27.11.08



MASA DEPAN PEREKONOMIAN INDONESIA
(SKB 4 MENTERI DAN NASIB BURUH INDONESIA)
Oleh : Ferry Widodo


Badai krisis yang dialami Negara Amerika serikat sebenarnya menunjukan bahwa lemahnya sistem ekonomi kapitalisme (baca : Neoliberalisme) yang saat ini dianut oleh banyak Negara maju dan berkembang. Dengan semangat kesejahteraan sesuai dengan wacana ekonom konservatif para ekonom kaum liberal memaksa banyak Negara untuk memakai sistem ekonomi neoliberalisme sebagai sebuah sistem yang paling bagus dan sempurna dalam menciptakan kesejahteraan secara umum. Namun kebertahanan sistem ekonomi neoliberalisme kembali dipertanyakan pada saat badai krisis ekonomi AS sebagai Negara penganut setia paham neoliberalisme mengalami krisis yang menyebabkan imperium Wall Stret harus berjalan terseok-seok, sehingga akhirnya imbas badai krisis ini harus dialami banyak oleh Negara-negara maju dan berkembang sebagai konsekuensi dari mereka yang mengikuti paham sistem ekonomi neoliberalisme. Pertanyaanya kemudian apakah ini pertanda kegagalan sistem ekonomi neoliberalisme?. Sebelum kita lebih jauh memberi jawaban atas pertanyaan tersebut mari kita lihat dulu sejarah dan subtansi dari pemikiran sistem ekonomi neoliberalisme.

SEJARAH NEOLIBERALISME
Bagi banyak pemikir liberal, pada awalnya kapitalisme dianggap dapat menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan apa yg telah berhasil diraih. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas yang belum menemukan kebebasan dalam bentuk persaingan. Hal inilah yang kemudian mendorong terbentuknya paham dari kaum liberal yaitu kebebasan, yang berarti bahwa ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Apakah anda bernilai bagi orang lain, ataukah orang lain akan dengan senang hati memberi sesuatu kepada anda. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tersebut dengan memperkecil turut campurnya aturan pihak lain. "kita berhak menjalankan kehidupan sendiri"

Saat ini, ekonom seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kembali mengulangi argumentasi klasik Adam Smith dan JS Milton yang menyatakan bahwa: masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.

Pemahaman inilah yang kemudian dipakai oleh para ekonom kapitalis pada saat dekade tahun 1970an terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan terjadinya krisis minyak dunia akibat reaksi dari dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur yang kemudian disusul dengan embargo terhadap AS yang dilakukan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah dan sekutu-sekutunya serta melipatgandakan harga minyak dunia, ini kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Disituasi inilah kemudian ide-ide liberalisme kembali bangkit dan mendapatkan posisi yang cukup dominant bukan hanya di Negara-negara maju tetapi juga dilembaga-lembaga donor seperti IMF dan Worl Bank.

Hal ini dengan cepat disambut baik oleh pemimpin beberapa Negara seperti AS dan Inggris dengan langsung menerapkan sistem ekonomi neoliberalisme di Negara meraka masing-masing yang kemudian dikenal dengan “Reaganomics” untuk AS dan “Thatcherisme" untuk Negara Inggris. Walupun secara praktek dan pertemuan pikiran mereka dengan paham liberal berbeda-beda tetapi secara subtansi mereka mendorong bahwa intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Kemudian paham ekonomi neoliberal ini kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonom neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.

Imbas paham dari sistem ekonomi neoliberalisme adalah semakin berkembangnya logika pasar yang akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggaraan bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi disektor ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.

Sepanjang periode tahun 1970-sekarang paham dan sistem neoliberlisme berjalan massif di seluruh belahan dunia. Bagi Negara-negara yang mempunyai fondasi ekonomi yang kuat penerapan sistem ekonomi neoliberalisme membuat kemajuan yang cukup fantastis. Di Inggris, penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri mengalami lonjakan dari sekitar separoh pada tahun 1980 meningkat menjadi dua pertiga pada akhir kepemimpinan Thatcher. Penjualan TV, CD, AC dan mobil mengalami lonjakan yang cukup drastis, setiap empat dari lima rumah memiliki video recorder, sekitar 43 persen rumah tangga Inggris memiliki komputer. Di selandia baru mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata empat persen selama sejak tahun 1992 dan mampu mencapai angka pengangguran sebesar 6 persen. Australia menikmati satu tingkat lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Negara-negara maju. Cile mengalami pertumbuhan tujuh persen pertahun selama satu dekade 1988-1998. tidak terkecuali beberapa Negara asia seperti Singapura, Thailand, Cina dan India yang menikmati kue neoliberalisme.

Kemudian apa yang terjadi di Negara Indoesia pada saat sistem ekonomi neoliberalisme harus diterapkan di negeri ini mengingat bahwa fondansi sistem ekonomi kita masih belum cukup kuat. Bisa kita saksikan sendiri bahwa akhirnya perampokan aset-aset Negara terjadi, semenjak kran privatisasi dibuka dengan sekejab aset-aset penting Negara seperti BRI, BNI, PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Perusahaan Gas Negara, PT Asuransi Kredit Indonesia, PT Kawasan Beriket Nusantara, PT Pulo Gadung Kumpus Negara, Telkomsel, Bank Mandiri, PT Danareksa, PT Angkasa Pura I dan II, PT Kimia Farma, PT Indosement, PT Jakarta Internasional, PT Semen Gersik, PT Wisma Nusantara, PT Intirub, PT ATmindo, PT Iglas, PT Kertas Padalarang, PT Kertas Basuki Rahmat dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan proses swastanisasi beberapa Rumah Sakit yang ada di Jakarta. Kebijakan pemerintah saat ini pun begitu gila dan semena-mena dengan memprivatisasi 37 BUMN tahun ini, dimana 34 BUMN merupakan BUMN yang baru masuk program privatisasi tahun 2008 ini dan 3 BUMN yang privatisasinya telah tertunda di tahun 2007.

Proses ini masih belum cukup, pemerintah dengan berani melakukan penarikan subsidi di beberapa sektor masyarakat serta proses liberalisasi perdagangan barang dan jasa juga semakin semakin massif dengan terbitnya UU dan Perpres yang memfasilitasi proses liberalisasi, hal ini kemudian semakin menggiring masyarakat masuk pada jurang kemiskinan yang akut. Seiring dengan proses penenarapan sistem ekonomi neoliberalisme dan turunannya, menyebabkan tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan masyarakatnya semakin hilang dan peran Negara hanya diwakili oleh institusi-institusi administratip yang berperan hanya tidak lebih sebagai event organizer bagi even-even pemerintah

PASAR YANG (Masihkah) BERKUASA…??
Sesuai dengan semangat Neoliberalisme yang mengampanyekan pasar bebas dengan bersandarkan pada model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab teori ekonomi neoklasik, pada model ini sejatinya berlaku persyaratan free entry dan free exit (bebas masuk dan keluar). Keuntungannya adalah bukan pemerintah yang dapat menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar saat defisit karena proses itu berlangsung begitu rupa sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal” (normal profit). Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti itu, sebagaimana pakem yang diyakini kalangan ekonom neoliberal. Tetapi untuk beberapa bulan terakhir mekanisme dan paham neoliberalisme kembali dipertanyakan. Pada saat kekisruhan di kerajaan Wall Street juga dapat dipandang sebagai bagian proses mekanisme pasar.

Awalnya, berbagai koorporasi diberi insentif untuk membesarkan diri dengan membebaskannya dari aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka difasilitasi regulasi yang sengaja dibiarkan longgar sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan berbagai produk keuangan yang ajaib dan berisiko tinggi. Hal inilah yang menyebabkan permainan di pasar keuangan AS semakin tidak terkontrol. Awal dari kredit macet perumahan yang kemudian berlaku efek domino yang menyebabkan ambruknya beberapa saham unggulan AS di pasar finsial dan berujung pada kebangkrutan perusahaan sekuritas seperti Lehman Brothers dan Mutual Washington, menunjukan bahwa saat ini paham pasar bebas (baca : neoliberalisme) menyebabkan para investor terjebak dalam insting dasar manusia yaitu kerakusan seperti yang pernah diungkapkan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang mereka minta) yaitu kerakusan para pemburu rente yang berbuah bencana.

Kemudian AS sebagai penganut paham neoliberalisme kembali dipertanyakan konsistensinya, pada saat pemerintah AS menerapkan kebijakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan paham neoliberalisme dengan memberi napas buatan (baill out) melalui dana talangan tanpa banyak persyaratan dan tak ada tenggat waktu pengembalian dan batas maksimum dana yang harus digelontorkan, serta pemerintah AS tidak juga mengatur apa yang harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi organisasinya dan kebijakannya guna memastikan dana talangan itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila dibandingkan dengan aneka syarat yang dianjurkan AS melalui IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada negara-negara berkembang, pada saat Negara tersebut mengahadapi krisis seperti yang pernah di alami Indonesia.

DAMPAK KRISIS AS Dan KELUARNYA SKB 4 MENTERI
Pelan-pelan krisis AS telah menjalar keseluruh dunia, beberapa pasar saham dunia telah terkena imbas krisis tersebut. Sebut saja Indonesia, sebagai Negara penganut rezim devisa bebas, pasar saham Indonesia terkena dampak yang cukup nyata, penurunan beberapa harga saham unggulan dan terus menurunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadikan banyak investor yang bermain di bursa saham menjadi kalang kabut dengan kembali menarik diri dari bursa saham Indonesia (BEI), hal ini terus diperparah dengan rontoknya nilai rupiah di pasar Valuta Asing yang menyebabkan kepercayaan para investor juga semakin melemah. Disatu sisi pemerintah Indonesia pun terlalu terburu-buru dengan mengeluarkan 10 paket kebijakan ekonomi yang sebenarnya hanya kebijakan normatif tanpa adanya orientasi pembangunan fundamen ekonomi yang nyata.

Seperti kebijakan Negara yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut penetapan upah nominal perburuhan. Alih-alih agar tidak terjadi PHK massal terhadap pekerja, pemerintah mengeluarkan SKB 4 menteri dengan tidak mengacu pada masalah kesejahteraan dan keadaan nyata rakyat Indonesia. Kehidupan rakyat Indonesia saat ini begitu sangat memprihatinkan setelah kenaikan harga BBM pada bulan Mei lalu, angka kemiskinan di masyarakat ini mencapai 49,5 persen hampir separuh dari seluruh rakyat Indonesia (data yang dirilis oleh Bank Dunia) dengan pendapatan kurang dari $ 2 perhari. Angka ini berbeda dengan angka yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini. Pemerintah mengklaim bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar 2,21 juta jiwa dari angka semula 34,96 juta jiwa menjadi 37,17 juta jiwa, angka ini kemudian dianggap pemerintah sebagai sebuah keberhasilan yang nyata yang telah dilakukan pemerintah saat ini. Ini juga selaras dengan klaim pemerintah yang mengatakan bahwa pemerintah telah berhasil menurunkan angka pegangguran di Indonesia, mengacu pada angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen. Padahal saat ini saja, besaran angka pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 tercatat sebesar 17 persen, menjadi 26 persen pada tahun 2004, dan kini pada tahun 2008 meningkat menjadi 50,3 persen. Artinya bahwa angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini merupakan kebohongan publik dan semata-mata angka-angka politis demi menarik simpati masyarakat untuk pemilu 2009.

SKB 4 MENTERI DAN NASIB KAUM BURUH INDONESIA
SKB 4 Menteri yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang kemudian membuat banyak aksi penolakan dari para buruh di Indonesia merupakan kebijakan yang salah kaprah dan terburu-buru. Kebijakan yang memuat 5 pasal ini betul-betul menjadi kebijakan yang sangat merugikan nasib kaum buruh. Tercatat dalam pasal 2 bahwa penetapan upah buruh diupayahkan terlebih dahulu adanya komunikasi Bipartit antara unsur buruh yang diwakili oleh serikat buruh dan pengusaha di perusahaan. Tetapi yang kemudian mengkuatirkan adalah angka yang tercatat dari seluruh buruh yang ada di negeri ini, hanya 10 % kaum buruh yang terdaftar di serikat buruh. Pertemuan Bipartit juga sebenarnya hanyalah akal-akalan pemerintah dalam melepaskan tanggung jawabnya terhadap nasib buruh Indonesia, sebab dalam pertemuan Bipartit yang selama ini ada, posisi tawar kaum buruh sangatlah lemah dengan sedikit ancaman bahwa akan ada PHK apabila kaum buruh berselisih paham dengan pengusaha di pertemuan Bipartit, menyebabkan para buruh mengikuti keputusan hasil dari pertemuan Bipartit. Di pasal 3 kemudian juga disebutkan bahwa dalam penetapan upah buruh, Gubernur mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar enam persen, artinya angka kenaikan upah buruh yang akan ditetapkan oleh Gubenur hanya sebesar enam persen. Ambil contoh di D.I Yogyakarta angka upah minimum propinsi pada tahun 2008 hanya sebesar 586.000, apabila angka upah minimum pada tahun 2009 tidak boleh melampaui angka pertumbuhan nasional maka nilai UMP hanya sebesar 621.160. angka ini secara otomatis jauh dari angka KHL buruh di D.I Yogyakarta yang mencapai angka 850.000 ribu rupiah. Jadi dapat dibayangkan apabila angka UMP yang hanya sebesar 621.160 mampukah para buruh hidup ditengah himpitan semakin melonjaknya harga kebutuhan pokok, serta harga-harga kebutuhan buruh lainnya.

