1.2.08

Bendera Setengah Tiang: Tanpa Makna

Oleh. Sahat Tarida

Merah putih, kain kenangan yang pada awalnya jahitan tangan seorang perempuan. Dua warna yang disiapkan, kaum muda Indonesia, yang tergesa-gesa—ingin MERDEKA.

Saat ini, beberapa hari mangkat Soeharto, rakyat demam memasang bendera setengah tiang di halaman. Rumah, kantor, sekolah. Sakit yang ditularkan oleh Susilo Bambang Yudoyono—adik kelas si mangkat dalam kemiliteran. Saat ini, SBY adalah presiden Indonesia. Sikap reaksionernya mengumumkan hari berkabung nasional, kibarkan bendera setengah tiang—dan meminta Soeharto untuk dimaafkan. Memaafkan—bukanlah soal sulit.

Matinya, tanggal 27 Januari lalu. menurut hitungan Jawa 2 + 7 = 9. Tepat angka favorit si mati. Hingga nafasnya tak ada, rakyat masih bersuara—menuntut keadilan, dari ketidakadilan, penderitaan dan penindasan yang dilakukannya selama ini. Bagaimanapun, dia seorang Jawa yang menisbikan dirinya bak raja dalam kepemimpinan republik Indonesia. Sebelumnya, Soekarno berkehendak menjadi raja. Ia menggagas dan memaksakan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian membangkitkan sentimen ras, hingga memunculkan perpecahan. Indonesia dalam Indonesia.

Soeharto, pada tahun 1983 ia diangkat sebagai Bapak Pembangunan. Lima belas tahun setelah MPRS mengukuhkan dirinya sebagai presiden. Tap MPR No.V menegaskan ini. Ilusi keberhasilan yang diukur melalui evaluasi per lima tahun menjadi anggapan umum, bahwa republik baik-baik saja. Minimal, rakyat tidak kelaparan, meski berkubang kebodohan dan kemiskinan.

Surat Perintah Sebelas Maret. Surat sakti yang tak pernah terbukti sebagai naskah asli hingga kini. Menjadi legitimasinya untuk bertindak sebagai dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi. Saat itu, tindakan pengamanan dan stabilisasi dilakukan dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia. Membunuhi orang-orang tidak berdosa yang menterjemahkan kemerdekaannya dengan kehidupan sama rata sama rasa.

32 tahun ia berkuasa. Selama itulah ia menjadi raja. Berbicara sama dengan kritik. Bergerak sama dengan subversip. Semua demi stabilitas negara. Hingga pada akhirnya, perjuangan yang telah lama dimulai sejak awal kediktatoran ala militer yang menjadi pandu negeri mampu menunjukkan titik terangnya. Mei 1998 adalah pelajaran. Sayangnya, hanya sebatas reformasi. Perubahan tidak terasa, bahkan kehidupan kian merana. Soeharto, sedemikian kuat. Ini ditunjukkan dengan tidak adanya itikad dari rezim yang telah berganti untuk menciptakan keadilan—hukum dan sosial.

Diusianya yang ke 87, ia mati. Meninggalkan untaian kisah gagah yang dipaparkan kolega dan kroninya. Kita bisa menyaksikan miniatur Indonesia, yang pembangunannya kala itu menuai kontroversi. Lahan pemukiman dan anggaran negara yang harus dikorbankan. Demi cintanya pada sang istri. Siti Hartinah, seorang putri wedana yang dinikahinya pada Desember 1947. Kita juga masih mendengar kisah, kemarahan yang berbaur dengan kesedihan dari keluarga korban yang dihilangkan secara paksa. Setiap Kamis sore, kerabat korban pelanggaran HAM berdiri di bawah payung hitam menghadap muka Istana negara. Tuntutan mereka masih sama—keadilan. Keadilan yang begitu susah didapatkan.

Pada kematiannya, SBY begitu reaksioner memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang selama tujuh hari. Hal yang tidak bisa diterima begitu saja. Begitu juga permintaan untuk memaafkan Soeharto, tanpa berani menjelaskan kesalahan yang telah dilakukan.

Saat ini, harga beras dan kebutuhan pokok yang begitu mencekik. Akses pendidikan dan kesehatan yang begitu sulit. Kita kibarkan merah putih di muka rumah, untuk mengenangkan Soeharto. Yang entah bagaimana keadaannya di kerajaan barunya. Yang pasti, lembaran bunga terus terganti, dan nisan pualam begitu menyilaukan. Banjir, kebakaran hutan, kelaparan dan kemiskinan kontras dengan keindahan Astana Giri Bangun. Bendera setengah tiang menjadi tanpa makna.


