensi oleh negara manapun.
Neoliberalisme ditentang karena para presiden ini tahu berapa besar ongkos sosial yang harus dibayar akibat dari kepatuhan mereka pada rezim pasar bebas. Argentina terjatuh dalam kubangan hutang, Venezuela mengalami nasib serupa dan Bolivia yang sebenarnya kaya dengan bahan-bahan alam harus gigit jari karena hasilnya dikeruk untuk kepentingan perusahaan multinasional. Pertanyaannya kemudian, adakah sikap seperti yang ditunjukan Moralez dan Chaves, hadir dari pemimpin bangsa ini? Jika melihat sekian kebijakan yang ada; pemotongan subsidi, biaya pendidikan semakin mahal, dan dilindungi terus menerus pelaku korupsi kelas kakap seperti Soeharto, maka memang pemimpin bangsa ini masih bermental banci. Maka sangat tepat komentar Buya Syafii Ma’rif terhadap perilaku pemimpin negara ini. Mereka cenderung tunduk terhadap intervensi negara adi kuasa, Amerika.
Para pemimpin yang yang dijadikan contoh dalam buku ini sesungguhnya menyadari benar kepada siapa semestinya menjadi pelayan. Reputasi mereka selama ini telah mencatat kegemilangan dalam melayani rakyat. Ahmadinejad punya kebiasaan, jauh sebelum memegang kekuasaan, membagi makanan tiap pagi kepada rakyatnya. Ia tinggal di perkampungan yang sesak dengan penduduk dan bertempat di rumah sederhana. Kedisiplinannya yang memukau, datang lebih pagi di kantor dan menilai bahwa seorang tukang sapu dan dirinya memiliki nilai sama. Fidel Castro juga sesungguhnya memiliki kesederhanaan serupa. Castro hanya mendapat gaji setara upah buruh dan mobil yang dipakainya hanya satu, kendaraan dinas. Sungguh contoh kesederhanaan itu berbeda 180 derajat dengan pemimpin negara ini yang gemar menghamburkan uang rakyat.
Pertanyaannya sekarang, bagaiamana kebijakan pemimpin negara ini? Tampaknya, para pemimpin kita belum memiliki kesadaran seperti Hugo Chavez, Evo Moralez, Mahmoud Ahmadinejad, dan Fidel Castro. Para pemimpin di negara ini selalau memandang posisi kekuasaan dengan cara pikir yang selalu politis. Bahkan jabatan presiden lebih dimaknai sisi politisnya saja dibandingkan pengabdiannya. Akibatnya, kebijakan yang muncul tidak mencerminkan kebutuhan dan jawaban sesungguhnya dari masalah yang menimpa rakyatnya. Bahkan tak jarang mereka lebih tunduk dan sujud dihadapan kekuasaan Amerika.
Negara Terkikir
Menurut Eko, meski tercatat sebagai negara yang paling kaya dan adi kuasa, siapa sangka sesungguhnya Amerika Serikat begitu pelit dalam memberikan bantuan kepada negara miskin. Dalam buku ini, Eko memberi data-data bahwa di banding negara maju lain, Amerika Serikat ternyata berada dalam posisi paling buncit dalam soal memberi bantuan. Pelit merupakan watak utama kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika. Kalaupun bantuan diberikan itu hanya untuk memelihara kepentingan dan mengutip laba setinggi-tingginya. Tiap setetes bantuan yang diberikan dimbuhi dengan timbunan prasyarat. Syarat agar kepentingan Amerika, terkhusus perusahaan mereka, dilindungi terutama dari kebijakan nasionalisasi.
Menurut Eko, sanksi ekonomi merupakan senjata andalan Amerika, disamping tentu saja invasi tentaranya, yang lazim dikerjakan oleh penguasa Amerika. Libya, menurut eko, adalah contoh terbesar bagaiamana penguasa Amerika telah menjerumuskan bangsa ini dalam kesengsaraan abadi. Dengan menuduh Qaddafi sebagai sosok teroris maka Amerika di bawah Ronald Reagan melancarkan banyak pengeboman. Di samping itu Amerika juga menekan PBB untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Libya. Eko mencatat sepanjang 80 tahun terakhir sanksi-sanksi ekonomi dipaksakan terhadap berbagai negara dalam 120 kesempatan terhadap berbagai negara dalam 120 kesempatan, 104 diantaranya adalah semenjak Perang Dunia II. Pada 1998 saja, Amerika Serikat telah memberikan sanksi terhadap 75 negara, yang mencakup 52% dari populasi dunia.
Pemimpin negara ini mesti belajar banyak kepada para tokoh yang diangkat dalam buku ini. Mereka adalah pemimpin yang memiliki moralitas sosial. Moralitas yang punya sandaran tanggung jawab publik dan tak gentar berhadapan dengan kekuasaan global meski akan dikucilkan. Mereka tahu, rakyat miskin berada di belakang barisan mereka. Mereka percaya kalau kekuasaan yang mengabdi dan melayani rakyat miskin, adalah kekuasaan yang akan bertahan. Berpihak adalah karakter dasar keempat pemimpin yang termuat dalam buku ini, tanpa slogan, tanpa pidato, dan tanpa banyak bicara. Mereka seakan memberi pesan tegas, tunjukan kepemimpinanmu dengan tindakanmu! Yang penting untuk kita ketahui keempat presiden ini hidup di bumi yang sama. Mereka berhadapan dengan tantangan yang serupa dengan bangsa ini, bahkan jauh lebih berat. Tapi semua rentetan masalah itu tak membuat mereka gentar, cemas, takut atau kuatir. Sejarah pada akhirnya akan menulis tentang apa yang mereka lakukan.

