Aku yakin benar bahwa tatanan ekonomi sekarang ini, yang dipaksakan oleh negara maju, tidak saja kejam, tidak adil, tidak manusiwawi, akan tetapi juga, secara inheren, rasis (Fidel Castro). Siapapun tak menyangkal bahwa Amerika masih penguasa tunggal panggung politik global. Pasca runtuhnya Uni Soviet Amerika berjalan sendiri mengatur irama dan gerak dunia global. Hal itu dilakukan dengan berbagai kekuatan; ekonomi, politik, bahkan tak jarang invasi militer. Seperti yang dilakukan ke Irak dan Afganistan. Maka sangat wajar jika kunjungan kenegaraan pemimpin Amerika ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia pada 20 November nanti, banyak ditolak gugat berbagai kalangan.
Dalam hal budaya, Amerika juga menginvasi seluruh dunia melalui berbagai korporasinya. Mc Donald, Pepsi, Coca Cola, adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah bagaimana mengguritanya kekuasaan korporasi tersebut membentuk cita rasa masyarakat dunia. Tak terkecuali cita rasa masyarakat bangsa ini. Hanya saja, di tengah mengguritanya kekuasaan tersebut, sangat jarang kita temukan para pemimpin dunia mampu bersikap tegas dan berani melawan. Mereka justru hanya bisa mengangguk tuntuk dihadapan kekuasaan hegemoni Amerika.
Di Indonesia, hanya Soekarno saja yang sangat tegas dalam bersikap menghadapi arogansi negara adidaya tersebut. Suatu ketika tatkala kegeramannnya memuncak, Soekarno dengan tegas dan berani mengatakan “Go to hell with your aids”. Ungkapan tersebut diklontarkan Soekarno sebagai jawaban akibat desakan negara-negara maju yang akan menciptakan ketergantungan terhadap negara-negara yang baru meredeka melalui kebijakan utang. Lalu bagaimana dengan pemimpin sesudah Soekarno?
Soeharto yang menggantikan Soekarno justru sebaliknya. Ia terang-terangan membuka keran investasi asing tanpa terlebih dahulu menciptakan ketahanan ekonomi politik negara dan masyarakat. Imbasnya, hingga sekarang bangsa ini secara ekonomi politik tidak pernah bisa tegas dalam membela kepentingan rakyat dan kehormatan bangsanya. Semua kebijakan yang keluar dari penguasa dimunculkan sekadar demi melayani kepentingan pihak asing. Akhirnya ketidakadilan, demoralisasi dan dehumanisasi menjadi fenomena sosial dalam masyarakat. Bahkan terparah para elit politik hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Buku Presiden Radikal karya Eko Prasetyo, lahir dari rasa optimisnya bahwa dunia lain dimungkinkan. Dunia yang adil dan sejahtera yang lahir dari tangan para pemimpinnnya. Buku ini sungguh tepat kiranya ketika dalam percaturan politik global mulai bermunculan para pemimpin negara yang berani mengambil berbagai kebijakan demi terciptanya kesejahteraan rakyat mereka. Bahkan tak jarang berani konfontatif dengan negara adi kuasa Amerika Serikat. Mereka adalah Evo Morales, Hugo Chaves, Mahmoud Ahmaninejad dan Fidel Castro. Mereka inilah, di mata Eko, bisa memberi optimisme bahwa dunia yang lain itu dimungkinkan. Dunia yang berkeadilan dengan berdasar prinsip kedaulatan yang utuh. Meski tentu saja di mata para penguasa global kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan keempat pemimpin tersebut dinilai negara maju, terkhusus Amerika, hanya akan merusak tatanan dunia yang sedang dalam genggamannya.
Eko memberi contoh Evo Morales. Presiden Bolivia ini menjalankan kebijakan yang menentang keras praktek neo liberalisme. Kaki tangan perusahaan multinasional dibekuk dengan kebijakan nasionalisasi. Dengan nasionalisasi keuntungan perusahaan dialihkan kepada negara kemudian didistribusikan kepada rakyat. Tentu saja kebijakan nasionalisasi di mata Amerika sangat ditolak karena dinilai merugikan dan mengganggu stabilitas pasar dan ekonomi global yang sedang digenggamnya. Akibatnya, melalui kebijakan nasionalisasi, seperti yang pernah dilakukan Soekarno, pemipin negara tersebut dikucilkan negara-negara maju.
Molarez sejatinya menyadari bahwa dirinya sedang melawan sebuah tahta kekuasaan yang punya segalannya dan repotnya kekuasaan modal memiliki taring dan jaring dimanapun. Tapi Moralez tetap berdiri gagah dan terhormat untuk tetap teguh mengikuti kebijakan radikal ini; ia tahu bahwa malapetaka sosial yang sudah terlampau lama diderita rakyatnya hanya bisa dihapus dengan menentang kezaliman korporasi multinasional. Sikapnya ini kemudian menjadi tauladan di kawasan Amerika Latin sehingga nasionalisasi asset kemudian menjadi keputusan politik yang dilakukan dimana-mana. Bolivia dibawah kepemimpinan Evo Moralez telah menunjukan kembali prinsip kedaulatan, persamaan dan kebebasan bersikap suatu negara tidak bisa di intervensi oleh negara manapun.