Pak Harto Setengah Tiang Vs kita Setengah Sinting?

Oleh. Lodzi
(Catatan sekenanya 'menonton' upacara meninggalnya Sang Smiling General)

Sodara sodara sebangsa dan setanah air.

Bukannya saya ini orangnya tegaan. sebagai seorang yg sadar budaya saya juga mengerti pepatah Jawa yang cukup terkenal "tega lorone ora tega patine".

saya juga setuju bahwa pak harto juga punya andil besar dlm proses konsolidasi ekonomi kebangsaan. ini yg kadang bikin salah paham. pasca reformasi ternyata keadaan memburuk...dgn sderhana rakyat kita trus bilang, "aduh mendingan dulu deh kalo gini jadinya...smua serba mahal, srba sulit, malah gak karu karuan".

loh sbentar, jangan salahkan rakyat kalo mreka bilang gitu...keterpurukan kesadaran politik mreka terhambat juga gara gara pak harto, jangan salah. '98 smua teriak...gak teriak reformasi brarti ktinggalan, dus, musuh! smua bilang anti orba, emoh kalo dibilang orba, nyrempetpun ogah. pokoknya reformis..terus stelah itu rebutan macem macem, dari meja, kursi, taplak, lap, kemucing... Eh baru kemarin Sang Smiling General meninggal...sudah muncul drama heboh kayak gini...

Sbentar, bukannya saya ini tega loh ya... Orang mati itu urusan dia dan Tuhan. urusan dia dan manusia..ya urusan kita-hablun minan nas. lah pak Harto itu pernah kita cacimaki karena dianggap bersalah. celakanya seluruh proses hukum mandek. lantas gara gara bliau sakit trus meninggal tiba tiba kita jadi berpaling dari kebenaran yang baru saja kita teriak2kan...lo kok bisa?

bukan masalah tega ato nggak tega. soal memaafkan, ya udah kita maafkan. yang gak mau memaafkan ya biarin urusan sendiri2, jangan maksa orang memaafkan dong. gimana kalo kayak gini lantas jadinya...pak jendral besar mati, dosa2nya blum terungkap scara hukum. citranya masih ngambang, kekuatannya masih 50-50, eh ujuk2 sampean nangis nang tipi, demo bawa lilin sambil nyanyi gugur bunga, terus ngerek bndera setengah tiang....maksud sampean itu apa?!

Jadi sodara sodara sebangsa dan setanah air. saya itu ngenes loh, td pagi saya dan kawan2 mau berangkat ke Sukabumi untuk ketemu petani dan pengusaha yg sedang brtikai royokan tanah. warga dikalahkan dan setelah kita libatkan Komnas Ham, ada gnti rugi 7 juta per orang, itu buat rumah dan lahan pertanian, gimana mbaginya coba? kami yang mustinya ngerek bndera setengah tiang karena kasus kayak gini gak cuman satu dua, dan itu timbul dari mentalitas sistemik birokrasi politik bntukan Suharto. Di hari yg sama pagi ini mungkin mbak Tutut dan smua orang pada sibuk, termasuk anda mungkin. saya melintas Jalan diponegoro Menteng udah mulai disisir jalannya...

Nah kalo gini bukan brarti saya tega loh ya,...tapi coba anda tanya hal sederhana saja, ato menjawab? bukankah tivi yang bikin kipas2 berlebihan itu, pencitraan kayak over proporsi..ada apa? kok tiba tiba dia berbalik jadi pahlawan lagi? ingat bagaimana Soeharto memperlakukan Soekarno hingga Si Bung itu mati? jangan tanya jasa deh...

sekarang saya mau forward SMS teman saya pagi tadi: "kita beritakan kpada seluruh rakyat dan bangsa yg masih peduli pada nilai2 demokrasi: TOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG sebagai protes sipil atas belum terbayarnya hutang2 dosa politik Soeharto slama 32 tahun. Semua TV saat ini mengabarkan kebohongan!"

gitu bunyinya...
terserah kalo sodara jg mau forward..hanya saya sarankan anda baca naskah kuno Baghatvagita, anda akan ngerti maksud bersikap obyektip layaknya ksatria.