Epung Saepudin


Misteri Kapitalisme dan Kegagalan Dunia Ketiga

"Ketika kapital tidak hanya menjadi sebuah cerita keberhasilan di Barat tetapi juga di mana saja, kita dapat bergerak di luar batas dunia fisik dan menggunakan pikiran kita untuk membubung jauh ke masa depan". Hernando de Soto

Jika menganggap kapitalisme, dengan prinsip utamanya akumulasi dan ekspansi, bisa hidup di segala tempat dan mampu "menyejahterakan setiap pemeluknya", setelah membaca buku ini kita akan sadar bahwa pemikiran itu semakin tidak relevan. Sebagai contoh, Orde Baru memang mengikatkan diri ke dalam lingkungan kapitalisme global sambil berharap mendapatkan kesejahteraan melalui prinsip trickle down effect. Namun, hal tersebut dilakukan atas desakan lembaga multinasional dan dilakukan sekadar menyodorkan keunggulan komparatif yang sangat tidak memadai sebagai amunisi untuk bertarung dengan negara-negara maju yang mengusung kapitalisme.

Buku yang didasarkan atas penelitian praktis di berbagai negara ini mengajukan jawaban atas pertanyaan yang tak kunjung tuntas dan sudah lama tak terjawab di berbagai negara bekas jajahan atau Dunia Ketiga. Pertanyaan itu adalah pertanyaan besar mengenai kegagalan banyak negara berkembang (Dunia Ketiga) yang ingin menerapkan sistem kapitalisme yang tampak begitu baik dan berhasil di Barat, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, ternyata selalu "gagal" ketika diterapkan di negara Dunia Ketiga (berkembang). Bahkan, di kalangan negara bekas negara jajahan, seperti Indonesia, ternyata tidak pernah bisa terjawab apakah kegagalan menerapkan kapitalisme merupakan kesalahan mereka sendiri atau memang sistem ekonomi kapitalisme itu pada dasarnya tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara mereka.

Peter L. Berger, dalam buku The Capitalist Revolution: Fifty Proposition about Prosperity, Equality and Liberty, mengutarakan tujuh ciri utama sistem kapitalisme tulen. Ia dibesarkan oleh kebebasan pasar, kalkulasi rasional, alat produksi sebagai milik pribadi, adanya sistem hukum rasional, alat produksi sebagai milik pribadi, adanya sistem hukum yang rasional, pengembangan teknologi yang rasional, komersialisasi ekonomi, dan adanya buruh bebas.

Nah, jika mengikuti kategori Berger tersebut, kita akan sulit menemukan tujuh ciri di atas terpenuhi oleh negara-negara miskin dan bekas jajahan agar bisa menjadi kapitalis laiknya Amerika atau Eropa. Ambil contoh pengembangan teknologi yang rasional. Kita bisa melihat kebijakan Indonesia ketika melaksanakan proyek mercusuar tentang industri pesawat semasa Orde Baru. Proyek tersebut nyata-nyata gagal karena dilakukan berdasar ambisi tanpa memperhitungkan kalkulasi rasionalnya. Imbasnya tidak bisa dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Akhirnya, jika mengikuti pemikiran Hernando de Soto dalam buku ini, sangat wajar jika pengembangan teknologi itu tidak berimbas pada proses pembentukan kapital negara. Malah menjadi sangat ironi ketika krisis ekonomi pesawatnya hanya mampu ditukar dengan beras ketan dari Vietnam. Persoalan lain yang tidak mendukung terjadinya kapitalisme lokal di Indonesia adalah tidak adanya teknologi. Sebab, bukan rahasia lagi kapitalisme tidak pernah bisa dilepaskan dari dunia industri (teknologi).