Maka dengan kata lain bahwa penerapan SKB 4 menteri ini merupakan tindakan pelepasan tanggung jawab Negara dalam melindungi nasib para buruh serta Negara lebih cenderung melindungi nasib para pengusaha yang selama ini memang tidak pernah mempunyai visi mensejahteraakan nasib para buruh. Sehingga menjadi wajar apabila terjadi banya aksi penolakan dari para buruh terhadap kebijakan SKB 4 menteri yang dipandang semakin memarjinalkan nasib buruh Indonesia, dengan demikian SKB 4 menteri merupakan akal-akalan pemerintah dalam menjerumuskan rakyat khususnya para buruh di Indonesia pada jurang kemiskinan.

MENUNTUT TANGGUNG JAWAB NEGARA (Pemerintah)
Kebijakan pemerintah dalam menaggulangi krisis hari ini masih dipandang sebagai kebijakan yang sangat normatif. Hal ini menunjukan bahwa peran Negara melalui dewan ekonominya tidak mempunyai sedikitpun orientasi pembangunan ekonomi yang bersandarkan dari ekonomi rakyat. Kebijakan Negara hanya akan memperparah dampak krisis ekonomi ini, beberapa hal yang menjadi catatan penting adalah sepanjang periodesasi tahun 1980an sampai dengan dengan sekarang kebijakan ekonomi bangsa ini sangat bercorak sistem ekonomi neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi didasarkan angka-angka statis investasi yang masuk ke Indonesia, perhitungan angka kemiskinan dan pengangguran yang dikeluarkan pemerintah pada periode sekarang pun, juga menjadi persoalan dan harus kembali dipertanyakan. Ini akibat peran pemikir ekonom liberal seperti Boediono, Srimulyani, Marielka Pangestu, Aburizal Bakrie dan lain-lain, sangat berperan penting dalam menentukan struktur kebijakan ekonomi Indonesia. Seperti yang di ungkapkan Rizal Mallarangeng dalam bukunya Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, bahwa peran komunitas epistemis liberal telah mampu mengehegemoni pemikiran masyarakat Indonesia melalui media cetak, seminar, diskusi, dan pertemuan publik lainnya. Selain itu, gagasan neoliberalisme juga berjalan dalam sebuah institusi besar yang bernama lembaga Negara, dalam perspektif itulah Mallarangeng melihat bahwa liberalisasi ekonomi terjadi.

Jadi jangan heran apabila Negara AS sebagai penganut dan penyebar paham neoliberalisme mengalami guncangan yang cukup hebat di sector ekonomi, Indonesia kemudian mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Dalam hal ini sebenarnya infrastrutur ekonomi Indonesia memang cukup lemah dan sekali lagi bahwa kebijakan ekonomi yang hadir pasca 1965, bukanlah kebijakan ekonomi yang berorientasi melakukan penguatan ekonomi rakyat yang bersumber pada sumber daya alam dan bentuk produksi masyarakat.

Melihat semakin tidak terkontrolnya situasi krisis global saat ini, semestinya pemerintah dengan berani melakukan langkah antisipasi yang seharusnya sejak dulu dilakukan pemerintah. Beberapa langkah antisipasi tersebut adalah :

1.Pemerintah berani melakukan pemutusan hubungan kepada semua lembaga-lembaga neoliberalisme serta berani melakukan negosiasi dalam penciptaan hubungan kerjasama dengan Negara-negara maju yang adil dan seimbang.

2.Pemerintah harus berani melakukan proteksionisme pasar dan memberikan insentif kepada sector industri rakyat, demi menjaga kelangsungan hidup industri dalam negeri. Langkah ini juga harus selaras dengan penciptaan pemintaan domestik yang mampu menyerap hasil produksi industri nasional.

3.Demi menanggulangi tindakan PHK massal akibat semakin tingginya biaya produksi dan hancurnya pasar luar negeri akibat krisis global ini, pemerintah harus sudah berani melakukan :

a.Memangkas ketidak efisiensinan birokrasi dalam praktek pungutan liar di setiap proses produksi industri nasional.
b.Membangun industri nasional dengan pemerintah berani melakukan nasionalisasi aset-aset Negara yang dikuasai asing serta melakukan reforma agraria sejati sebagai pembentukan fondasi ekonomi bangsa.
c.Menarik semua kebijakan dalam bentuk perpres dan UU yang selama ini hanya melindungi dan lebih memfasilitasi proses liberalisasi di Negara ini. Hal ini sejalan dengan pemerintah pun berani memprioritaskan Usaha Kecil Menengah dengan payung hukum yang jelas serta melibatkan mereka sebagai bagian dari pembangunan fondasi ekonomi bangsa.
d.Serta melakukan pengalihan sejumlah anggaran infrastruktur dan sektor publik untuk memperbaiki krisis disektor finansial dalam neger yangi akan berpotensi tidak terserapnya angka pengangguran angkatan kerja yang semakin tinggi. Serta melakukan pengelolaan anggaran yang seharusnya memberikan ruang yang lebih besar untuk perbaikan upah pekerja, pembukaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur, dan strategi industrialisasi.

PENUTUP
Pada akhirnya karena situasi ekonomi global yang dikuasai paham neo-liberalisme saat ini ternyata penuh dengan mitos-mitos palsu dan belajar dari krisis yang pernah melanda negeri ini, semoga fenomena krisis tersebut mampu dijadikan ruang kritis bagi kita semua atas kebijakan pemerintah dalam membangun system ekonomi yang tidak berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat. Sekali lagi tindakan nyata yang berorientasi pembangunan ekonomi rakyat haruslah menjadi prioritas utama. Dengan demikian akan tercipta fondasi ekonomi yang kuat yang itu bersandar atas corak produksi masyarakat.

Penulis adalah Sekjend Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Yogyakarta, juga sebagai bagain dari redaksi Koran Selembar “Respublika” Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Yogyakarta.

10.9.08

Unjuk Rasa Pemuda Warnai Pembacaan Pledoi

Oleh; Sahat Tarida

Masih dari Pendeglang, Banten. Front Perjuangan Pemuda Indonesia, pimpinan kota Pandeglang, Banten ramaikan pembacaan pledoi sidang penangkapan 2 petani. Massa FPPI mengutuk keras sikap aparat dalam penangkapan petani.

Sebelumnya, Hendi dan Walma ditangkap tanpa surat penangkapan atau pemberitahuan penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh polres Pandeglang saat malam, sembari merusak kediaman tersangka. "Kami menuntut kepada Hakim agar mencabut segala tuduhan yang didakwakan kepada 2 pejuang petani. Petani bukan penjahat tetapi pahlawan pangan ummat," teriak Eman Sulaeman, Ketua FPPI Pandeglang.

Aksi ini juga diikuti oleh Kamirudin, kepala desa tempat dua tersangka tinggal. Penangkapan dua warganya bagi Kamirudin merupakan bentuk ketidakadilan hukum. "Awal masalahnya dari perluasan batas TNUK tanpa koordinasi ke aparat desa dan warga, kenapa pihak TNUK tidak ditahan ?” Kamirudin, Lurah Desa Ujung Jaya, kecamatan Sumur.
Usai berorasi di depan gerbang gedung PN Pandeglang, massa masuk ke dalam ruang persidangan. Pengawalan aparat keamanan begitu ketat.

Sementara itu, dalam pembelaannya, tim penasehat hukum petani dari Indonesian Human Rights Committee (IHCS) for Social Justice, menegaskan, bahwa dakwaan JPU kabur, tidak cermat dan tepat. Ini dilandasi dari kesaksian para saksi yang dihadirkan—baik dari pihak petani maupun JPU. “Tidak ada bukti, yang secara langsung menguatkan tuduhan penebangan kayu. Saksi tidak ada yang melihat.” Janses Sihasolo.





5.9.08

Setelah Tak Dihadiri Jaksa, Sidang Tuntut Hukuman 2 Tahun penjara




Pandeglang, Banten. Sidang dibuka pukul 13.30 WIB dengan Agenda Pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Pada sidang minggu sebelumnya, jaksa penuntut umum tidak menghadiri persidangan. Walhasil, janji majelis hakim untuk tetap meneruskan persidangan tidak terjadi. "Padahal hakim janji, sidang akan terus berlanjut, sidang tidak dilanjut gara-gara jaksanya kabur " ujar Eman Sulaeman, pimkot FPPI Pandeglang.

Tidak dilanjutkannya agenda persidangan otomatis menyia-nyiakan dua orang pengacara dari IHCS-Jakarta. Setiap minggunya, sidang atas tuduhan pembalakan liar dua petani Ujung Kulon, didampingi tim kuasa hukum Indonesian Human Rights Committee (IHCS), yang dikomandoi oleh Ecoline Situmorang.

Untuk kedua terdakwa, Walman warga Kampung Legon Pakis, dan Hendi warga Kampung Tanjung Lame, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur. Keduanya dituntut atas pelanggaran UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 50 ayat 1 dan 3) tentang perambahan hutan. JPU menuntut masing-masing terdakwa dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 500.000 ribu atau subsider 3 bulan kurungan.

" Tanah yang kami kelola adalah tanah nenek moyang kami yang dimiliki turun-temurun. Warga di kampung kami melakukan hal yang sama," ujar terdakwa dalam pembelaannya. Hingga saat ini, belum ada pembahasan sidang mengenai masalah pokok. Kisruh sengketa lahan terjadi atas klaim TNUK terhadap lahan warga. Warga yang membayar pajak hasil bumi dan bangunan atas tanah yang mereka kelola, menolak klaim TNUK. Satu warga tewas tertembak polisi hutan tahun 2006. Lima orang warga ditahan pada tahun 2007 atas tuduhan provokator pembakaran pos jaga polhut.

TNUK, melalui jagawan juga kerap merusak tanaman warga, namun warga tidak melakukan perlawanan yang berarti. Minggu depan, 9 September 2008, persidangan dilanjutkan dengan agenda Pledoi. Rencananya, anggota Serikat Tani Ujung Kulon dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia akan meramaikan persidangan dengan aksi. "Hukum harus melihat masalah pokok yang terjadi. Ada sengketa lahan, ketidakjelasan tapal batas. Jika ini tidak dilakukan, petani yang ditangkap, ditembak, ditahan akan terus bertambah jumlahnya," Rahmat Pasau, ketua FPPI. Rahmat menilai bahwasanya kasus ini melupakan sengketa lahan tanah milik TNUK dan warga.[sahat]

25.8.08

Lanjutan Sidang Penangkapan Petani Ujung Kulon

Lanjutan Sidang Penangkapan Petani Ujung Kulon
Di Hadapan Sidang Walman & Hendi Akui Pemaksaan
Jaksa dan Penyidik Kalang Kabut
Oleh; Sahat Tarida

[20 Agustus 2008] Walman dan Hendi, dua warga Ujung Kulon yang sejak April lalu menjadi tahanan di Polres Pandeglang. Kini keduanya memasuki masa persidangan yang enam pada 19 Agustus lalu.

Pada sidang minggu sebelumnya, setelah perdebatan yang alot, dua laki-laki yang mengakrabi tanah sebagai mata pencaharian di kampungnya mengakui tindakan pemaksaan dan kekerasan dalam proses penyidikan. Hal ini dibantah oleh Bripka Khaerul. " Dalam proses penyidikan, kami berprilaku sangat ramah dan memberikan pemahaman tentang dakwaan yang diajukan," ujar Khaerul dalam proses persidangan. Bripka Khaerul adalah penyidik yang menangani Hendi. Khaerul memulai karirnya dikepolisian sejak 1999, dan baru pada tahun 2001 bertugas di Polres Pandeglang.

