11.4.08

Tahan 2 petani, polres didemo

Jumat 11 April 2008

PANDEGLANG – Seratusan pemuda tergabung dalam Solidaritas Pemuda Mahasiswa Untuk Petani Ujung Kulon (SPMUPUK), Kamis (10/4), demo ke Polres Pandeglang.

Kedatangan massa SPMUPUK tersebut menuntut 2 petani asal Kecamatan Sumur yang ditahan di Mapolres Pandeglang segera dibebaskan.

Hendi, 39, Desa Ujung Jaya, dan Arman, 42, warga Desa Taman Jaya, ditangkap petugas Polisi Kehutanan (Polhut) pada Jumat (4/4) lalu. Kedua petani ini dituduh melakukan perambahan hutan di Kawasan

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Oleh petugas Polhut, dua petani itu diserahkan ke Mapolres Pandeglang. “Mereka tak seharusnya ditahan karena tidak melakukan pengrusakan hutan,” teriak Tb. Nurjaman, korlap aksi.

Kasat Reskrim Polres Pandeglang, AKP Yusuf Rahmanto, mengatakan dua tersangka masih ditahan, namun Yusuf mengaku telah menerima surat permohonan penangguhan dari keluarga. “Masih kami kami pertimbangkan,” ujar Yusuf.

6.4.08

Polisi Hutan dan Polres Pandeglang Tangkap Anggota Serikat Tani Ujung Kulon

Dua orang warga ditangkap dan ditahan. Semena-mena, tanpa surat pemberitahuan penangkapan. Kejadian tersebut berlangsung saat malam. Kampung Legon Pakis, kecamatan Sumur, kabupaten Pandeglang.

Suhendi (37 tahun), ditangkap di rumahnya. Aparat Kepolisian, dan polisi hutan yang menumpangi dua kendaraan datang tanpa surat pemberitahuan penangkapan. Mereka mendobrak pintu rumah milik Suhendi hingga rusak. Polisi meneriakkan kata-kata makian, memborgol dan menutup mata Suhendi dengan lakban. Sebelumnya, aparat kepolisian juga menangkap Walma (32 tahun). Walma mendapat perlakuan yang sama dengan Suhendi. Tangan diborgol, mulut disumpal. Keesokan paginya di polres Pandeglang, barulah lakban penutup mata dan mulut dibuka.

“ Mereka menebang pohon untuk membuka lahan. Tapi yang mereka buka bukan kawasan hutan inti.” Ujar Suhaya, tokoh masyarakat yang juga ketua STUK. Suhaya menambahkan bahwa masyarakat berhak untuk mengelola tanahnya.

Tahun lalu. Satu orang warga mati ditembak polisi hutan atas tuduhan yang sama. Kematian Komar, menimbulkan solidaritas warga kampung. Kontan saja, pos jaga polisi hutan, dan dua kendaraan bermotor dibakar. Hingga kini, pos jaga polisi hutan dibiarkan terbengkalai oleh pengelolan TNUK.

Konflik Tanah Ujung Kulon
Konflik tanah di wilayah Ujung Kulon bermula dari keinginan TNUK memperluas area. Mereka memajukan tapal batas secara sepihak, tanpa melakukan musyawarah pada warga dan aparatus desa. “ Kakek kita sudah tinggal lama di sini, masyarakat juga melakukan kewajiban dengan membayar Pajak Hasil Bumi dan Pajak tanah,” ujar Kamirudin. Suhaya menjelaskan bahwa tapal batas itu masih ada. “ Tapal batas mulai dari sungai Cilintang di sebelah barat, dan gunung Honje di sebelah timur. Sekarang TNUK maunya batas wilayah masuk sampai ke kampung pemukiman.”

Budi Sihabudin menjelaskan bahwa TNUK seharusnya mempertimbangkan kewajiban yang telah ditunaikan masyarakat, sebelum menuduh masyarakat merambah hutan.
“ Selama ini masyarakat melakukan kewajiban membayar pajak, mereka juga memiliki sertifikat tanah. Tidak ada itu masyarakat melakukan penebangan liar di hutan.”

Hal ini juga dipertegas Suhaya. “ Sejak jaman nenek moyang, kita sudah tinggal di sini. Di sini berlaku hukum kampung, untuk tidak merusak hutan. Kalau mau menggunakan kayu, warga harus menanamnya jauh-jauh hari.”

Tahun lalu, perwakilan masyarakat Ujung Kulon mendatangi kantor Komnas HAM dan BPN di Jakarta. Mereka juga telah melakukan koordinasi dengan BPN wilayah, yang merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ulang. Tapi sampai hari ini, belum pernah dilakukan pengukuran ulang tapal batas.

“Pengukuran ulang harus segera dilakukan. Kalau tidak dilakukan, akan terus terjadi konflik seperti ini.” Tandas Budi.