Dalam buku ini, De Soto mengajukan pemikiran bahwa kegagalan kapitalisme di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan yang selama ini telah biasa diterima: perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Sebab, menurut De Soto, kehidupan Dunia Ketiga justru sangat akrab dengan kerja keras, keterampilan, dan kewirausahaan. Basis pemikiran De Soto adalah bahwa kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran.

Dalam buku ini De Soto mengemukakan kegagalan negara-negara selain Barat dalam mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kapitalisme disebabkan oleh ketidakmampuan negara tersebut untuk menciptakan kapital. Muncul pertanyaan, apa itu kapital? Bagi De Soto, kapital diartikan sebagai kekuatan yang mampu mendorong produktivitas kerja (labor productivity) dan menciptakan kekayaan bangsa (the wealth of nation). Pertanyaan selanjutnya, apa dan bagaimana caranya menciptakan kapital? Di titik pertanyaan itulah buku ini hendak memberikan jawabannya.

Tesis utama buku ini adalah bahwa properti sangat menentukan bagi perkembangan kapitalisme. Yang dimaksud properti oleh De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital. Kelemahan negara-negara non-Barat, seperti Indonesia, sehingga tidak bisa mengembangkan kapitalisme adalah karena mereka tidak memiliki properti sebagaimana dimaksud De Soto.

Bahkan ada ironi yang menyesakkan yang terjadi di Indonesia. Bahwa sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia, mengutip Dawam Rahardjo, dimiliki oleh sebagian kecil penduduknya, sementara sebagian besar penduduk Indonesia memperebutkan sebagian kecil kekayaan yang tersisa.

Hal penting yang sangat perlu dipahami dari pemikiran De Soto adalah properti bukanlah benda fisik yang dapat difoto dan dipetakan. Properti bukanlah sebuah kualitas utama aset, tapi suatu ekspresi legal tentang aset yang berasal dari konsensus yang memiliki makna ekonomi. Bahkan, menurut survei yang dilakukan penulis buku ini, negara-negara paling miskin sekalipun memiliki aset yang jumlahnya bisa melebihi 40 kali lipat dari total jumlah bantuan asing yang diterima oleh negara-negara itu di seluruh dunia.

De Soto berpendapat bahwa dasar keberhasilan ekonomi kapitalisme Jepang dan Amerika bersumber pada sistem hak milik yang jelas yang telah dibuat sejak zaman sebelum Perang Dunia I. Menurut De Soto, teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai kapital guna mengembangkan bisnis dan kewirausahaan. Sebagai akibatnya, kelompok petani di dunia berkembang selalu terperangkap dalam kemiskinan, ketika petani hanya mampu menanam untuk kebutuhan hidupnya sendiri.

Gagasan utama yang diusung dalam tulisan-tulisan De Soto adalah masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Dalam buku ini, De Soto menggunakan karya John R. Searle, yang berjudul The Construction of Social Reality, sebagai pijakan dasarnya. Buku tersebut membahas hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan dalam membentuk modal dan menghasilkan uang.

Menurut De Soto, ada lima misteri yang harus dipecahkan oleh negara berkembang agar properti-properti yang mereka miliki bisa menghasilkan kapital. Kelima misteri itu adalah misteri tidak adanya informasi, misteri kapital, misteri kesadaran politik, misteri hilangnya pelajaran yang diberikan oleh AS pada masa lalu, dan misteri kegagalan hukum. Kelimanya saling terhubung dan menentukan berhasil atau tidaknya sebuah properti bisa menciptakan kapital dan mungkin atau tidaknya kapital itu kemudian mampu diakumulasikan secara lebih luas.