Hal ini dibantah oleh Hendi. "Saya diperlakukan tidak manusiawi. Gertakan, ancaman, hingga pemukulan itu bukan suatu kebohongan." Ujar Hendi tegar di hadapan majelis hakim. Hendi percaya ada hukum yang lebih adil. "Sebagai umat beragama, segala sesuatunya akan dipertanggungjawabk an di hadapan Tuhan, tambah Hendi mantap.

Tak berbeda dengan Hendi, Walma membantah keterangan yang disampaikan oleh Bripka Akhmad (Penyidik Sdr. Walman). "Saya dipukuli, ditendang, tapi bukan oleh saudara saksi." Menurut pengakuan Walma, penyidik yang memeriksa tersangka atas tuduhan perambahan hutan di Ujung Kulon terdiri lebih dari dua petugas.

Penangkapan dua petani yang menjadi anggota Serikat Tani Ujung Kulon ini merupakan buah dari konflik tapal batas wilayah antara warga Ujung Kulon dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Surat pembayaran pajak bangunan dan hasil bumi yang dimiliki warga tidak dianggap sebagai bukti kepemilikan lahan warga di Ujung Kulon. Sebagian besar dari warga sendiri kini tidak lagi memiliki sertifikat tanah asli sejak beberapa tahun lalu. Hal ini atas tindakan BPN Pandeglang yang menarik girik cap Garuda milik warga, untuk diganti dengan sertifikat tanah yang baru. Girik hilang, sertifikat tanah tak datang.

Suhendi dan Walma ditangkap sejak April lalu. Penangkapan yang tidak disertai berkas penangkapan ini juga sempat memicu ketakutan warga Ujung Kulon akibat tindakan aparat yang tidak manusiawi dan turut merusak rumah warga.

Konflik tapal batas ini juga telah meminta nyawa seorang warga Ujung Kulon yang tewas tertembus timah panas. Namun, pelaku penembakan dilepaskan dari hukuman. Ruang persidangan, dimana kebenaran dipertaruhkan. Namun, hingga saat ini hukum di Indonesia belum lagi mampu untuk meniscayakan keadilan dan kebenaran.

20.6.08

Ke Jakarta Tolak KSO

Kamis 18 Juni 2008. Seribu orang gabungan dari karyawan PTPN X dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat mendatangi gedung DPR/MPR. Kedatangan mereka menuntut dibatalkannya kerja sama operasi antara PT Perkebunan Nusantara X dan PT Kencana Gula Manis di pabrik gula Ngadirejo, Kediri, Jawa Timur. Mereka juga menolak penunjukkan Subiyono sebagai Direktur Utama dan Direktur Keuangan, Pulungan.
Program KSO PTPN X dengan KGM telah direncanakan sejak 2005 dengan tujuan meningkatkan produktivitas PG Ngadiredjo. Dari KSO tersebut, KGM menginvestasikan dana lebih dari Rp. 500 miliar untuk revitalisasi PG Ngadiredjo. Pergantian direksi di tengah gejolak karyawan PG Ngadiredjo dan Serikat Pekerja PTPN X yang menolak perjanjian KSO, memunculkan dugaan kalau dua direksi PTPN X itu sengaja dilengserkan untuk memuluskan rencana itu. Sumber lain menyebutkan, kedua direksi PTPN X itu mengundurkan diri, karena tidak setuju dengan rencana KSO yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Ketua Serikat Pekerja PTPN X Joko Dariono mengatakan, Hadi Prasongko yang dicopot dari jabatan Direktur Utama memiliki kinerja dan kepedulian tinggi pada karyawan. Joko menegaskan, penolakan karyawan atas pergantian Direktur Utama dan Direktur Keuangan adalah harga mati.

Di Jakarta, perwakilan rombongan dating menemui komisi VI DPR. Komisi VI menjanjikan akan membahas kasus ini dalam panitia kerja. Rombongan membatalkan rencana melanjutkan aksi ke Kementrian BUMN dan Istana. “ DPR telah menjanjikan untuk mengusut,” ujar Mardi, salah seorang demonstran.

Jelang petang, rombongan bergerak kembali ke Jawa Timur.

3.6.08

Dari Demo FPPI Pk-Ambon, Bila tidak figur yang memihak kepada rakyat, kenapa harus memilih?

Reformasi Agraria, Cabut UU PMA (Penanaman Modal Asing), Nasionalisasi Aset, Tuntaskan kasus Trisakti, Supermasi Hukum Untuk Rakyat, Tolak Kenaikan BBM, Tolak UU BHP (Badan Hukum Pemerintah).


Ambon, MM.- Reformasi Agraria, Cabut UU PMA (Penanaman Modal Asing), Nasionalisasi Aset, Tuntaskan kasus Trisakti, Supermasi Hukum Untuk Rakyat, Tolak Kenaikan BBM, Tolak UU BHP (Badan Hukum Pemerintah). Demikian butir-butir tuntutan Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Ambon (FPPI Pk-Ambon), saat melaksanakan aksi unjuk rasa, dalam rangka memperingati se-abad Kebangkitan Nasional, dan Sepuluh Tahun Reformasi Indonesia, Sabtu (17/5) kemarin, di bundaran Tugu Trikora Ambon.

FPPI Pk –Ambon dalam pernyataan sikapnya, menegaskan bahwa, seratus tahun silam, bangsa ini berusaha keluar dari belenggu imperialisme asing, yang telah mengeruk tanah dan jiwa-jiwa negeri ini. Puncak kebebasan yang diidamkan 62 tahun lalu, ketika Ir.Soekarano dan Drs. Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.

Tapi sayang seperti kata pepatah “ Bebas Dari Mulut Harimau Masuk Mulut Buaya” itulah realitas Indonesia dewasa ini. Setelah bebas dari imperialisme asing, dalam topeng kekuasaan, pembangunan dan globalisasi.

Beribu kasus yang dilakukan, diantaranya lumpur lampindo, illegal loging, Friport, Sambas, Sampit, Priuk, dan sejumlah UU, guna melegiitimasi kekuasaan dan absolutsitas kapitalisme internasional, sementara rakyat tetap miskin dan melarat. Ironisnya, para penguasa tidak hanya bersembunyi dibalik topeng pembangunan dan globalisasi, namun penguasa rela menipu rakyat demi menutupi hutang luar negeri, dengan cara hendak dinaikan BBM, dan merayu rakyat dengan iming-iming subsudi bantuan langsung tunai (BLT), yang hanya berkisar pada 7 kota ( Jakarta, Banjarmasin, Medan, Surabaya, Malang, Padang dan Makasar).
Lantas kota-kota lain dikemanakan? Apakah daerah yang tidak kebagian subsidi, bukan wilayah NKRI?.

Sementara pada tataran lokal, FPPI Pk-Ambon berpendapat bahwa, Maluku telah dieksploitasi oleh investor asing. Semisal yang terjadi di Negri Paperu, Kecamatan Saparua Kabupaten Malteng, besok lusa akan menjadi milik Swis. Pulau Osi, yang sedang dieksploitasi terumbu karangnya, Buru, Laha, serta SBB yang sedang dieksploitasi tambang nikelnya.

Menurut FPPI Pk-Ambon, semua itu dibiarkan penguasa, lagi-lagi dengan alasan pembangunan, modernisasi dan industrialisasi. Pada hal kenyataannya, demi kesejahteraan mereka sendiri. Sementara rakyat hanya dijadikan sebagai alasan pembangunan. Disatu sisi, ribuan problem sosial kerakyatan, tidak pernah selesai.

Seperti PKL, pengungsi, dan anak jalanan. Pada akhirnya janji penguasa dipertanyakan. Bila tidak figur yang memihak kepada rakyat, kenapa kita harus memilih? Kita memilih untuk tidak memilih (Golput).

Unjuk rasa tersebut, berlansgung kurang lebih dua jam tersebut, berjalan tertetib dan aman. Setelah selesai berorasi dan membacakan tuntutan, para pengunjuk rasa membubarkan diri secara teratur. (Red)Harian Mimbar Maluku - Ambon

FPPI Demo Tolak Kenaikan Harga BBM

PANDEGLANG – Belasan aktivitis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) berunjuk rasa di ruas Jalan Pandeglang-Labuan tepatnya di depan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Syech Mansyur (Staisman) Pandeglang di Cipacung, Kamis (22/5).
Tujuannya, menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan meminta pemerintah konsisten membantu masyarakat kecil.
Selain berorasi, massa yang menggelar aksi dari pukul 12.00 hingga 12.30 WIB juga membawa poster bertuliskan penolakan dan membagi-bagikan pamflet kepada pengguna jalan. Tak satu pun polisi yang mengamankan jalannya aksi. “Kenaikan BBM suatu penghinaan terhadap rakyat. Ketidakmampuan rakyat untuk membeli berbagai kebutuhan pokok sengaja dijadikan sebagai komoditas politik,” ujar Roni, salah seorang orator dalam unjuk rasa tersebut.
Penanggung Jawab Aksi tersebut Eman Sulaeman menambahkan, kenaikan harga BBM bukan solusi untuk menyejahterakan rakyat. Kebijakan ini merupakan sebuah langkah yang tak berpihak pada rakyat. Karena dengan menaikkan harga BBM mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi akan melambung tinggi akan membuat rakyat kecil semakin sengsara. “Tolak kenaikan harga BBM. Jangan biarkan rakyat terus tertindas dengan kemelaratan,” tukasnya. (zis)

FPPI Surabaya Desak DPR RI Tolak Pencabutan Subsidi BBM

Ari Armadianto - Surabaya, Mereka yang mengaku sebagai organisasi gerakan ekstra parlementer yang berbasiskan kader pemuda tanpa memandang atribut mahasiswa dan pekerjaan itu menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bulan Juni 2008 mendatang.

Mereka juga menilai kebijakan pemerintah tersebut merupakan ritual tahunan dari setiap rezim pemerintah yang berkuasa. Pergantian kekuasaan hanyalah pergantian rupa namun wataknya tetaplah sama.

FPPI Kota Surabaya menuntut pemerintah pusat dan DPR RI untuk segera menolak kenaikkan harga BBM, tolak intervensi asing untuk pencabutan subsidi BBM, nasionalisasi aset tambang dan migas, talak konversi minyak tanah ke elpiji, hapus hutang luar negeri, tolak hutang baru dan melaksanakan reformasi pembaruan struktur agraria. (heh)

TOLAK KENAIKAN HARGA BBM!!!

Sepuluh tahun reformasi, seratus tahun kebangkitan nasional—Indonesia masih belum juga mendapatkan kemerdekaannya, kedaulatan rakyatnya. Ini dijelaskan kembali dengan kenaikan harga BBM sejak dua hari lalu. Tak ubahnya otoriterianisme orde baru, SBY – Kalla justru meningkatkan program pemiskinan struktural. Sekian kebijakan yang digagas dan dikeluarkan, semakin menjauhkan akses rakyat miskin untuk kehidupan yang layak.

Presiden dan wakil presiden berbohong, meingkari janjinya untuk tidak menaikkan harga BBM. Harga BBM naik kisaran 30-an persen. Bensin yang semula Rp 4.500 per liter menjadi 6.000, solar dari Rp 4.300 menjadi 5.500, dan minyak tanah dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.

Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga-harga lainnya. Harga BBM dinaikan disaat pemerintah belum mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Penyelenggara negara tidak melakukan tanggungjawabnya. Penyediaan lapangan pekerjaan, kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat, jaminan kesehatan, kewajiban penyediaan lahan untuk para petani, perlindungan secara hukum dan ekonomi kaum buruh, dan jaminan kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi. Kesemuanya hingga hari ini tidak pernah dilakukan. Rakyat Indonesia yang secara kreatif dan kritis mengupayakan sendiri apa yang menjadi hak-haknya sebagai warga negara.