Lahan Kota: Cerita Masyarakat Tanpa Lahan

Oleh. Sahat Tarida

Sudah tahun 2008. Dan kita masih di kota yang mengenaskan. Menyedihkan. Kita, masyarakat tanpa tanah. Bersama mereka yang tak pernah berhenti mendorong gerobak, memungut sisa-sisa. Bersama mereka, yang mengepak barang setiap harinya. Menyapu jalan raya, dan kembali ke bawah saluran air.

Warga Gasong, yang bermukim di Kelurahan Menteng Atas, Kuningan. Di belakang Pasar Festival, warga membayar pajak tanah dan retribusi daerah. Mereka membayar pada negara, untuk tempat tinggal yang menjadi haknya. Tapi mereka harus menyingkir—dipaksa minggir. Untuk pembangunan Bakrie Tower, perusahaan milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Perusahaan yang hanya menanamkan kemarahan dan kebencian masyarakat Lapindo Jawa Timur—dan solidaritas Indonesia.

Kita menghadapi masalah pelik mengenai tanah. Kita dihadapkan pada ketimpangan akses tanah, masyarakat miskin jelas berada pada posisi yang sulit mengakses tanah. Selain itu, kebijakan perundang-undangan yang saling bertentangan sama sekali tidak membantu penyelesaian masalah yang terjadi. Kota, ibukota. Tempat apa ini. memberi mimpi-mimpi, dan kenyataan yang menyesakkan.

Trend PHK massal yang terjadi satu dasawarsa ini, mendorong kreatifitas warga untuk membantu negara menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka memanfaatkan lahan untuk kelanjutan hidup. Yang terjadi, pembakaran dan penggusuran paksa semena-mena akibat usaha warga mempertahankan haknya. Pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan hidup sepertinya akan digaungkan kembali oleh gerilyawan parlementer, mengulang janji manis senior. Yang tentunya dibumbui dengan sekian derita warga. Nasib kita diperdagangkan

Revitalisasi pertanian, yang menjadi landasan kebijakan pengurangan jumlah kemiskinan—di negara berbasis agraria, sama artinya dengan revitalisasi tanah perkotaan. Pembangunan ramah lingkungan, dan berkeadilan. Ini tidak terjadi. Di ibukota, tanah didominasi oleh bentangan aspal jalan raya, pancang beton dan lapis semen gedung-gedung, dan berjamurnya bangunan perbelanjaan metropolitan. Semua bukan milik kita.

Setiap hari kerja, warga datang dan kembali pulang ke kota penyangga. Mereka bermukim. Tinggalah pekerja sektor informal, bersama sisa-sisa buangan gas kendaraan, yang begitu sesaknya. Mereka mendorong gerobak, dari satu tempat ke tempat lainnya. Memunguti buangan, untuk menyambung kehidupan. Mereka yang terus berlari menghindar kejaran dan pentungan tramtib. Mereka tidak memiliki lahan untuk bermukim, berproduksi, apalagi sebagai tanah sebagai aset. Matipun kita tidak berani.

Redistribusi lahan perkotaan
Redistribusi lahan perkotaan, mutlak dilakukan. Tidak akan ada yang bisa menghentikan laju urbanisasi, jika tata lahan di pedesaan tidak dilakukan. Petani kita jauh tertinggal dalam pengetahuan dan pemanfaatan teknologi pertanian, tapi juga dibebani dengan ketidakpastian hukum untuk bekerja. Mereka tidak dapat berproduksi, minimnya lahan dibarengi dengan mahalnya ongkos produksi. Perubahan iklim menambah deret masalah pencapaian hasil produksi pertanian.

Dan, tidak akan ada yang dapat menghapuskan kemiskinan, jika tidak ada itikad untuk memperbaiki ketimpangan struktur kepemilikan tanah. Redistribusi lahan, baiknya bukan hanya relokasi pemukiman warga, sebagai ganti penggunaan lahan untuk pembangunan umum. Redistribusi lahan perkotaan adalah bagaimana pembangunan kota sinergi dengan pengembangan masyarakat, secara ekonomi, sosial dan budaya. Kita menggunakan tanah, terlahir, hidup, bekerja dan kembali pada tanah. Kita membutuhkan tanah, dan tanah menginginkan kita. Untuk digunakan secara manusiawi.

Redistribusi lahan, bisa kita awali dengan berapa jumlah bangunan pusat perbelanjaan, dan berapa keluarga yang tidak punya rumah. Mari berhitung.