Dalam bab terakhir buku ini, De Soto, yang pernah datang ke Indonesia dalam diskusi dan peluncuran buku edisi Inggris, mengajukan lima hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh pemerintah guna menciptakan kapital demi kesejahteraan bangsanya. Kelima hal itu adalah: 1. Situasi dan potensi kelompok miskin perlu didokumentasikan dengan lebih baik; 2. Semua orang mampu menabung; 3. Yang tidak dimiliki kelompok miskin adalah sistem properti yang terintegrasi secara legal yang mampu mengubah pekerjaan dan simpanan mereka menjadi kapital; 4. Ketidaktaatan sipil dan mafia sekarang ini bukan merupakan fenomena marginal, melainkan hasil pergerakan miliaran manusia dan kelompok-kelompok yang terorganisasikan ke dalam skala kecil hingga skala besar; 5. Kelompok miskin bukanlah permasalahan, melainkan solusi.

Di penutup buku ini De Soto dengan tegas mengatakan bahwa mengimplementasikan sebuah sistem properti yang menciptakan kapital merupakan tantangan politik karena akan berhubungan dengan banyak orang, selain ia juga berhubungan dengan pemahaman atas kontrak sosial dan perbaikan sistem legal.

27.7.07

TEOLOGI PEMBEBASAN

Teologi Pembebasan

Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia.


Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.

Bayang Bayang Teologi Pembebasan

Amerika Latin tempoe doeloe. Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior Union--pasukan penjagal manusia dan pelindung tuan tanah--di sebuah desa di San Salvador, 12 Maret 1977.

Kisah di atas dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.

Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez --pastor dari Peru-- menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.
Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.

Bantuan negara maju dalam proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.

Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.

Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan.

Untuk melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang para uskup Amerika latin--Di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya "sistem kolegialitas antar uskup" dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa.

Gerakan pembebasan itu makin gencar setelah Konsili Vatikan II --sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962 memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya, turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik.

Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin.
Sidang Celam II dan buku Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan kelas" dan "perubahan struktur" oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa terhadap Kristianitas".

Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan. "Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat," katanya pada 1965.
Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat," katanya pada September 1965. Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh "berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.

Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, "perjuangan kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: "Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa."

Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja. "Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya, melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup. Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain," katanya. Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban.

Pembenaran Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles, Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan sebelumnya.

Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik.

Di Indonesia, menurut Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina, bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.
..."Gereja Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar Romo Purbo.

Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat," kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan. "Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.

Diambil dari Gatra Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996.

Teologi Pembebasan

Hampir semua negara Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial, misalnya. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan tanggung jawab agama itu seperti apa? Apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural?
Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Sguondo dan John Sabrino, adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu pemikiran Teologi Pembebasan menjadi kuat. Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin.
Analisis sosial yang paling efektif dan sering digunakan dalam Teologi Pembebasan adalah analisis marxian. Dengan pendekatan marxisme akan diketahui siapa yang diuntungkan atau dirugikan sistem sosial itu. Karena itu tokoh Teologi Pembebasan sangat cocok dengan analisis marxian ini.

Ketika para tokoh Teologi Pembebasan di angkatan laut mengalami tekanan politik, gerakannya justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Yang paling ekspresif memang di Filipina. Boleh dibilang people power yang menjatuhkan Marcos adalah satu corak dari Teologi Pembebasan. Karena Teologi Pembebasan menekankan pada people power dan kedaulatan rakyat.
Di Indonesia, saya tak melihat Teologi Pembebasan masuk lewat Timor Timur. Sebab wilayah ini baru berintegrasi. Yang jelas, berbarengan dengan munculnya LSM-LSM, pada 1970-an muncul pemikiran kritis sebagai counter terhadap teori pembangunan. Beberapa tokoh LSM mensponsori masuknya teori tentang pembebasan dari Amerika Latin. Misalnya Adi Sasono dan Dr. Sritua Arif. Lihat saja bukunya, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan.

Yang dilakukan Romo Sandyawan sebetulnya empowering orang-orang yang termarjinalisasi. Saya tak tahu apakah ia menggunakan pandangan Teologi Pembebasan. Tapi yang menarik adalah concern-nya sebagai agamawan terhadap realitas masyarakat dan gerakan empowerment.

Di kalangan Islam, pada 1980-an, subur pemikiran tentang Teologi Pembebasan. Sehingga suatu ketika Karl A. Steinbreenk, teolog Katolik, kaget melihat Teologi Pembebasan dibicarakan dengan bersemangat di LP3ES oleh anak muda muslim, seperti Fachry Ali dan Komaruddin Hidayat, dengan figurnya, M. Dawam Rahardjo. Ia heran Teologi Pembebasan dibicarakan dengan sangat terbuka di kalangan Islam, sementara di kalangan Katolik dibicarakan sangat hati-hati.

Tahun 1980-an memang puncak kesuburan pemikiran pembebasan di kalangan Islam Indonesia. Mungkin suasana sosial politiknya mendukung ke arah sana. Tapi pada 1990-an, gerakan ini mulai merosot, terutama setelah ICMI berdiri. Sebab Teologi Pembebasan pada akhirnya akan merefleksikan struktur kenegaraan, sementara ICMI berkepentingan dengan struktur.

Di banyak kalangan Katolik Indonesia, Teologi Pembebasan mungkin merupakan wacana keagamaan yang sangat mencerahkan dan memberi jalan bagaimana agama bisa terlibat dalam proses sosial. Keterlibatan seorang romo dalam upaya menguatkan orang marjinal, saya kira, merupakan bentuk Teologi Pembebasan. Tapi mereka sadar betul sulit mempraktekkan Teologi Pembebasan karena mereka minoritas.

Teologi Pembebasan hanya kuat di kalangan Jesuit. Karena sebagian besar yang concern terhadap pergumulan sosial adalah pastor Jesuit, seperti Romo Sandy. Dan umumnya tokoh-tokoh Teologi Pembebasan di Amerika Latin adalah pastor Jesuit.

TEOLOGI PEMBEBASAN dan GERAKAN MAHASISWA
Oleh Herwindo

Gerakan mahasiswa pada era rezim diktator Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula yang memberikan label bahwa gerakan liberal mulai mengembang. Stigmatisasi kaum radikal mulai menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu pemberontakan, juga hal yang sempat menjadi mitos terbesar dalam setiap gerakan mahasiswa. Namun tidak kalah banyaknya opini, bahwa mahasiswa Indonesia yang radikal dan progressiv dari berbagai lingkungan sosial serta lintas kultur mulai memainkan perannya, fungsi sosialnya melalui gerakan-gerakan pembebasan.

Linkungan sosial di Indonesia mayoritas bangsa Indonesia yang religiusitasnya tinggi, menjadikan gerakan mahasiswa dengan misi pembebasannya dari penindasan totaliter Soeharto mendapatkan stereotip positif. Khususnya bagi umat Islam. Terideologisasi oleh teologi pembebasan. Tetapi di sini tidak berupaya untuk meng-klaim, bahwa gerakan penggusuran simbol orde baru (Soeharto) yang represif itu merupakan hasil kesadaran umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia.

Namun bila berbicara formasi sosial yang menindas dari rezim Soeharto, berekses lebih pada pemeluk Islam dan membentuk bola salju atas pegerakan pembebasan yang digulirkan oleh intelektual muda Indonesia merupakan bentuk geneologis dari violence yang dilakukan negara (state). Adanya sosial gap, kaya-miskin dan tumbuhnya konflik horisontal adalah, anak kandung dari kebijakan pemerintah maupun negara yang timpang. Tidak adanya pemerataan kesejahteraan sosial.

Kemiskinan absolut yang bersumber pada minimnya pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan relatif yang merupakan akibat pertumbuhan ekonomi, menjadi abstraksi sosial yang nyata di Indonesia. Melalui “ideologi” pembangunan nasional, rezim Soeharto membangun kemiskinan dan krisis multi dimensional hingga sekarang. Kemiskinan adalah, sesuatu bisa (racun) disatu sisi dan memberi madu pada sisi lain.

Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme sedari sang diktator Soeharto sampai saat ini merupakan komoditas yang surplus. Relasinya dengan tekstual teologi pembebasan yang bersinggungan dengan wacana agama sangat jelas yaitu, pembebasan aspek atau dimensi sosial dari teologi pembebasan melarang keras adanya eksploitasi dan manipulasi diberbagai bidang, baik secara fisik maupun psikis oleh dan/atau siapapun.

Bentangan relevansi dalam tulisan ini diberikan dapatlah disisipkan contoh seperti, dalam bidang ekonomi praktek riba dan monopoli yang mengedepankan nilai lebih dilarang keras (Qs. Al Baqarah 275-278). Segala bentuk zakat, infaq dan sedekah merupakan sugesti yang baik dan benar agar manusia tidak teralienasi atas dirinya dari lingkungan sekitarnya dan tidak mengadakan penimbunan harta yang mengakibatkan surplus yang pada akhirnya secara langsung mengeksploitasi manusia lainnya.