DPR melempem. Tidak heran, mengingat perwakilan partai politik yang duduk di bangku DPR/MPR tidak mau terganggu stabilitas kekuasaannya. Pemerintah buta. Perjuangan rakyat, untuk kemerdekaan-kedaulatan tanah, air, udara dan isinya justru direpresi. Gelombang protes menolak kebijakan kenaikan harga minyak justru disambut dengan tindakan anarkis brutal aparat kepolisian. Penyerangan aksi demonstrasi mahasiswa, menghembuskan isu narkoba dan kekerasan. Mengkriminalkan gerakan rakyat.
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA secara tegas menyerukan TOLAK KENAIKAN HARGA BBM!!!
Kenaikan harga BBM harus ditentang. SBY-JK harus secara serius melaksanakan tanggungjawabnya untuk meringankan beban hidup dan memakmurkan rakyatnya. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN sungguh tidak bisa diterima. Masih banyak cara lain untuk mengamankan posisi APBN, semisal memaksimalisasi pemasukan pajak lewat tindakan tegas terhadap para pengusaha pengemplang pajak, penjadwalan pembayaran hutang yang tahun ini nilainya Rp 152 triliun (cicilan dan bunga), efisiensi dan menekan kebocoran di PLN dan Pertamina, pemberantasan korupsi dan penyitaan aset-aset koruptor, serta renegosiasi skema bagi hasil kontrak-kontrak migas.
Selain itu, FPPI juga menuntut untuk:
TOLAK KENAIKAN BBM!!!
TURUNKAN HARGA KEBUTUHAN POKOK!!!
BEBASKAN KAWAN-KAWAN DEMOSTRAN YANG DITANGKAP!!!
BERIKAN TANAH PADA PETANI!!!
PENYEDIAAN LAPANGAN PEKERJAAN!!!
PENDIDIKAN MURAH DAN BERKUALITAS!!!

11.4.08

Tahan 2 petani, polres didemo

Jumat 11 April 2008

PANDEGLANG – Seratusan pemuda tergabung dalam Solidaritas Pemuda Mahasiswa Untuk Petani Ujung Kulon (SPMUPUK), Kamis (10/4), demo ke Polres Pandeglang.

Kedatangan massa SPMUPUK tersebut menuntut 2 petani asal Kecamatan Sumur yang ditahan di Mapolres Pandeglang segera dibebaskan.

Hendi, 39, Desa Ujung Jaya, dan Arman, 42, warga Desa Taman Jaya, ditangkap petugas Polisi Kehutanan (Polhut) pada Jumat (4/4) lalu. Kedua petani ini dituduh melakukan perambahan hutan di Kawasan

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Oleh petugas Polhut, dua petani itu diserahkan ke Mapolres Pandeglang. “Mereka tak seharusnya ditahan karena tidak melakukan pengrusakan hutan,” teriak Tb. Nurjaman, korlap aksi.

Kasat Reskrim Polres Pandeglang, AKP Yusuf Rahmanto, mengatakan dua tersangka masih ditahan, namun Yusuf mengaku telah menerima surat permohonan penangguhan dari keluarga. “Masih kami kami pertimbangkan,” ujar Yusuf.

6.4.08

Polisi Hutan dan Polres Pandeglang Tangkap Anggota Serikat Tani Ujung Kulon

Dua orang warga ditangkap dan ditahan. Semena-mena, tanpa surat pemberitahuan penangkapan. Kejadian tersebut berlangsung saat malam. Kampung Legon Pakis, kecamatan Sumur, kabupaten Pandeglang.

Suhendi (37 tahun), ditangkap di rumahnya. Aparat Kepolisian, dan polisi hutan yang menumpangi dua kendaraan datang tanpa surat pemberitahuan penangkapan. Mereka mendobrak pintu rumah milik Suhendi hingga rusak. Polisi meneriakkan kata-kata makian, memborgol dan menutup mata Suhendi dengan lakban. Sebelumnya, aparat kepolisian juga menangkap Walma (32 tahun). Walma mendapat perlakuan yang sama dengan Suhendi. Tangan diborgol, mulut disumpal. Keesokan paginya di polres Pandeglang, barulah lakban penutup mata dan mulut dibuka.

“ Mereka menebang pohon untuk membuka lahan. Tapi yang mereka buka bukan kawasan hutan inti.” Ujar Suhaya, tokoh masyarakat yang juga ketua STUK. Suhaya menambahkan bahwa masyarakat berhak untuk mengelola tanahnya.

Tahun lalu. Satu orang warga mati ditembak polisi hutan atas tuduhan yang sama. Kematian Komar, menimbulkan solidaritas warga kampung. Kontan saja, pos jaga polisi hutan, dan dua kendaraan bermotor dibakar. Hingga kini, pos jaga polisi hutan dibiarkan terbengkalai oleh pengelolan TNUK.

Konflik Tanah Ujung Kulon
Konflik tanah di wilayah Ujung Kulon bermula dari keinginan TNUK memperluas area. Mereka memajukan tapal batas secara sepihak, tanpa melakukan musyawarah pada warga dan aparatus desa. “ Kakek kita sudah tinggal lama di sini, masyarakat juga melakukan kewajiban dengan membayar Pajak Hasil Bumi dan Pajak tanah,” ujar Kamirudin. Suhaya menjelaskan bahwa tapal batas itu masih ada. “ Tapal batas mulai dari sungai Cilintang di sebelah barat, dan gunung Honje di sebelah timur. Sekarang TNUK maunya batas wilayah masuk sampai ke kampung pemukiman.”

Budi Sihabudin menjelaskan bahwa TNUK seharusnya mempertimbangkan kewajiban yang telah ditunaikan masyarakat, sebelum menuduh masyarakat merambah hutan.
“ Selama ini masyarakat melakukan kewajiban membayar pajak, mereka juga memiliki sertifikat tanah. Tidak ada itu masyarakat melakukan penebangan liar di hutan.”

Hal ini juga dipertegas Suhaya. “ Sejak jaman nenek moyang, kita sudah tinggal di sini. Di sini berlaku hukum kampung, untuk tidak merusak hutan. Kalau mau menggunakan kayu, warga harus menanamnya jauh-jauh hari.”

Tahun lalu, perwakilan masyarakat Ujung Kulon mendatangi kantor Komnas HAM dan BPN di Jakarta. Mereka juga telah melakukan koordinasi dengan BPN wilayah, yang merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ulang. Tapi sampai hari ini, belum pernah dilakukan pengukuran ulang tapal batas.

“Pengukuran ulang harus segera dilakukan. Kalau tidak dilakukan, akan terus terjadi konflik seperti ini.” Tandas Budi.

KRONOLOGIS PERJUANGAN DAN PENANGKAPAN PETANI ANGGOTA SERIKAT TANI UJUNG KULON (STUK)

Sengketa agraria kembali menempatkan warga negara Indonesia dan kaum tani kecil yang mempertahankan lahannya untuk kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai pihak yang dipersalahkan dan dikorbankan oleh aparatus negara. Perampasan tanah warga oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon diawali oleh penetapan Ujung Kulon sebagai Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun 1992 komisi warisan dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409.

Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Komar, warga Ujung Jaya yang dilakukan oleh Satuan Polisi Hutan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada 4 November 2006 yang di respon oleh massa petani dengan pembakaran pos-pos jaga dan fasilitas transportasi milik Balai Taman Nasional Ujung Kulon, situasi di wilayah ujung kulon kembali tegang

Tuntutan warga Ujung kulon kepada Pemerintah dan Balai Taman Nasional semakin menguat seiring dengan pembentukan Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) seperti yang dimanifestasikan dalam aksi boikot dan penutupan jalan menuju kawasan TNUK pada hari senin, 4 juni 2007, sekaligus menyikapi penangkapan terhadap 5 orang petani yang dianggap sebagai pelaku pengrusakan dan pembakaran fasilitas milik balai TNUK, tuntutan yang diajukan yaitu : (1). Kembalikan Tanah warga yang dirampas TNUK, (2). Bebaskan 5 orang warga yang ditahan, (3). Warga menolak Program Relokasi.

Kemudian STUK mengutus 3 orang petani yang dipimpin oleh Bpk Suhaya (Ketua Serikat Tani Ujung Kulon) untuk memperjuangkan pengakuan dan pengembalian tanah petani Ujung Kulon di Jakarta. Bersama-sama dengan Pimpinan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) mendatangi dan menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan secara langsung mengadukan terjadinya pelanggaran HAM di Ujung ulon kepada Bpk Amidhan. Pada saat itu dijanjikan akan dilakukan pengumpulan data dan kunjungan ke lokasi. Selanjutnya STUK, FPPI dan PBHI menemui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melaporkan dan mendesak adanya tindakan terhadap perampasan tanah warga yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dengan mengajukan bukti-bukti kepemilikan tanah yang di miliki warga. Oleh BPN di janjikan akan melakukan pemeriksaan dan meneruskan laporan tersebut ke BPN Pandeglang.

Dari konsolidasi STUK di Ujung Kulon diputuskan untuk melakukan aksi massa di Departemen Kehutanan menuntut pengembalian tanah rakyat dan pengukuran ulang tapal batas Taman Nasional Ujung Kulon. Aksi yang diikuti petani anggota STUK, FPPI dan PBHI di depan Gedung Departemen Kehutanan, diterima oleh kepala Humas Departemen Kehutanan dan bagian KSDA. Pada pertemuan itu pihak kehutanan tetap bertahan bahwa masyarakat hanya dibolehkan mengelola, sementara tuntutan aksi massa pada saat itu pengembalian tanah milik warga yang dirampas TNUK. Setelah aksi di Departemen Kehutanan terjadi pergantian Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon kepada Ir. Agus Priambudi.

Ujung kulon kembali memanas, upaya Balai Taman Nasional mendirikan Pamswakarsa yang terdiri dari mantan lurah dan jawara yang berasal dari desa-desa disekitar kawasan taman nasional mencemaskan warga. Dengan seragam hitam-hitam, dalam aktivitasnya pam swakarsa sering melakukan patroli dan menyatroni warga yang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari termasuk ketika inisiatif warga untuk melakukan pembersihan tdi tapal batas lama, pam swakarsa sejak pagi telah melakukan penjagaan.

Hingga pada malam sabtu tanggal 4 April 2008 pukul 01.00 WIB terjadi penangkapan terhadap petani anggota Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) yaitu:
1. Nama : Suhendi
Umur : 37 Thn
Pekerjaan : Tani
Alamat : Warga Legon Pakis, Desa ujung Jaya Kec. Sumur Kab. Pandeglang

2. Nama : Walma
Umur : 32 Thn
Pekerjaan : Tani
Alamat : Warga Tanjung Lame Desa ujung Jaya Kec. Sumur Kab. Pandeglang

Kedua warga anggota Serikat Tani Ujung Kulon tersebut ditangkap oleh anggota Polisi Resort Pandeglang dan satuan Polisi Hutan dengan tuduhan melakukan pengrusakan di wilayah taman nasional.

Kronologis penangkapan:

Penangkapan dilakukan oleh pihak Kepolisian Pandeglang bersama dengan Polisi Hutan TNUK di rumah petani yang bersangkutan, Aparat dengan menggunakan 2 mobil, melakukan penangkapan yang disertai tindak kekerasan dan perusakan rumah warga. Selain itu penangkapan tersebut juga tidak disertai dengan pemberitahuan surat penangkapan terhadap pihak Aparat Desa Ujung Jaya.


Jum’at 4 April 2008 sekitar Pukul 00.00 WIB:

Aparat Kepolisian dengan menggunakan 2 mobil mendatangi rumah Sdr. Walma (32 Th) di Kp. Tanjung Lame. Pada mulanya aparat yang tidak menggunakan seragam kepolisian bersama dengan Polisi Hutan, tetapi tanpa basa-basi langsung membungkam mulut Sdr. Walman dengan Lakban dan memborgol kedua tangannya, lalu dibawa ke mobil mulutnya yang dibungkam dengan lakban tersebut baru dibuka di Polres Pandeglang pada pagi harinya.

Jum’at 4 April 2008 Pukul 00.30 WIB :

Aparat kepolisian dan Polisi Hutan, melanjutkan operasi penangkapannya ke rumah Sdr. Suhendi (37 Th). Pihak aparat langsung mendobrak pintu Sdr. Suhendi hingga rusak, sambil memaki-maki dengan perkataan yang tidak sopan dan langsung memborgol tangan Sdr. Suhendi, serta menutup kedua matanya dengan menggunakan lakban, hingga sampai ke Polres Pandeglang yang berjarak ratusan kilometer baru dibuka.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 05.30 WIB:

Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma tiba di Polres Pandeglang dan langsung dimasukkan kedalam sel tahanan.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 08.00 WIB:

Tim dari FPPI Pandeglang mendatangi Polres Pandeglang dan meminta dipertemukan dengan Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma, tetapi tidak diijinkan oleh polres tanpa alasan yang jelas.

Sabtu 5 April 2008 Pukul 14.00 WIB:

Tim dari FPPI Pandeglang kembali mendatangi Polres Pandeglang, untuk meminta dipertemukan dengan Sdr. Suhendi dan Sdr. Walma. oleh Polres diijinkan bertemu. Kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan 2 orang petani anggota STUK tersebut digunakan untuk menanyakan kabar dan bagaimana proses penangkapan yang terjadi serta perlakuan terhadap mereka hingga di tahanan polisi resort pandeglang.