Neoliberalisme ditentang karena para presiden ini tahu berapa besar ongkos sosial yang harus dibayar akibat dari kepatuhan mereka pada rezim pasar bebas. Argentina terjatuh dalam kubangan hutang, Venezuela mengalami nasib serupa dan Bolivia yang sebenarnya kaya dengan bahan-bahan alam harus gigit jari karena hasilnya dikeruk untuk kepentingan perusahaan multinasional. Pertanyaannya kemudian, adakah sikap seperti yang ditunjukan Moralez dan Chaves, hadir dari pemimpin bangsa ini? Jika melihat sekian kebijakan yang ada; pemotongan subsidi, biaya pendidikan semakin mahal, dan dilindungi terus menerus pelaku korupsi kelas kakap seperti Soeharto, maka memang pemimpin bangsa ini masih bermental banci. Maka sangat tepat komentar Buya Syafii Ma’rif terhadap perilaku pemimpin negara ini. Mereka cenderung tunduk terhadap intervensi negara adi kuasa, Amerika.
Para pemimpin yang yang dijadikan contoh dalam buku ini sesungguhnya menyadari benar kepada siapa semestinya menjadi pelayan. Reputasi mereka selama ini telah mencatat kegemilangan dalam melayani rakyat. Ahmadinejad punya kebiasaan, jauh sebelum memegang kekuasaan, membagi makanan tiap pagi kepada rakyatnya. Ia tinggal di perkampungan yang sesak dengan penduduk dan bertempat di rumah sederhana. Kedisiplinannya yang memukau, datang lebih pagi di kantor dan menilai bahwa seorang tukang sapu dan dirinya memiliki nilai sama. Fidel Castro juga sesungguhnya memiliki kesederhanaan serupa. Castro hanya mendapat gaji setara upah buruh dan mobil yang dipakainya hanya satu, kendaraan dinas. Sungguh contoh kesederhanaan itu berbeda 180 derajat dengan pemimpin negara ini yang gemar menghamburkan uang rakyat.
Pertanyaannya sekarang, bagaiamana kebijakan pemimpin negara ini? Tampaknya, para pemimpin kita belum memiliki kesadaran seperti Hugo Chavez, Evo Moralez, Mahmoud Ahmadinejad, dan Fidel Castro. Para pemimpin di negara ini selalau memandang posisi kekuasaan dengan cara pikir yang selalu politis. Bahkan jabatan presiden lebih dimaknai sisi politisnya saja dibandingkan pengabdiannya. Akibatnya, kebijakan yang muncul tidak mencerminkan kebutuhan dan jawaban sesungguhnya dari masalah yang menimpa rakyatnya. Bahkan tak jarang mereka lebih tunduk dan sujud dihadapan kekuasaan Amerika.
Negara Terkikir
Menurut Eko, meski tercatat sebagai negara yang paling kaya dan adi kuasa, siapa sangka sesungguhnya Amerika Serikat begitu pelit dalam memberikan bantuan kepada negara miskin. Dalam buku ini, Eko memberi data-data bahwa di banding negara maju lain, Amerika Serikat ternyata berada dalam posisi paling buncit dalam soal memberi bantuan. Pelit merupakan watak utama kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika. Kalaupun bantuan diberikan itu hanya untuk memelihara kepentingan dan mengutip laba setinggi-tingginya. Tiap setetes bantuan yang diberikan dimbuhi dengan timbunan prasyarat. Syarat agar kepentingan Amerika, terkhusus perusahaan mereka, dilindungi terutama dari kebijakan nasionalisasi.
Menurut Eko, sanksi ekonomi merupakan senjata andalan Amerika, disamping tentu saja invasi tentaranya, yang lazim dikerjakan oleh penguasa Amerika. Libya, menurut eko, adalah contoh terbesar bagaiamana penguasa Amerika telah menjerumuskan bangsa ini dalam kesengsaraan abadi. Dengan menuduh Qaddafi sebagai sosok teroris maka Amerika di bawah Ronald Reagan melancarkan banyak pengeboman. Di samping itu Amerika juga menekan PBB untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Libya. Eko mencatat sepanjang 80 tahun terakhir sanksi-sanksi ekonomi dipaksakan terhadap berbagai negara dalam 120 kesempatan terhadap berbagai negara dalam 120 kesempatan, 104 diantaranya adalah semenjak Perang Dunia II. Pada 1998 saja, Amerika Serikat telah memberikan sanksi terhadap 75 negara, yang mencakup 52% dari populasi dunia.
Pemimpin negara ini mesti belajar banyak kepada para tokoh yang diangkat dalam buku ini. Mereka adalah pemimpin yang memiliki moralitas sosial. Moralitas yang punya sandaran tanggung jawab publik dan tak gentar berhadapan dengan kekuasaan global meski akan dikucilkan. Mereka tahu, rakyat miskin berada di belakang barisan mereka. Mereka percaya kalau kekuasaan yang mengabdi dan melayani rakyat miskin, adalah kekuasaan yang akan bertahan. Berpihak adalah karakter dasar keempat pemimpin yang termuat dalam buku ini, tanpa slogan, tanpa pidato, dan tanpa banyak bicara. Mereka seakan memberi pesan tegas, tunjukan kepemimpinanmu dengan tindakanmu! Yang penting untuk kita ketahui keempat presiden ini hidup di bumi yang sama. Mereka berhadapan dengan tantangan yang serupa dengan bangsa ini, bahkan jauh lebih berat. Tapi semua rentetan masalah itu tak membuat mereka gentar, cemas, takut atau kuatir. Sejarah pada akhirnya akan menulis tentang apa yang mereka lakukan.
Epung Saepudin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment