5.3.09

8 Maret. Hari Perempuan Internasional.

Ingatan saya buram, tentang sekian kisah yang hari ini menjadi sebuah peringatan. Internasional- atau kisah nasional. Bagaimanapun—sebagai perempuan, saya mengamini sebuah mimpi—meski jauh sekali.

Gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi kapitalistis menyebabkan munculnya protes-protes terhadap kondisi kerja (kaum perempuan). Sejarah mencatat kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist di New York tahun 1911 yang menyebabkan 140 perempuan tewas. Pada 8 Maret 1857, lagi-lagi di New York, buruh garmen memprotes kondisi kerja dan gaji yang rendah. Clara Zetkin, seorang sosialis Jerman, pejuang hak-hak perempuan, yang mula-mula mengusulkan diperingatinya Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 1911.

Berbeda dengan Tanah Air. Banyak kisah, yang mungkin kering terdengar. Bukan apa, Indonesia adalah negara usang yang ternyata belum menjadi negara. Di sini, perihal kemiskinan, pembiadaban kemanusiaan begitu haru. Catatan masa lalu menggoreskan suara-suara—sejak polah Ken Dedes, keluguan Kartini, hingga Gerwani. Protes 98-un tak melepaskan betapa perempuan adalah salah satu bagian dari penindasan yang hari ini masih kita hadapi.

Terlalu jauh untuk itu semua. Saya akan bercerita tentang pertemuan dengan kelompok perempuan di desa Sukolilo saja.

Sore itu hujan begitu deras. Basah dan dingin membuat tubuh saya menggigil. Tapi tidak setelah saya berganti baju—yang dipinjamkan mbak Sri. Buruh kasar di pabrik kacang Atom- Juwana. Delapanpuluh ibu-ibu telah menanti sejak siang tadi. Para lelaki pun sabar menunggu. Itu tiga minggu lalu, di dukuh Curug, Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo—Pati, Jawa Tengah. Ada cerita, terselip kemarahan, dan mimpi mempertemukan kami. “Sekarang, setiap hari polisi datang ke sini. Mereka mengawasi kita, membuat kita tidak nyaman.”

22 Januari lalu, sekelompok ibu-ibu membuat blokade jalan, menutup jalur masuk desa. Tim survey dari PT Semen Gresik Tbk tidak bisa masuk. Sejak pagi, mereka tertahan blokade yang dibuat warga. Di barisan depan, para perempuan. Boleh saja tubuhnya renta, tapi jangan dilupa. Merekalah yang pergi ke sawah setiap pagi, menyemai benih, menandur, merawat, memanen, mengeringkan apa yang kita makan. Pati merupakan penyumbang pangan terbesar di Jawa Tengah, dan Sukolilo menutup lubang kekurangan pangan di Pati. “Kami menolak pembangunan Semen Gresik di daerah kami,” lugu dan bersemangat. Mungkin, kaum yang menyebut dirinya feminis sudi kiranya bertemu mereka. Tak berpanjang teori, perempuan menolak pembangunan pabrik semen Gresik di Sukolilo, Pati.

Mereka lancar bercerita, bagaimana ketika senja sepatu lars menghantam tubuh. Kain panjang ditarik kasar, dan tubuh-tubuh renta mereka terhempas ke jalan. “ kita ini nenek-nenek, tapi diperlakukan semena-mena.” Senja itu, 22 Januari sore hari. Tanpa wartawan, tak ada kamera atau alat dokumentasi lainnya. Apa yang bisa dikisahkan ulang, dari sebuah perayaan?