Demikian kronologis ini dibuat dengan sebenar-benarnya, untuk keperluan perjuangan petani ujung kulon mempertahankan lahan kehidupan dan tanah kelahirannya.



Jakarta, 08 April 2008

Kronologis ini disusun oleh Pimpinan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Sumber keterangan :
Sdr. Suhendi (37 Thn)
Sdr. Walma (32 Thn)
Bpk. Carik Udin/ Aparat Desa Ujung Jaya
Bpk. Lurah Kamirudin/ Kepala Desa Ujung Jaya
Bpk. Suhaya. Ketua Serikat Tani Ujung Kulon (STUK)
Eman Sulaeman, Ketua Pimpinan Kota FPPI Pandeglang
Budi Sihabudin, Pengurus Biro Tani FPPI




Pernyataan Sikap



Terhadap Penangkapan Anggota Serikat Petani Ujung kulon (STUK)

Salam perjuangan.!

Tanah untuk Rakyat !. Land Reform dan perjuangan rakyat hak atas tanah serta kekerasan aparatus negara terhadap perjuangan rakyat tersebut, selalu menjadi warna kisah perjuangan kita dalam menata ulang sistem penguasaan lahan di bumi pertiwi ini. Kini, kisah kekerasan aparat tersebut kembali terjadi, dengan ditangkapnya 2 orang petani Ujung Kulon yang sedang memperjuangkan tanahnya atas perampasan yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Penangkapan tersebut adalah bagian dari bentuk penjegalan perjuangan rakyat oleh Negara dan sekaligus Negara dengan mata telanjang telah memperlihatkan dirinya sebagai anjing penjaga modal.

Niat suci para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Ujung Kulon (STUK), untuk berjuang mempertahankan tanah warisan leluhurnya, yang dengan tanah itu dapat menghidupi diri, keluarga serta masyarakat dan bangsanya, tetapi perjuangan kaum tani Ujung Kulon selalu dijawab dengan sikap represif aparat serta tuduhan kriminalisasi terhadap perjuangan yang dilakukannya.

Petani bukan Penjahat, Petani pemberi makan dunia !, Kriminalisasi perjuangan petani Ujung Kulon, telah menambah panjang deretan kasus perjuangan petani yang diwarnai oleh kekerasan pihak aparat keamanan, pelanggaran HAM. Tuduhan yang dilontarkan pihak aparat adalah pengrusakan wilayah konservasi Taman Nasional Ujung Kulon sama sekali tidak pernah bisa masuk akal sehat, karena lahan pertanian petani bukan berada di wilayah konservasi, dan malah pihak TNUK dengan sepihak telah memperluas wilayah konservasinya melewati batas tanah-tanah rakyat. Perluasan wilayah konservasi tersebut jauh menembus batas tanah dan perkampungan petani Ujung Kulon. Dari situasi tersebut betapa direndahkannnya martabat manusia dibandingkan dengan binatang-binatang yang berada di taman nasional ujung kulon, maka dari itu atas nama fakta dan hati nurani kami dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Serikat Tani Ujung Kulon (STUK) Menuntut.!

Bebaskan 2 anggota serikat Tani ujung kulon (STUK)

Kembalikan tanah petani ujung kulon yang dirampas TNUK

Usut dan tindak tegas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di ujung kulon

28.3.08

Catatan dari Ujung Kulon II


Abah Sukemi, seorang nelayan. Ia berbesan dengan lurah kampung—Kamirudin. Anak-anak lelakinya mengikuti jejak sang ayah. Setiap hari melaut. Tubuhnya kekar, hitam terpanggang matahari.

Siang hari kami berangkat. Cikawung Girang menuju desa Cikawung. Jarak tempuh tak seberapa. Sungai yang menjadi pintu utama desa Cikawung Girang agak sukar dilalui. Dua hari hujan turun tanpa henti. Volume air meluap, arus bertambah deras. Abah Kemi tak mau dikecewakan. Dua bulan lalu kami ke sini, ia merasa agak cemburu. Hanya desanya yang tak dikunjungi.

Bukan maksud hati enggan mengunjungi. Sukemi dan anak-anaknya tak sungkan memperlakukan teman-teman laiknya raja. Padahal, kita tak tahu bagaimana kondisi ekonominya. Udang laut bertubuh gemuk, ikan bakar dan sambal asam dihidangkan. Untuk menu yang disajikan, kita perlu mengeluarkan kocek kira-kira sebesar Rp.300.000—itu di Jakarta. Di Ujung Kulon, laut, ladang, sawah dan hutan memberikan segalanya. Masyarakat tak begitu saja mengambil. Di sini berlaku kepercayaan. Yang telah diamalkan secara turun temurun sejak generasi pertama Abah Pelen.

Abah Pelen dipercaya warga sebagai leluhur masyarakat Ujung Kulon. Ia adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Syahdan, ia merupakan salah satu orang kepercayaan Soekarno. Ia juga dipercaya memiliki kemampuan supranatural—hal yang lazim di masyarakat sini. Abah Pelen meninggalkan pesan untuk anak-cucunya. Mereka yang hidup bersanding dengan alam. Manusia, adalah srigala. Tapi di sini, manusia adalah penjaga. Sangat dilarang untuk menebang pohon sembarangan. Balai Taman Nasional Ujung Kulon tak bosan menuduh warga sebagai perambah huton. Di kampung, nama abah Pelen masih begitu dikagumi. Pesan-pesannya, dijunjung begitu tinggi.

Abah Sukemi, sama seperti leluhurnya. Meski ia tak berladang. Ia mengambil isi laut seperlunya. Subsisten. Abah Sukemi dan nelayan lainnya, melaut dengan cara yang masih tradisional. Kapal kayu yang ditumpangi tak mampu menampung awak berhitung belasan. “ Saya baru bisa menangkap udang tahun 1999,” ujar abah Kemi polos. Ia mendapatkan pengetahuan menangkap udang dari nelayan Indramayu yang datang. Jaring pukat yang digunakan nelayan sini pun mulai beragam.

27.3.08

Catatan dari Ujung Kulon I



220 km dari Jakarta. Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang-Banten. Di sana, terselip kisah, tentang semangat warga yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Hak atas tanah, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak untuk kehidupan yang layak. Sebagian besar dari kita masih bertarung untuk mendapatkan itu semua. Warga Ujung Kulon tidak sendiri.

Kampung Legon Pakis. Di sana, listrik tidak ada. Pak Kadir, seorang juragan kopra—hanya dia yang memilikinya. Minggu ini, Kamsah putri Kadir dinikahkan. Meninggalkan kesan pada dinamika perjuangan seorang kawan. Seluruh kampung ramai, orang dari luar kecamatan turut diundang.

Legon Pakis saat ini dirundung sedih. Sudah tiga orang mati. Sakit panas dan liver. Di sana tak ada layanan kesehatan. Warga masih mempercayakan pengobatan pada dukun ataupun mantri. Seorang warga masih bertahan dalam kesakitannya. Perutnya membesar, tubuhnya melayu. Jasa rumah sakit di ibukota propinsi pernah dicoba. Tehnologi modern membantu si sakit mengempiskan perut yang membusung. Sekali sedot, mampu mangambil sepuluh liter air dari tubuh. Perut mengempis, tapi tak berapa lama. Sedang untuk penggunaan peralatan kesehatan membutuhkan biaya. Di sana, desas-desus tak bisa dibendung. “Ini hasil guna-guna”—kata warga kampung.

Cikawung Girang, sekitar sepuluh kilometer dari Legon Pakis menggunakan kendaraan roda dua. Lebih cepat menembus hutan. Resikonya—ular hitam. Jika terpatuk, tubuh hanya akan bertahan dalam bilangan jam. Carik Udin, menceritakan beberapa pengalaman. Ada yang selamat dari patukan si bulat hitam, itupun dengan merelakan sebelah tangan. Ular hitam, menurut orang-orang adalah ular yang sangat mematikan. Semakin dewasa ia, semakin memendek ukuran tubuhnya—semakin keras bisa-nya.

Di Cikawung Girang, seluruh masyarakat bermasalah dengan pengelola taman nasional. Hutan yang menjadi tapal batas wilayah masyarakat dengan balai, dimajukan secara sepihak sampai memasuki lahan garapan warga. Kang Rohman, kepala rukun tetangga tak tinggal diam. Tahun lalu ia datang ke Jakarta, meminta solidaritas perjuangan. Rohman menembus lima jam jarak Ujung Kulon-Pandeglang, dilanjutkan tiga jam Pandeglang-Jakarta. Ia tak tahan naik mobil, apalagi yang ber-AC. Tetapi ia meneguhkan, derita yang ia rasakan tak berbanding dengan derita yang ditimbulkan dari hegemoni kekuasaan. Hutan diperluas, menggusur lahan garapan dan pemukiman warga.

11.3.08

Omong Kosong Penyewaan Lahan

Kisah Negeri Salah Urus
Oleh Sahat Tarida

Lumpur Lapindo kini hanya menampakkan lautan kelam. Hunian, ladang sawah tempat bekerja, dan pabrik rumahan tenggelam. Pengungsi tak semuanya mendapatkan ganti rugi—yang layak. Penyelenggara negara menganggapnya sebagai bencana alam.

Bencana alam ini dimulai dari kebijakan penyelenggara negara yang memberikan ijin operasi penambangan di Jawa Timur. Tanpa sepengetahuan warga, operasi dilakukan. Semburan lumpur perdana, diumumkan sebagai dampak dari Tsunami yang menggoncang Jawa. Pembohongan publik semena-mena. Lumpur saat ini menambah luasan area, menggeser hunian dan pusat kegiatan. Anak-anak tanpa sekolah, dan petani tanpa sawah.

Kali ini, pemerintah kembali menunjukkan ketidakmampuannya dalam pengelolaan negara. Tak mampu—paling terang tak mau. Diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2008 menunjukkan itu. PP No.02 tahun 2008 berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang berlaku di Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Dalam peraturan ini, pemerintah memberikan kewenangan pada siapapun untuk mengelola hutan lindung dengan sistem sewa. Tarifnya murah, hanya Rp. 300 permeter persegi untuk hutan lindung, dan Rp.120 permeter untuk hutan produksi. Jika dihitung, biaya sewa perhektar lahan hutan hanya sekitar Rp. 1.800.000 hingga Rp.3.000.000. Biaya sewa lahan hutan lebih murah dibandingkan seliter minyak goreng.

Bencana Ekologi Terencana
Pertemuan Internasional Perubahan Iklim di Bali beberapa waktu lalu merekomendasikan upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang timbul akibat aktifitas manusia. Tak hanya diakibatkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil, perubahan iklim sejatinya didukung oleh kerusakan lingkungan.

Indonesia, merupakan salah satu negara penyumbang terbesar untuk kerusakan lingkungan. Lautnya, hutan dan gunung kerap diperkosa. Tanpa upaya pemulihan yang memadai dan berkelanjutan. Aneka kebijakan telah diterbitkan, untuk mengatur penggunaan dan eksploitasi lingkungan yang ramah. Apa lacur, sistem hanya untuk dibuat. Sekian peraturan diluncurkan kembali, aturan dan perundang-undangan timpang tindih.

PP No.02/2008 salah satunya. Peraturan serupa dibuat pada era Megawati—menjelang akhir jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemilu—jika jadi dilangsungkan, tinggal satu tahun lagi. Yang berarti pertarungan politik skala nasional memperebutkan kekuasaan. Di sini tampak modus yang hampir tak beda. Kontroversi dimunculkan kembali. Kebijakan ini secara langsung mementahkan komitmen Indonesia dalam kepemimpinan kolektif untuk mengupayakan pengurangan perubahan iklim.

Banjir, longsor bukan semata kehendak tuhan apalagi fenomena alam yang terjadi begitu saja. Namun, prilaku terhadap alam yang mendorong terciptanya sebuah fenomena.

Perkembangan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarah menunjukkan sinergi harmoni antara manusia dan alam. Hal ini membekas dalam prilaku masyarakat modern yang masih menempati hutan dan lingkungan pedesaan. Tak semena-mena memperlakukan lingkungan. Tindakan tidak terpuji justru lahir dari rekomendasi kebijakan yang dilahirkan pemerintah pusat—yang memberikan ruang untuk operasi industri. Sebut saja Freeport di Papua atau Newmont, di Nusa Tenggara atau Sulawesi Utara.