Hal lainnya yang dapat dijadikan pijakan identifikasi nilai-nilai teologi pembebasan yaitu, manusia memiliki hak untuk hidup, manusia memiliki hak untuk bereproduksi, manusia memiliki hak untuk berpikir bebas dan manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Empat pointer ini merupakan nilai-nilai teologi pembebasan dalam ajaran agama Islam yang mungkin juga merupakan ajaran agama-agama lain di dunia.

Ada atau tidaknya korelasi antara pergerakan kaum intelektual muda atau mahasiswa dengan teologi pembebasan masih perlu dicari validitasnya dan kebenarannya. Namun jikalau berbicara humanitas, yang lekat juga dengan ajaran agama yang menjadi nilai-nilai teologi pembebasan dari pergerakan pembebasan untuk menciptakan perubahan sosial, yang dilancarkan mahasiswa bersama rakyat mungkin bukanlah hubungan yang insidental pula.

Intinya perubahan harus tetap ada, apapun alasannya dan seperti apa perubahan yang menjadi kebutuhan mahasiswa ? Perubahan yang mendasar, Revolusi Sosial !!!




19.7.07

PERGESERAN PELAKON JURNALISME

Oleh : Wilson Lalengke
17-Jul-2007, 00:41:26 WIB - [www.kabarindonesia .com]

KabarIndonesia - Selama ini, dunia tulis-menulis, terutama yang berbau jurnalistik, cenderung didominasi oleh mereka yang secara profesional bekerja sebagai wartawan atau penulis di media massa, majalah, brosur, dan buku. Umumnya, kondisi ini tercipta karena sebagian besar orang menganggap bahwa dunia tulis-menulis perlu keahlian spesial yang nota bene sering diartikan sebagai kompetensi akademis khusus jurnalisme, semisal karena menuntut ilmu di bidang jurnalistik, pengalaman bertahun-tahun sebagai wartawan, dan lain-lain. Hal tersebut tidaklah salah, karena untuk menyajikan sebuah informasi yang menarik dan informatif diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu, walau pada tingkat tertentu persyaratan tersebut justru merupakan sesuatu yang absurd.

Sebagai akibatnya, masyarakat kebanyakan pada akhirnya hanya menjadi konsumen belaka terhadap informasi yang telah menjadi “olahan” dari para “kuli tinta” dan “kuli disket” yang bekerja di berbagai media massa, baik nasional maupun daerah. Sebagai konsumen, kita tidak memiliki akses untuk membentuk informasi yang diterima itu sebagaimana yang kita harapkan. Dengan kata lain, informasi yang kita terima telah “masak” dan siap saji, tidak perduli apakah informasinya benar atau salah, seimbang atau berat sebelah, sesuai fakta atau tidak, dan seterusnya dan seterusnya. Otoritas pembentuk informasi yang jadi konsumsi publik lebih dominan dipegang oleh wartawan, penulis profesional, dan pemilik media massa, yang umumnya sangat dipengaruhi oleh kepentingan- kepentingan perorangan dan kelompoknya.

Pada era teknologi yang amat maju saat ini, ditunjang oleh kemampuan baca-tulis dari setiap kita, setidaknya yang pernah duduk di bangku sekolah dasar, maka sudah sepantasnya masyarakat secara keseluruhan dimampukan berpartisipasi dalam menentukan isi, bentuk, dan interpretasi atas informasi-informasi di media massa. Artinya, setiap kita berhak menentukan isi berita di media massa melalui tulisan berita yang kita buat sendiri; juga setiap kita berhak untuk membentuk diri dan lingkungan kita sesuai aspirasi dan idealisme yang dimiliki dengan cara menyampaikan ide, pemikiran, dan keinginan kita secara langsung “tanpa perantara” kepada publik melalui tulisan/berita langsung masing-masing kita di koran. Dengan pola jurnalisme partisipatif seperti ini, kita dapat memberdayakan masyarakat untuk menentukan hidup dan kehidupan mereka sepanjang umurnya.