KRONOLOGIS PERJUANGAN DAN PENANGKAPAN PETANI ANGGOTA SERIKAT TANI UJUNG KULON (STUK)

Sengketa agraria kembali menempatkan warga negara Indonesia dan kaum tani kecil yang mempertahankan lahannya untuk kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai pihak yang dipersalahkan dan dikorbankan oleh aparatus negara. Perampasan tanah warga oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon diawali oleh penetapan Ujung Kulon sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun 1992 komisi warisan dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.

Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Komar, warga Ujung Jaya yang dilakukan oleh Satuan Polisi Hutan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada 4 November 2006 yang di respon oleh massa petani dengan pembakaran pos-pos jaga dan fasilitas transportasi milik Balai Taman Nasional Ujung Kulon, situasi di wilayah ujung kulon kembali tegang

Tuntutan warga Ujung kulon kepada Pemerintah dan Balai Taman Nasional semakin menguat seiring dengan pembentukan Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) seperti yang dimanifestasikan dalam aksi boikot dan penutupan jalan menuju kawasan TNUK pada hari senin, 4 juni 2007, sekaligus menyikapi penangkapan terhadap 5 orang petani yang dianggap sebagai pelaku pengrusakan dan pembakaran fasilitas milik balai TNUK, tuntutan yang diajukan yaitu : (1). Kembalikan Tanah warga yang dirampas TNUK, (2). Bebaskan 5 orang warga yang ditahan, (3). Warga menolak Program Relokasi.

Kemudian STUK mengutus 3 orang petani yang dipimpin oleh Bpk Suhaya (Ketua Serikat Tani Ujung Kulon) untuk memperjuangkan pengakuan dan pengembalian tanah petani Ujung Kulon di Jakarta. Bersama-sama dengan Pimpinan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) mendatangi dan menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan secara langsung mengadukan terjadinya pelanggaran HAM di Ujung ulon kepada Bpk Amidhan. Pada saat itu dijanjikan akan dilakukan pengumpulan data dan kunjungan ke lokasi. Selanjutnya STUK, FPPI dan PBHI menemui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melaporkan dan mendesak adanya tindakan terhadap perampasan tanah warga yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dengan mengajukan bukti-bukti kepemilikan tanah yang di miliki warga. Oleh BPN di janjikan akan melakukan pemeriksaan dan meneruskan laporan tersebut ke BPN Pandeglang.

Dari konsolidasi STUK di Ujung Kulon diputuskan untuk melakukan aksi massa di Departemen Kehutanan menuntut pengembalian tanah rakyat dan pengukuran ulang tapal batas Taman Nasional Ujung Kulon. Aksi yang diikuti petani anggota STUK, FPPI dan PBHI di depan Gedung Departemen Kehutanan, diterima oleh kepala Humas Departemen Kehutanan dan bagian KSDA. Pada pertemuan itu pihak kehutanan tetap bertahan bahwa masyarakat hanya dibolehkan mengelola, sementara tuntutan aksi massa pada saat itu pengembalian tanah milik warga yang dirampas TNUK. Setelah aksi di Departemen Kehutanan terjadi pergantian Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon kepada Ir. Agus Priambudi.

Ujung kulon kembali memanas, upaya Balai Taman Nasional mendirikan Pamswakarsa yang terdiri dari mantan lurah dan jawara yang berasal dari desa-desa disekitar kawasan taman nasional mencemaskan warga. Dengan seragam hitam-hitam, dalam aktivitasnya pam swakarsa sering melakukan patroli dan menyatroni warga yang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari termasuk ketika inisiatif warga untuk melakukan pembersihan tdi tapal batas lama, pam swakarsa sejak pagi telah melakukan penjagaan.

Hingga pada malam sabtu tanggal 4 April 2008 pukul 01.00 WIB terjadi penangkapan terhadap petani anggota Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) yaitu:
1. Nama : Suhendi
Umur : 37 Thn
Pekerjaan : Tani
Alamat : Warga Legon Pakis, Desa ujung Jaya Kec. Sumur Kab. Pandeglang

2. Nama : Walma
Umur : 32 Thn
Pekerjaan : Tani
Alamat : Warga Tanjung Lame Desa ujung Jaya Kec. Sumur Kab. Pandeglang

Kedua warga anggota Serikat Tani Ujung Kulon tersebut ditangkap oleh anggota Polisi Resort Pandeglang dan satuan Polisi Hutan dengan tuduhan melakukan pengrusakan di wilayah taman nasional.

Kronologis penangkapan:

Penangkapan dilakukan oleh pihak Kepolisian Pandeglang bersama dengan Polisi Hutan TNUK di rumah petani yang bersangkutan, Aparat dengan menggunakan 2 mobil, melakukan penangkapan yang disertai tindak kekerasan dan perusakan rumah warga. Selain itu penangkapan tersebut juga tidak disertai dengan pemberitahuan surat penangkapan terhadap pihak Aparat Desa Ujung Jaya.