PP no.02/08 menambah keluwesan industri untuk kembali mengekspolitasi lingkungan. Tanpa memberikan kepastian pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkannya kelak. Pengusaha industri dengan nyaman berlindung di balik ketiak pemerintah, dan ini nampaknya akan terus berulang. Kasus Lapindo memberikan pelajaran, bahwa pemerintah tidak tegas dalam menjalankan aturan hukum. Dari Rp.300, bukan tak mungkin pembayar pajak menanggung Rp.3.000.000 untuk recovery terjadinya kerusakan yang makin parah. Jadi, patutkah rencana ini disetujui?

10.3.08

KRISIS PANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

oleh :Feri Widodo
Sekjen FPPI PK Jogjakarta


Memasuki tahun 2008 keadaan situasi masyarakat semakin lama semakin terhimpit. Isu krisis pangan dunia (Global Food Crisis) menjadi cukup hangat beberapa bulan terakhir. Hal ini mengingat bahwa FAO sebagai organisasi pangan dunia pernah merilis dan menyebutkan, jumlah orang yang lapar di dunia, termasuk Indonesia, nyaris tidak bergeser jauh dari angka 10 tahun lalu.

Menurut laporan Task Force on Hunger (2006), lebih separuh dari penduduk yang mengalami kelaparan (food entitlemens) dan kurang gizi berasal dari keluarga petani miskin yang terputus aksesnya atas sumber-sumber pangan, baik akibat bencana alam atau pun manajemen ketahanan dan distribusi atas komoditi/produk pangan yang kacau. Tak hanya Indonesia, ancaman krisis pangan juga mengintai negeri lainnya. Masih menurut versi FAO, kebutuhan pangan dunia pada 2007-2008 diperkirakan meningkat 2.103 juta ton atau naik hampir 2 persen dibandingkan periode sebelumnya. Sementara stok pangan dunia yang diperhitungkan hingga akhir musim tanam 2008 justru akan turun sekitar 420 juta ton atau nyaris 2 persen dari stok sebelumnya.

FAO memprediksi bahwa perdagangan sereal dunia mencapai 252 juta ton atau turun 1 persen dibandingkan periode 2006-2007.1 Harga internasional komoditas ini akan tetap tinggi dan diprediksi terus meningkat karena suplai yang ketat. Hal ini belum lagi ditambah dengan data yang dikeluarkan seluruhnya ada 37 negara yang akan terkena dampak krisis pangan, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2) dan akan di kwatirkan bahwa krisis pangan di beberapa negara telah dan akan memicu krisis sosial diberbagai level masyarakat.2

Sebelum kita mengulas lebih jauh dampak krisis pangan, ada baiknya kita telusuri dahulu penyebab krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini sebenarnya mulai timbul pada periode tahun 2005 yang lalu pada saat beberapa Negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS, China, Brasil Australia dan Negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis fosil.3 Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara di dunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini.

Sebenarnya reaksi pemerintah atas isu krisis pangan dunia ini baru muncul pada Juni 2007 ketika OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan) dan FAO merilis dan mengembuskan isu akan adanya kenaikan harga pangan dunia. Sekarang sekitar 6,3 miliar penduduk dunia akan dihadapkan pada tantangan global yaitu krisis pangan, tetapi, sebenarnya isu krisis pangan telah mampu dibaca indikasinya oleh beberapa Negara-negara didunia dan indikasi atas krisis pangan dunia inilah yang kemudian menjadi dorongan beberapa Negara untuk meningkatkan cadangan pangan mereka terutama beras. Coba kita bandingkan dengan cadangan beras pemerintah China yang mencapai 34 juta ton, India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), dan Filipina (0,75 ton). Sedangkan pemerintah saat ini hanya memiliki 350.000 ton stok beras yang terdapat digudang-gudang Bulog. Cadangan itu jelas terlalu kecil dan sangat sulit dijadikan jaminan bagi stabilisasi harga beras. Walaupun pemerintah telah melakukan intervensi pasar guna menstabilkan kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, toh kenaikan itu tetap tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah. Pertanyaan kemudian bahwa kebijakan pemerintah apa yang dapat menjawab krisis pangan yang akan dan sudah melanda negeri ini ?????..............


Dampak Krisis Pangan Di Negeri Ini

” Pada rakyat kami minta pengertian. Kami bertanggung jawab mencarikan solusi. Kami secara serius mengelola permasalahan harga pangan akibat gejolak ekonomi dunia. Kami yakin ada solusi stabilkan harga pangan tersebut. “ SBY menegaskan seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Departemen Keuangan, Jakarta (Detik, 21.02.08). Kutipan pidato Presiden ini kembali menunjukan bahwa pemerintah belum siap dan bahkan tidak siap dalam mengantisipasi krisis pangan yang melanda negeri ini, terlepas dari rasa pengertian yang kita berikan kepada pemerintah, dampak sosial yang sudah sangat terasa atas krisis pangan ini adalah kenaikannya harga-harga sembako dibeberapa pasar tradisional di beberapa daerah di Indonesia.

Kenaikan ini sudah barang tentu sangat memukul masyarakat kecil, misalnya saja kenaikan harga minyak goreng yang mencapai Rp 15500/kilo-yang normalnya sekitar Rp 9000/kilo-di Tegal, merupakan gambaran kecil dari kenaikan beruntun beberapa kebutuhan pokok akhir-akhir ini. Tercatat dibulan ini saja setidaknya tiga jenis pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Bulan ini dilalui bagai mimpi buruk oleh ibu rumah tangga yang kantongnya semakin kempis. Mimpi buruk terutama dialami oleh rakyat jelata yang paling miskin. Fenomena gizi buruk dan busung lapar mungkin yang paling mengkwatirkan yang pasti akan terjadi di negeri ini.

Data menunjukan bahwa sepanjang Januari-Desember 2007 tercatat ada 1234 kasus gizi buruk dan busung lapar yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006, bahwa lebih dari sepertiga populasi anak-anak yang berusia balita mengalami kekurangan makan, gizi, dan nutrisi akut. Situasi ini amat memprihatinkan mengingat usia balita adalah masa penting bagi proses tumbuh-kembang anak. Bagi balita, makanan yang bergizi adalah kebutuhan mutlak. Jika tidak, ke depan negeri ini akan menghadapi problem the lost generation. Dan dari indeks harapan hidup manusia, angka risiko kematian paling tinggi di Indonesia ada pada kelompok usia balita. Dari 1000 kelahiran hidup, 35 bayi mati tiap harinya. Sementara angka kematian ibu yang melahirkan hingga kini juga masih tinggi, yakni sekitar 307 orang untuk tiap 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2002). Berdasarkan kajian Institute for Ecosoc Rights (2006), masalah kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar yang mengemuka di Indonesia sejak pertengahan 2004 lalu, jumlah angka resminya sebenarnya jauh di bawah fakta sesungguhnya. Meski masalah gizi buruk dan busung lapar sudah sedemikian struktural dan laten sifatnya, di mana 72 persen kabupaten/kota di Indonesia tercatat mengidap kasus gizi buruk tiap tahunnya, namun pola penanganannya hingga kini masih bersifat darurat, karitatif, dan sporadis.5


Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah

Kenaikan harga kedelai pada waktu awal Januari 2008 yang menjadi Rp7.500 per kg, dengan cepat direspon oleh pemerintah. Hingga tepatnya pada tanggal 15 Januari lalu Presiden SBY langsung menggelar Sidang Kabinet Terbatas mencari solusi atas krisis kedelai. Dalam Rakor (Rapat Kordinasi) terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY di gedung Departemen Pertanian, presiden menyatakan tiga isu utama sekaligus sebagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Tiga isu yang penting dalam menanggulangi krisis kedelai, yaitu ketahanan pangan, stabilitas harga pangan dan kesejahteraan petani.

Dalam hal ini isu utama yang di keluarkan presiden, mungkin oleh sebagian kalangan masyarakat dapat dikatakan baik dan mempunyai visi ntuk mensejahterakan petani, tetapi bila kita kaji lebih mendalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan kamuflase pemerintah dalam menutupi situasi yang sebenarnya terjadi. Isu ketahanan pangan yang kemudian dihembuskan oleh pemerintah merupakan suatu hal sedikit mustahil apabila pemerintah hanya mengandalkan tingkat produksi pertanian dalam negeri tanpa melakukan proteksi atas produksi pertanian. Artinya kalau kita selama ini masih mengandalkan produk pangan impor maka hal ini mungkin cukup sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang, mengingat bahwa isu krisis pangan dunia ini diperkirakan akan tetap berlangsung selama 5-10 tahun kedepan dan akhirnya setiap Negara yang yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini pun, akan sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka dekat serta menambah pasokan pangan digudang-gudang mereka untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan. Disinilah tugas pemerintah dalam memberikan proteksi bagi produksi pertanian.

Asumsi proteksi bukan hanya memberikan kebijakan yang ketat bagi semua produk impor pertanian tetapi juga memberikan jaminan sosial bagi petani dalam berproduksi pertanian. Kedua adalah pemerintah berani dalam melakukan Reforma Agraria, sebagai fondasi pertanian dalam penyediaan pangan juga sebagai penggerak utama pembangunan khususnya perekonomian perdesaan yang mampu mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan.6. Yang pasti harus pemerintah lakukan adalah, mengkaji/mengoreksi ulang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam perundingan bilateral dan multilateral yang selama ini lebih menguntungkan kaum kapitalis dan negara-negara yang secara politik dan ekonomi sangat kuat. Selama ini, keberdaulatan kita atas pangan, amat diragukan. Misalnya, untuk menentukan bibit yang dipakai saja pun pemerintah harus tunduk pada kebijakan negara lain. Gambaran paling nyata bahwa, hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan akan kacang kedelai, kita harus mengimport sebesar 70 persen dari total kebutuhan.

Dengan demikian, kebutuhan kacang kedelai kita mau tidak mau harus bergantung pada negara lain.7 Melihat perkembangan situasi sosial yang semakin akut ini bahwa sudah saatnya kita menuntut pertanggung jawaban dari pemerintah, hal ini mengingat sejak empat tahun terakhir, bahwa peran pemerintah dalam menangani situasi rawan pangan nasional tak kunjung teratasi oleh pemerintah.8 Inilah situasi yang sangat nyata terjadi di tanah air dan tampaknya belum dimaknai oleh pemerintah sebagai urusan serius bangsa. Secara normatif, hidup sejahtera dan bebas dari kemiskinan adalah impian setiap warga negara. Namun, bagi rakyat Indonesia, agaknya semua itu masih sebuah mimpi yang sulit terwujud.




5.3.08

Pluralitas Sebagai Modal Sosial

Front Perjuang Pemuda Indonesia atau FPPI lahir dari komunitas-komunitas aktivis yang plural. Bagi mereka, perbedaan merupakan modal sosial yang berharga untuk pengorganisiran masyarakat.


Yusran, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Makassar, Sulawesi Selatan. Pria berkacamata yang hafal 30 juz Al-qur’an ini menghabiskan masa remaja dan sekolah menengahnya di pondok pesantren Tarbiyah Takalar. Setamat dari pesanten, dia memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta. Di kota ini, rupanya Yusran menjadi mahasiswa yang tak puas hanya dengan 3D (datang, duduk dan dengar). Sebagai santri yang punya minat besar pada kajian Al Qur’an, Yusran bergabung dengan Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz Al-Mizan, sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang concern pada kajian, hafalan, dan berbagai kegiatan seni Al Qur’an.

Kuliah, mengaji dan dan berdiskusi. Begitulah Yusran menjalani hari-harinya. Entah karena apa, Yusran lalu tertarik untuk membicarakan banyak hal, di luar topik-topik yang selama ini dia diskusikan. Mungkin karena factor bahan bacaan yang kian beragam, atau cara pandang atas realitas kehidupan yang mulai berkembang. Pria yang kini berambut gondrong ini mulai bergaul dengan teman yang beragam. Ia mulai terlibat dalam obrolan-obrolan tentang keberagamaan, kondisi social masyarakat hingga perpolitikan. Akhirnya Yusran merasa cocok untuk berproses dengan teman-temanya yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi atau lebih dikenal KMPD.

Sejak 1990-an awal, hampir semua aktivis di kota Gudeg mengenal komunitas mahasiswa ini. Di zaman Orde baru dulu, kelompok ini dikenal sebagai komunitas aktivis mahasiswa yang radikal. Advokasi masyarakat Kedung Ombo, demonstrasi penurunan Bupati Bantul Sri Roso yang masih keluarga Soeharto merupakan sebagain dari peristiwa sejarah yang membuat kelompok ini dikenal.