Penyaluran aspirasi secara langsung di media massa juga akan berdampak kepada terhindarnya suara-suara masyarakat dari kepentingan- kepentingan politik kalangan tertentu, terutama mereka yang memiliki kolaborasi dengan media massa mainstreams (media massa utama) yang sudah bukan rahasia umum telah terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi semata. Aspirasi masyarakat yang penuh idealisme hidup merupakan pemikiran yang masih orisinil, dan sebaiknya disalurkan dengan tingkat kemurnian yang sama. Tentu saja, jalan terbaik adalah dengan menyampaikan aspirasi itu secara langsung, bebas, umum, dan tidak rahasia. Sebagai sebuah produk pemikiran yang dilandasi idealisme hidup yang tinggi, maka dipastikan pemikiran-pemikiran tersebut juga penuh muatan tanggung jawab yang tinggi dari setiap penulisnya.

KabarIndonesia, sebagai sebuah koran atau media massa online, mengerti benar akan kebutuhan masyarakat modern saat ini. Kebutuhan mendasar yang berpangkal tolak dari keinginan untuk mendobrak hegemoni para profesional media massa kepada keadaan yang memberikan akses kepada setiap manusia untuk menjadi penikmat informasi yang cerdas. Oleh sebab itu, sejak awal KabarIndonesia tetap konsisten untuk memperluas ruang gerak setiap orang, tanpa kecuali, untuk menyalurkan ide, pemikiran, aspirasi, cita-cita dan “duka-cita” hidupnya melalui tulisan di koran KabarIndonesia. Setiap kita diajak untuk menjadi penulis dan mengirimkan tulisan/berita dalam bentuk apapun juga sesuai keinginan masing-masing. Tidak hanya itu, KabarIndonesia juga senantiasa berusaha membimbing dengan pola belajar bersama membuat tulisan, berita, artikel, dan lain sebagainya bagi semua penulisnya. Bimbingan belajar menulis itu dapat dilihat setiap saat di http://www.pewarta- kabarindonesia. blogspot. com.

Melalui keyakinan bahwa dengan bergerak bersama, menyalurkan aspirasi murni kita bersama secara langsung di koran online KabarIndonesia, bangsa ini lambat laun akan kuat merobah kondisi bangsa dan negara ini kearah yang dicita-citakan bersama, bukan kearah yang diinginkan segelintir orang di lingkaran media massa mainstream dan para “pelacur” politik di linkungan kekuasaan. Sebab itulah, kami menganjurkan Anda semua, para penentu masa depan bangsa ini, untuk bergabung menjadi penulis KabarIndonesia. Menjadi penulis itu gampang! Kita akan belajar bersama untuk menjadi penyaji tulisan dan berita yang informatif, bernilai berita, aspiratif, dan edukatif. Proses registrasi penulis KabarIndonesia adalah semudah membuat email di berbagai penyedia layananan email. Hanya perlu waktu 1 atau 2 menit saja untuk melakukan pendaftarannya dengan meng-klik kolom “Daftar Jadi Penulis” di website www.kabarindonesia. com. Selebihnya, Anda sudah menjadi penulis di media online KabarIndonesia,
koran milik Anda, dan siap menjadi corong idealisme bagi diri sendiri, lingkungan sekitar, dan bangsa Indonesia tercinta.

Sebagai rekan sesama penulis “orang biasa” yang non-profesional, saya tunggu kemunculan Anda semua di meja redaksi.***


13.7.07

O R A S I

Tekhnik Orsai
Secara definitif, tehnik orasi merupakan kemampuan orang perorang yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu, menggerakkan, memberi informasi, memberi penjelasan ataupun mempengaruhi dan memberikan sugesti kepada orang lain. Maka membicarakan kemampuan di sini berarti pula membicarakan sebuah kiat ( seni ) dari hasil eksperimentasi yang dilakukan orang perorang, meski pun dalam beberapa hal memiliki kesamaan kesamaan.

Isi Orasi
Orasi dapat berisi suatu pesan kepada khalayak, informasi berkaitan dengan tujuannya (politis, ilmiyah dsb), penjelasan (argumentasi terhadap suatu persoalan), persuasif (mempengaruhi psikilogi massa) dan memberi sugesti kepada massa (agitasi)


Orasi yang baik
Orasi yang baik merupakan orasi yang mempunyai tujuan dan sasaran dari sebuah kepentingan, yang ini kaitannya dengan apakah pendengar akan mengerti maksud dari bahan yang diorasikan. Beberapa hal penting yang musti diperhatikan dalam penyampaian orasi adalah hal hal sebagai berikut:

penguasaan materi. Baik materi induk atau pun materi penunjang yang digunakan sebagai pendukung dari kepentingan yang dipakai dalam orasi

mengetahui tujuan dan target orasi

memperhatikan kondisi massa, baik kondisi kognitif, psikologis (emosi) ataupun kehendak massa. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan yang ada dalam kolektif massa agar percaya bahwa orasi ini tidak hanya untuk tujuan perorangan tapi bersama (termobilisir). Contoh massa aksi.

menggunakan bahasa yang dipahami massa pendengar. Baik kemampuan pilihan kata, mimik dst.

berusaha percaya pada massa agar tidak terkesan orasi yang disampaikan menggurui.