Jum’at 4 April 2008 sekitar Pukul 00.00 WIB:

Aparat Kepolisian dengan menggunakan 2 mobil mendatangi rumah Sdr. Walma (32 Th) di Kp. Tanjung Lame. Pada mulanya aparat yang tidak menggunakan seragam kepolisian bersama dengan Polisi Hutan, tetapi tanpa basa-basi langsung membungkam mulut Sdr. Walman dengan Lakban dan memborgol kedua tangannya, lalu dibawa ke mobil mulutnya yang dibungkam dengan lakban tersebut baru dibuka di Polres Pandeglang pada pagi harinya.

Jum’at 4 April 2008 Pukul 00.30 WIB :

Aparat kepolisian dan Polisi Hutan, melanjutkan operasi penangkapannya ke rumah Sdr. Suhendi (37 Th). Pihak aparat langsung mendobrak pintu Sdr. Suhendi hingga rusak, sambil memaki-maki dengan perkataan yang tidak sopan dan langsung memborgol tangan Sdr. Suhendi, serta menutup kedua matanya dengan menggunakan lakban, hingga sampai ke Polres Pandeglang yang berjarak ratusan kilometer baru dibuka.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 05.30 WIB:

Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma tiba di Polres Pandeglang dan langsung dimasukkan kedalam sel tahanan.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 08.00 WIB:

Tim dari FPPI Pandeglang mendatangi Polres Pandeglang dan meminta dipertemukan dengan Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma, tetapi tidak diijinkan oleh polres tanpa alasan yang jelas.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 14.00 WIB:

Tim dari FPPI Pandeglang kembali mendatangi Polres Pandeglang, untuk meminta dipertemukan dengan Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma. oleh Polres diijinkan bertemu. Kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan 2 orang petani anggota STUK tersebut digunakan untuk menanyakan kabar dan bagaimana proses penangkapan yang terjadi serta perlakuan terhadap mereka hingga di tahanan polisi resort pandeglang.

Demikian kronologis ini dibuat dengan sebenar-benarnya, untuk keperluan perjuangan petani ujung kulon mempertahankan lahan kehidupan dan tanah kelahirannya.



Jakarta, 08 April 2008

Kronologis ini disusun oleh Pimpinan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Sumber keterangan :
Sdr. Suhendi (37 Thn)
Sdr. Walma (32 Thn)
Bpk. Carik Udin/ Aparat Desa Ujung Jaya
Bpk. Lurah Kamirudin/ Kepala Desa Ujung Jaya
Bpk. Suhaya. Ketua Serikat Tani Ujung Kulon (STUK)
Eman Sulaeman, Ketua Pimpinan Kota FPPI Pandeglang
Budi Sihabudin, Pengurus Biro Tani FPPI




Pernyataan Sikap



Terhadap Penangkapan Anggota Serikat Petani Ujung kulon (STUK)

Salam perjuangan.!

Tanah untuk Rakyat !. Land Reform dan perjuangan rakyat hak atas tanah serta kekerasan aparatus negara terhadap perjuangan rakyat tersebut, selalu menjadi warna kisah perjuangan kita dalam menata ulang sistem penguasaan lahan di bumi pertiwi ini. Kini, kisah kekerasan aparat tersebut kembali terjadi, dengan ditangkapnya 2 orang petani Ujung Kulon yang sedang memperjuangkan tanahnya atas perampasan yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Penangkapan tersebut adalah bagian dari bentuk penjegalan perjuangan rakyat oleh Negara dan sekaligus Negara dengan mata telanjang telah memperlihatkan dirinya sebagai anjing penjaga modal.

Niat suci para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Ujung Kulon (STUK), untuk berjuang mempertahankan tanah warisan leluhurnya, yang dengan tanah itu dapat menghidupi diri, keluarga serta masyarakat dan bangsanya, tetapi perjuangan kaum tani Ujung Kulon selalu dijawab dengan sikap represif aparat serta tuduhan kriminalisasi terhadap perjuangan yang dilakukannya.

Petani bukan Penjahat, Petani pemberi makan dunia !, Kriminalisasi perjuangan petani Ujung Kulon, telah menambah panjang deretan kasus perjuangan petani yang diwarnai oleh kekerasan pihak aparat keamanan, pelanggaran HAM. Tuduhan yang dilontarkan pihak aparat adalah pengrusakan wilayah konservasi Taman Nasional Ujung Kulon sama sekali tidak pernah bisa masuk akal sehat, karena lahan pertanian petani bukan berada di wilayah konservasi, dan malah pihak TNUK dengan sepihak telah memperluas wilayah konservasinya melewati batas tanah-tanah rakyat. Perluasan wilayah konservasi tersebut jauh menembus batas tanah dan perkampungan petani Ujung Kulon. Dari situasi tersebut betapa direndahkannnya martabat manusia dibandingkan dengan binatang-binatang yang berada di taman nasional ujung kulon, maka dari itu atas nama fakta dan hati nurani kami dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) Menuntut.!

Bebaskan 2 anggota serikat Tani ujung kulon (STUK)

Kembalikan tanah petani ujung kulon yang dirampas TNUK

Usut dan tindak tegas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di ujung kulon