Sejak zaman dulu aktivis KMPD berusaha membangun komunikasi dengan komunitas-komunitas serupa di kampus lain, bahkan di luar kota. Kendati aktivis di kelompok ini sebagian berlatar belakang santri atau pendidikan pesantren, mereka tak pernah melihat perbedaan agama atau etnis dalam menjalin jaringan kerja dengan komunitas lain. Maka tak heran bila setelah reformasi 1998, mereka bersama seluruh jaringan organisasi gerakan mahasiswa yang telah terbangun sejak era 1990-an mampu membentuk Front Perjuangan Pemuda Indonesia atau FPPI.

Di kota Yogyakarta, komposisi basis kampus organisasi ini cukup plural. Lihat saja dari asal kampus mereka. UIN Sunan Kalijaga, Universitas Sanata Dharma, Atmajaya, Janabadra, UPN Veteran hingga UGM. Maka tak heran bila toleransi beragama bukan lagi isu yang relevan bagi mereka karena mereka tak merasa ada sekat antar teman yang berbeda agama.

Seluruh aktivis dari UIN Sunan Kalijaga pasti beragama Islam, dan hampir semua yang dari Universitas Sanata Dharma beragama Katholik. Mereka hidup dalam satu rumah kontrakan yang biasa mereka sebut base camp. “Saat adzan berkumandang diskusi harus dihentikan untuk memberi kesempatan sholat bagi yang Muslim. Begitu pula saat Sabtu sore atau Minggu pagi, banyak teman Muslim yang meminjamkan motor atau mengantar teman-teman Katholik dan Kristen ke gereja” Yusran bercerita.

Dari kampus Universitas ada Pangihutan Blasius Sihaloho atau biasa dipanggil Iyut. Mahasiswa asal Jambi ini lahir dan tumbuh dalam keluarga dan lingkungan Katholik. Iyut mengaku awalnya mengikuti LDK (latihan dasar kepemimpinan) yang diselenggarakan oleh BEM UJB. Lantas enam bulan kemudian baru mengkuti pelatihan kader SMPR (Sarekat Mahasiswa Peduli Rakyat), basis FPPI di kampusnya. Ketika ditanya kenapa tidak masuk organisasi mahasiswa yang berbasis keagamaan, ia mengaku karena latar belakang pemahaman agamanya yang cukup minim. Selain itu memang karena dinamika di Universitas Jana Badra, tempat ia kuliah, tidak didominasi oleh organisasi pergerakan yang berbasis keagamaan. Dan pada akhirnya dengan pilihan rasional, ia memilih FPPI sebagai organisasi pergerakannya. “Di dalamnya persekawanan cukup baik, ada solidaritas, dan cara pandang melihat situasi cukup akomodatif,” kesannya pertama kali terhadap FPPI.

Berbeda dengan Veronica Indrianingrum atau biasa dipangil Varo. Kesan pertama yang ia rasakan, FPPI adalah organisasi yang serius dan akomodatif. “Dari banyak organisasi yang sudah saya lihat dan ikuti, FPPI membuat saya ingin berbuat sesuatu. Intinya dari orientasi sertifikat menjadi “hidup rakyat…!” ungkapnya dengan penuh semangat. Soal perbedaan di dalamnya, Varo dengan tegas mengatakan sudah terbiasa dengan keberagaman. “Keluarga saya adalah keluarga katolik, tapi salah satu kakek saya muslim dan sebagian saudara juga ada yang Kristen. Jadi sudah terbiasa dengan keragaman,” imbuhnya.

Baik Yusran, Iyut maupun Varo tak memerlihatkan sekat bergaul sama sekali. “Kami sudah terbiasa tinggal dalam satu rumah kontrakan bersama teman-teman yang berbeda agama,” kata mereka. Mereka bersepakat bahwa perbedaan dan keragaman, baik agama atau ras, merupakan suatu keharusan di muka bumi ini. Namun bukan penghalang untuk membangun cita-cita bersama.

Aditya Rahman, ketua FPPI pimpinan Kota Yogyakarta, sangat bangga dengan pluralitas kader yang ada. Menurutnya, sejauh ini tidak pernah ada pertentangan sekalipun. Bisa saling memahami, berkomunikasi dengan baik dan menghormati perbedaan yang ada. Ia juga mencontohkan ketika lebaran atau natal, banyak pengurus organisasi yang minta libur dan organisasi mengizinkan. “Kalau rapat yang mau sholat diizinkan sholat dan yang mau ke gereja diizinkan ke gereja,” jelasnya.

Bagi kader FPPI, perbedaan kepercayaan bukan persoalan yang harus diperdebatkan bahkan dipermasalahkan sebab pada intinya kepercayaan bersifat personal, hubungan hamba dengan Tuhannya. Beda agama bukan berarti beda prinsip dalam bermasyarakat dan cita-cita pembebasan nasional menuju demokrasi kerakyatan.

Ketika ditanya tentang komentar orang lain atas aktifitas mereka, beragam jawaban bermunculan. Varo mengatakan bahwa keluarga dan teman-temanya mendukung tetapi dalam taraf memberikan semangat secara moral saja. Sedangkan beberapa dosen ada sebagian yang kritis dan concern juga dengan masalah-masalah kerakyatan tetapi di kampus seperti Sanata Darma mereka lebih memilih moderat karena sudah masuk dalam lingkungan sistem. “Yang lain lebih menyuruh saya study orented daripada social orented, padahal udah jelas motto Sanata Darma itu adalah memadukan keunggulan akademis dan nilai-nilai humanistik,” ceritanya panjang lebar.

Tak beda jauh dengan cerita Pangihutan Blasius Sihaloho, cowok kelahiran Jambi ini sepenuhnya mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari keluarga, dosen, teman dan saudara. “Teman-teman men-support, baik dari LKM atau Permahi (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia). Orang tua juga mendukung dengan catatan menyelesaikan dan mendahulukan studi,” tutur Iyut dengan tersenyum.

Beda halnya dengan Yusron, kader FPPI yang sempat kuliah satu semester di UMI Makassar ini. Ia dengan susah payah meyakinkan keluarga dan orang-orang terdekatnya agar mau memahami sikap dan pilihannya. “Bapak saya NU, ibu saya Muhammadiyah dan saya sendiri bertekad memilih untuk keluar dari mainstream politik aliran tersebut,” ceritanya.

Pluralitas sebagai Modal Sosial

FPPI sendiri dideklarasikan di Jakarta tahun 2000 silam. Organisasi ini lebih memilih menggunakan terma pemuda supaya lebih memperluas keanggotaan. Namun sebagian besar kader atau anggotanya memang mahasiswa perguruan tinggi. Menurut Aditya Rahman, organisasi ini telah memiliki cabang atau pimpinan kota hampir di seluruh propinsi, termasuk Yogyakarta. Dari database FPPI Yogyakarta, jumlah kader FPPI Jogja kurang lebih 200 orang yang terdiri dari 60% beragama Islam, 35% beragama katolik, dan 5% dari selain Islam dan Katholik. Terdiri dari beberapa etnis serperti Jawa, Sunda, Madura, Lombok, Kalimantan, Batak, Irian, Sulawesi, Sumatra dan lain sebagainya. “Kalau di kongres kemarin yang hadir cuma 105, tetapi yang tidak hadir lebih banyak. Terdiri dari bermacam kampus seperti UIN, UMY, USD, UAJY, UJB, UPN, UTY, UGM, UNY, dan kampus-kampus lain,” terang Adit. Di samping basis kampus, FPPI Yogyakarta juga mempunyai kader yang berlatar belakang buruh, petani dan pedagang kaki lima berkat proses advokasi dan pengorganisiran yang telah lama dilakukan.

Untuk mengelola keberagaman ini, tambah Adit, harus disiasati dengan persekawanan atau pendekatan kultural, bukan pendekatan formal yang dikedepankan. “Sebenarnya bukan mengelola tetapi mengikuti alur saja karena itu sensitif dan personal,” jelas mahasiswa Universitas Sanata Dharma ini.

Menurut Adit, potensi organisasi ini terletak pada diri seorang kader untuk mengelola potensi diri sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Dari potensi yang dimiliki setiap kader, kelak akan terbangun sinergi social yang sangat kaya karena mereka berasal dari lingkungan keagamaan dan social yang beragam. Bagi kami, terang Adit, pluralitas merupakan potensi berharga yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pengorganisasian social masyarakat yang memang plural. Dengan kohesi social yang kuat, baru dimungkinkan untuk membangun cita-cita dan kerja bersama.

Lebih lanjut, Adit mengatakan, bahwa selain mendidik dan mengembangkan potensi kepemimpinan kader, FPPI secara organisasi juga menjadi fasilitator untuk melakukan kerja-kerjka riil di masyarakat, seperti advokasi kebijakan, pendampingan, dan pendidikan kader.

Selain kegiatan di atas, FPPI juga kerap membangun komunikasi pemuda lintas etnis, agama, dan ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. “Setiap tahun kita selalu melakukan buka puasa bersama, kita juga pernah menyelenggarakan kursus politik bagi teman-teman paroki Katholik,” kata Adit.

Organisasi kepemudaan ini lahir dengan menyebut “Nasional Demokrasi Kerakyatan” sebagai ideologinya. Dengan ideologi tersebut, mereka mampu mengelola pluralitas yang ada demi cita-cita nasional yang lebih akomodatif terhadap keragaman. Tak ayal bila kader FPPI tampak merasa nyaman dengan perbedaan yang ada. Bagi mereka, berbeda kepercayaan bukan berarti berbeda cita-cita.

Ditulis oleh: M. Falikul Isbah

Reportase oleh: Ficky Ubaidillah dan Abdul Aziz



4.3.08

Aroma Derita Warga dan Komitmen Pemerintah

Peraturan dan perundangan-undangan Indonesia secara jelas menyatakan bahwa penguasaan tanah diatur oleh negara dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan pengusaha.

Telah satu minggu Oman ditempatkan di penjara Polres Palabuan Ratu. Jumat malam 23 Februari 2007, Oman ditangkap dan langsung ditahan kepolisian, dengan alasan telah memasuki dan menggunakan lahan perkebunan Tugu Cimenteng Sukabumi, tanpa ijin. Keesokan harinya, Imas, sang istri baru mengetahui keberadaan suaminya. Imas tidak menangis, meski hatinya sedih. Sesungguhnya, ia merasa sangat takut. Tidak terbiasa dengan keadaannya kini. Tanpa suaminya—dalam hari-harinya. “ Saya nanya, kata orang-orang dia di rumah komandan,” papar Imas. Kedua anaknya belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Satu minggu pula Imas tidak memasak makanan. Sawahnya dibiarkan terlantar. Rumahpun enggan dibersihkan. Semangatnya hilang, kerapuhannya datang. “ Ya gimana, kita istri masak ama bebenah buat nyenengin suami, biar suami betah di rumah. Gara-gara ini, saya jadi malas ngapa-ngapain. Makan saja nggak nafsu.” Kedua anaknya bergantian diurus para tetangga, sering juga mertuanya. Kedua orangtua Oman tinggal tak jauh dari kediaman mereka. Angga si sulung, beberapa kali menanyakan keberadaan bapaknya. Imas hanya dapat memberikan kebohongan yang sama, sebelum ia mengetahui keberadaan suaminya. Setelah penangkapan, beredar desas-desus penangkapan lanjutan. Kali ini ditujukan pada kaum perempuan dan anak-anak. Istri dan keluarga “pembangkang”. Ketakutan Imas bertambah. Atas prakarsa warga, ia diungsikan ke kediaman Komandan.

“Komandan”, alias Taufik selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam menghadapi masalah sengketa tanah mereka. Berbekal pengetahuan akademik, Taufik yang pernah mengenyam pendidikan Sejarah sejak tahun 1990 di Universitas Indonesia dengan sukarela membantu warga. Ia menikah, memiliki anak dan menetap di sana. “ Lebih enak tinggal di desa. Di Jakarta semuanya mahal, yang murah cuma satu, harga diri,” ujarnya berkelakar. Jalur ekstraparlemen pernah ditempuhnya, perlawanan dari jalanan. Ini tidak cukup. Berbekal kepercayaan warga, Taufik yang kini sedang menunggu kelahiran anaknya yang kedua maju dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Ia terpilih, dan pada tahun ini pula, ia akan dilantik sebagai lurah desa Bojong Haur, Sukabumi.