Macam Orasi (propaganda)

Terdapat beragam orasi sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Dalam versi IOPA terdapat beberapa poin:

name calling
. Yaitu orasi dengan memberi julukan/sebutan dengan maksud merendahkan. Misalnya pengacau, penjilat dst.

glittring generalist
. Yakni penonjolan gagasan dan pengidentifikasian diri dengan yang serba agung. Misal, atas nama rakyat dsb.

transfer
. Yakni orasi dengan memakai pengaruh dari tokoh tokoh berpengaruh atau menggunakan prestise dari suatu yang luhur dan mempunyai otoritas sanksi. Misal, menurut Gramsci. Atau seperti firman tuhan...

plain folks
. Yaitu orasi dengan identifikasi terhadap ide untuk menunjukkan pengabdian kepada khalayak (pendengar)

badwagon technique
. Yaitu orasi dengan penonjolan pada sukses yang dicapai.


Selain ituberbeda dengan IOPA, Buku Propaganda baru membedakan orasi berdasarkan aspek psikologis dari komunikan :

penyampaian dalam bentuk sederhana dan di ulang ulang dengan penonjolan slogan.

penyampaian propagan da secara terang terangn tapi menanamkan sugesti secara lambat sambil menyembunyikan tujuannya.

menimbulkan hubungan dengan cara menumbuhkan kepentingan umum dan pribadi.

penyampain orasi berdasarkan sikap penduduk yang ada.

membangkitkan sikap yang dapat mendukung masalah yang dikemukakan dalam orasi dengan cara menghindarkan diri dari sikap menentang.

penggunaan sugesti yang bersifat negatif berbentuk counter propaganda dengan maksud melemahkan posisi lawan

menyebarkan berbagai bentuk bujukan terhadap penduduk/mempengaruhi.

Orasi memiliki peran yang sanat penting dalam penyampaian maksud dan tujuan atas ssuatu kepentingan. Maka tentu sudah menjadi tuntutan bagi seorang orator untuk memahami betul fungsi tersebut. Bahwa yang terlebih penting lagi adalah bagaimana menggunakan media orasi bukan semata sebagai alat mobilisasi kepentingan, tapi adalah sebagai alat pendidikan massa...

-- Lodzi --



7.7.07

Kiriman Sahat tarida








dicari ADMIN FPPI webblog !!

PRO KAWAN FPPI
salam. saya dengan ini berharap ada diantara kawan2 FPPI yang sering online, mohon bisa melanjutkan 'menelihara' blog ini --
http://www.fppi.blogspot.com/ (sebagai admin). karena kesibukan belakangan ini saya jadi kurang intens menampung baik tulisan maupun kiriman dalam bntuk gambar/photo. jadi istilahnya saya ingin serahkan 'kepengurusan' blog ini kepada siapa saja diantara kawan2 yang sanggup untuk mengolahnya. mohon mengirim email kesanggupan ke nademkra@gmail.com untuk selanjutnya akan saya kirimkan ID dan password untuk kebutuhan mengakses account dan mengolah data. sebagai tambahan, bagi kawan2 yang masuk FS (friendster.com) dapat bergabung dalam group NADEMKRA. demikian harap maklum dan semoga 'ruang ini' dapat memberi manfaat. trimakasih.

Malang, 5 Juli 2007

Nur Hady (lodzi)

kiriman Kayuum amri










KIRIM SOURCE

BAGI KAWAN KAWAN YANG INGIN TULISANNYA DIMUAT DI SINI ATAU KIRIMAN DALAM BENTUK FOTO FOTO AKSI ATAU SEGALA YANG BERKAITAN DENGAN KE-FPPI-AN....SOURCE DAPAT DIKIRIMKAN KE EMAIL BERIKUT: nademkra@gmail.com

KAMI TUNGGU !!