Penangkapan

Iptu. Enan Supena. SH. Bripka. Cahya. Spd. Bripda. Anthonius. Amd. Briptu. Omon Sutisna Spd. Bripda. Ali Indriawan—berbekal surat perintah penangkapan dengan nomor : Sp.Kap/40/II/2007/Reskrim datang ke kampung Cibunut, Babakan Baru (BBR). Bersama mereka, Kanon yang juga warga setempat, merangkap keamanan perkebunan menjadi pemandu—penangkapan tetangganya. Tanpa perlawanan berarti, Oman ditangkap. Sebelumnya, ancaman dan teror dialami. Penangkapan dan penahanan ini bukanlah kali pertama dialami Oman. Tahun 2004, ia mendekam di prodeo selama duapuluhtujuh hari. Surat penangkapan menginstruksikan untuk membawa serta Sohibin, Kosasih, dan Hidayatulloh. Ketiganya lari ke hutan. Bersembunyi di sana. Sohibin dan Kosasih serta bapak Oman, meneruskan perjalanan ke Jakarta. Menembus hutan, melewati bukit. Berharap derita yang dialaminya akan dibantu oleh “orang-orang pintar” di Jakarta. Usahanya tidak sia-sia. Gerak Lawan, Gerakan Rakyat Lawan Nekolim dengan segera berangkat ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan dua kendaraan. Ada tujuh belas orang, termasuk Kosasih. Dari Jakarta, rombongan langsung menuju Polres Palabuan Ratu, tempat Oman ditahan. Setiba di sana, polisi piket menjelaskan bahwa Kapolres sedang tidak ditempat. Begitu juga Wakapolres, petugas penyidik dan Iptu. Enan Supena SH, petugas berwenang yang menangkap dan menahan Oman. Iptu. Budhi, selaku petugas piket mengantarkan rombongan membesuk Oman. Pembicaraan diawasi, pengambilan gambar dilarang. Oman menyerahkan kuasa hukumnya pada pengacara dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia). “ Ini merupakan tindakan waspada hukum, jika kasus saudara Oman ditindak lanjuti hingga pengadilan.” Ujar Janses, koordinator tim pengacara. Bersamanya Manahar dan Benny, masing-masing pengacara PBHI.

Setelah dari polres, rombongan Gerak Lawan bergerak ke kecamatan Lengkong. Sebelumnya, kami mampir di kediaman “komandan”, mendiskusikan kronologi dan langkah-langkah yang akan ditempuh selanjutnya. Pukul sembilan malam, rintik gerimis dan lantunan suara alam malam menyertai kami ke kediaman camat Lengkong. Tak sungkan, ia mengajak kami ke kantornya. Pertemuan merekomendasikan camat untuk meninjau ulang kasus sengketa tanah yang dialami warganya. Rapat Muspika akan segera digelar, sehubungan dengan kasus ini. Tugas pertama dalam satu bulan jabatan barunya sebagai camat Lengkong.

Dusun BBR

Kampung Cibunut, desa Cilangkap, kecamatan Lengkong kabupaten Sukabumi. Dusun Babakan Baru, dihuni 20 kepala keluarga. Ada dua puluh rumah hunian, dan satu Musholla, yang kesemuanya berbentuk rumah panggung. “ Kita sih pengennya permanen, tapi kan dilarang.” Ujar Kosasih, menjelaskan mengenai model rumah panggung yang dihuni warga. Memerlukan waktu sekitar tiga jam dengan berjalan kaki menuju dusun BBR. “ Bisa cepat, lewat jalan pintas. Kira-kira satu setengah jam-lah nyampe.” Untuk memasuki wilayah ini, tersedia ojek. Bebatuan kasar, jalan tanah menyempit. Hujan yang datang merupakan tantangan tersendiri bagi orang yang hendak menyambangi dusun yang terletak di balik bukit perkebunan teh. Penumpang ojek tidak selama perjalanan dapat duduk di atas jok motor. Jika dirasa sulit, supir ojek akan meminta penumpangnya untuk turun dan berjalan kaki. “ Demi keselamatan,” ujar supir ojek. Bersama kami, seorang yang pernah aktif menjadi penggemar alam. Berbekal petunjuk via sms, dia berada di depan, menunjuk jalan.

Bermula pada bencana tanah longsor yang terjadi tahun 1999, di Kecamatan Lengkong, Sukabumi. Kosasih, kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap dan tokoh masyarakat lainnya, meminta agar sebanyak 150 KK direlokasi. Dibuatlah kesepakatan antara, Muspika (musyawarah pimpinan kecamatan) Lengkong, Kadus Cilangkap, masyarakat dan pihak perkebunan Tugu Cimenteng—agar warga yang rumahnya terancam longsor direlokasi.

Perkebunan Tugu Cimenteng, PT. J.A. Wattie, mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.44/HGU/BPN/1998. Tanah seluas ± 1.893,7160 Ha diberikan HGU dengan komoditi teh kepada PT.J.A Wattie yang akan berakhir haknya pada 31 Desember 2023.

Hingga tahun 2001, terdapat 12 KK yang telah direlokasi, jauh dari permohonan warga dan hasil inventarisir yang telah disepakati. Masing-masing KK yang telah direlokasi mendapatkan tanah dari PT. J.A. Wattie, perkebunan Tugu Cimenteng sebesar 200m2, dengan status pinjam pakai. Warga yang direlokasi, membersihkan sendiri tanah yang kelak akan digunakannya. “ Dulu mah ini alang-alang. Kita bersihin sendiri. Namanya tanah di bukit.” Ujar Kosasih. Alang-alang tinggi, perkebunan yang tidak terawat, pucuk-pucuk daun teh tidak dipetik. Masuk ke tengah areal perkebunan, tampak pohon-pohon karet yang berusia muda. “ Setelah tanah kita bersihin, perkebunan nanam karet. Mereka bilang, tanah yang kita bikin rumah juga akan ditanam karet.” Di atas kerta ijin HGU adalah penanaman teh. Di lapangan, areal perkebunan ditanami karet. Inilah yang menjadi alasan pengusiran warga. Perkebunan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembersihan lahan.

Pihak perkebunan keras berusaha mengusir warga. Teror senantiasa datang. Mereka ketakutan. Warga tidak mau pergi. Mereka tetap berupaya untuk mempertahankan rumahnya. Pinjam pakai yang disepakati atas tanah yang digunakan warga tidaklah gratis. Setiap panen, mereka wajib menyetorkan parabon sawah (hasil panen) pada pihak perkebunan. Parabon sawah yang disetorkan, disesuaikan dengan luas tanah yang mereka gunakan. Umumnya, mereka bertanam padi, kacang tanah, jagung dan ubi kayu. “ Warga memang harus mempertahankan tanahnya. Kemana lagi mereka akan tinggal dan mencari nafkah.”

Kekerasan Pada Petani

Adalah Engkos Kosasih. Mantan kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap. Sejak tahun 1980 ia telah dipercaya masyarakat untuk memimpin dusun. Atas prakarsanya pula warga mendapatkan relokasi atas tempat tinggal yang terancam longsor. Semasa menjabat sebagai kepala dusun di BBR, melanjutkan amanah setelah hijrah dari Cijeruk—ialah yang paling sering diintimidasi, oleh perkebunan dan kepolisian. “ Tahun 2004, saya diundang ke kecamatan, untuk membicarakan hal ini. Belum sampai di kecamatan saya dihadang pasukan Brimob. Saya ketakutan. Sama mereka saya disuruh tandatangan surat.” Kosasih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya. Ia diminta secara paksa untuk menandatangani surat, yang berisi tuntutan agar tidak lagi menghasut warga dan tidak lagi muncul di masyarakat. Ia sangat tahu, ancaman yang akan didapatkan jika tidak menendatangani surat yang disodorkan Brimob. Pasukan Brimob juga pernah menyerbu masuk ke dusun BBR. Memeriksa rumah-rumah, mencari dan menangkap para lelaki, serta mengejar untuk menahan kelompok yang membantu masyarakat untuk mempertahankan tanahnya. “ Kita lari dan bersembunyi ke hutan.” Kata Hidayatulloh. Lari dan bersembunyi ke hutan, merupakan pilihan yang diambil oleh sebagian besar warga untuk menghindari teror dan kekerasan yang dialami oleh mereka. Budaya perlawanan sangat jarang dalam masyarakat Sunda. Mereka memilih menyingkir. Pendidikan yang relatif rendah, serta budaya cinta damai menjadi latar belakang yang menjelaskan pilihan tersebut. Lelah terus-menerus diteror, Kosasih dan beberapa warga mencari bantuan lain.

Di sana, rombongan Gerak Lawan, dipertemukan dengan masyarakat yang tersebar di beberapa lokasi dusun. Anak-anak, orang tua dan para istri. Tidak tampak wajah-wajah pemuda dalam pertemuan yang di gelar di halaman rumah Kosasih. “ Anak mudanya pada di kota. Kerja konveksi, pembantu rumah tangga. Kalau Lebaran nanti baru pulang.”

Hidayat, pun kembali dari persembunyiannya di hutan. Kegiatan pengajian yang dipimpinnya belum dapat dilaksanakan segera, setelah terhenti akibat kaburnya Hidayat, menghindar dari upaya penangkapan aparat. Kejar-kejaran warga dengan aparat, teror yang diterima warga menyebabkan terhentinya kerja masyarakat. Sawah tidak terawat, sebagian dari mereka memilih bersembunyi.

Reforma Agraria

Sebagai upaya penyelesaian konflik agraria, dan upaya mengatasi ketimpangan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan struktur agraria, pemerintah Indonesia saat ini menyelenggarakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sebanyak 8,15 juta hektar tanah akan akan di re-distribusi kepada petani. Program yang dipimpin langsung oleh Presiden melalui kepala Badan Pertanahan Nasional, sejatinya akan mengurangi angka kemiskinan masyarakat Indonesia.

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menjadikan agenda pembaruan agraria sebagai bagian dari visi, misi dan program pemerintahan. Pelaksanaan agenda ini diletakkan dalam dua kerangka program pembangunan nasional, yaitu sebagai bagian dari agenda “perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesaan”. Sesuai Perpres 10 Tahun 2006, pelaksanaan agenda ini juga menjadi mandat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Agenda ini, bersama dengan pengkajian dan penanganan konflik agraria, merupakan bagian dari 21 fungsi BPN RI dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

Pada tataran kebijakan, titik tolak bagi pelaksanaan agenda ini juga telah ditunjukkan oleh komitmen pemerintah yang dinyatakan Presiden SBY beberapa waktu lalu untuk mengalokasikan sejumlah lahan sebagai obyek pelaksanaan pembaruan agraria. Hal ini akan dilaksanakan dalam sebuah kerangka terpadu Program Pembaruan Agraria Nasional (disingkat PPAN). Kerangka terpadu PPAN ini mengandung pengertian bahwa agenda pembaruan agraria harus dijalankan dengan kandungan dua aspek sekaligus. Selain merupakan upaya struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria (baca: asset reform), ia juga mesti diikuti program-program pendukungnya yang membuat aset tadi akan berkembang produktif, seperti dukungan teknologi, pendidikan, pembiayaan, infrastruktur, pasar, kebijakan ( access reform).

Dengan kedua aspek ini, maka pelaksanaan pembaruan agraria secara langsung akan berkontribusi kepada penyelesaian konflik agraria, penciptaan sumber-sumber baru kesejahteraaan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Tetapi lebih dari itu, dengan berkembangnya aktivitas perekonomian pertanian di pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembaruan agraria memiliki landasan yang kuat bukan saja dari sudut politik dan hukum, tetapi juga secara sosial dan ekonomi.

Seiring dengan komitmen pemerintah ini, hal yang kemudian harus dilakukan adalah menggalang kebersamaan dan kesatupaduan langkah di antara semua komponen bangsa secara umum, dan khususnya mereka yang bergerak di bidang agraria. Kebersamaan dan kesatupaduan langkah ini penting untuk menjamin agar pelaksanaan PPAN ini dapat berlangsung secara sinergis, terkelola, dan terarah sehingga berhasil mencapai tujuannya untuk menjamin akses rakyat pada sumber-sumber agraria, mendorong perekonomian nasional, dan melahirkan kemakmuran bangsa secara keseluruhan.

” Udah miskin, dianiaya pula,” keluh Imas. Imas berupaya tetap tabah. Ia yakin, yang dialami suaminya adalah konsekuensi perjuangan yang juga menimpa banyak orang, sehubungan dengan konflik tanah yang dialami masyarakat. Di luar itu, ia tidak memahami pertarungan besar antara kekuatan koorporasi-koorporasi dengan masyarakat miskin. Akankah negara dan penyelanggara negara dapat melindungi warga negaranya ?