21.11.06

Gerak Lawan

Gerak Lawan:
Nasionalisasi Aset-Aset Perusahaan Amerika untuk Rakyat!

Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, ke Indonesia kembali menuai penolakan.Kamis (16/11), puluhan massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neo-Kolonialisme (Gerak Lawan) AS melakukan aksi di kantor perusahaan Mosanto dan Freeport Indonesia di Jakarta, menentang kedatangan Bush serta menuntut nasionalisasi aset perusahaan Amerika di Indonesia.

Gerak Lawan memandang bahwa kelangsungan internasionalisasi modal perusahaan-perusaha an transnasinal (TNC) Amerika seperti Freeport dan Exxon Mobile telah menyebabkan kedaulatan rakyat Indonesia tergadaikan. Amerika dengan menggunakan Bank Dunia dan IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia melahirkan kebijakan yang merugikan rakyat. “Karena Amerika-lah kita kehilangan sumber-sumber agraria, upah buruh murah, dan pendidikan mahal,” ujar Adi, koordinator aksi lapangan.


Lebih lanjut, Adi juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut seluruh kebijakan publik serta produk hukum yang merupakan pesanan kepentingan perusahaan asing. Menurutnya, kebijakan-kebijakan nasional saat ini lebih kental mencerminkan skenario neo-imperialisme. “Undang-undang Sumber Daya Air, Undang-undang Perkebunan, dan Undang-undang Migas adalah bukti pemerintah lebih berpihak pada pemodal internasional,” ujarnya berapi-api.

Bukan hanya berorasi, dalam aksinya di depan kantor perusahaan Mosanto, Gerak Lawan menampilkan aksi teaterikal. Digambarkan, karena kepentingan perusahaan-perusaha an Amerika, masyarakat Papua harus tergusur dari tanah-airnya, serta fenomena kelaparan yang berujung pada kematian. Maka, selain nasionalisasi, Gerak Lawan juga mendesak pemerintah Indonesia agar membawa kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Amerika ke Mahkamah Internasional.

Selanjutnya, masih menurut Adi, besok (17/11) Gerak Lawan akan kembali turun jalan menentang kedatangan Bush dan menuntut nasionalisasi perusahaan Amerika. Rencananya, massa aksi akan mendatangi kantor perusahaan Halliburton Energy di Jakarta yang notabene merupakan milik Bush.
Peryataan Sikap

Kunjungan presiden Bush ke Indonesia, bukanlah kunjungan persahabatan, maka milyaran rupiah yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam rangka menyambut dan mengamankan Bush adalah terlalu mahal dibandingkan dengan penderitaan rakyat akibat kebijakan keblinger pemerintah Indonesia, semenjak Suharto, hingga SBY sekarang, yang menerapkan kebijakan negara yang menghamba pada kepentingan imperialisme Amerika.

Karena Amerika-lah, maka hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1949, Indonesia langsung terbebani hutang luar negeri, tetap dikuasainya sumber-sumber agraria (khususnya perkebunan dan pertambangan) oleh perusahaan asing dan lepasnya Irian Barat.

Karena Amerika-lah, militer semasa Orde Baru, dijadikan ”satpam penjaga modal” yang dengan gigih melindungi investasi namun dengan keji melanggar hak asasi manusia rakyat Indonesia. Dan karena Amerika jua, Freeport mendapat ijin konsensi pertama dari rezim militer Orde Baru, dan hingga sekarang Freeport menjadi biang kerok permasalahan di Tanah Papua.

Kini, demi menjaga tatanan ekonomi dunia yang neo-liberalis, serta kelangsungan dari internasionalisasi modal perusahaan-perusaha an transnasional Amerika seperti Freeport, Exxon Mobile, General Electric, Mosanto, dan lain-lain, dengan mempergunakan World Bank, IMF (International Monetary Fund) WTO (World Trade Organization) , dan AFTA (Asia Pasific Trade Agreement), Amerika berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan publik dan produk hukum yang pro internasionalisasi modal seperti progam privatisasi dan pencabutan subsidi, tetapi jutru menghilangkan hak rakyat atas sumber-sumber agraria, upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, mahalnya harga BBM serta pendidikan bagi rakyat, dan sebagainya yang membuktikan bahwa negara Indonesia adalah setengah jajahan.

Untuk itulah kami yang tergabung dalam Gerak Lawan AS memandang:
Demi kemerdekaan nasional, demokrasi, keadilan sosial dan pemenuhan hak asasi manusia, penyelenggara negara Indonesia harus menuruti aspirasi perjuangan dan penderitaan rakyat dengan mencabut seluruh kebijakan publik dan produk hukum yang merepresentasikan kepentingan neo imperialisme, seperti kontrak karya Freeport dan Exxon Mobile, Undang-Undang Sumberdaya Air, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Anti Teroris dan lain-lain.

Demi para korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan-perusaha an transnasional, penyelenggara negara Indonesia harus menuntut pertanggungjawaban perusahaan-perusaha an TNC dan menutup perusahaan tersebut untuk selanjutnya dikelola demi kesejahteraan rakyat.

Demi menghapuskan penjajahan di muka bumi serta menjaga ketertiban dunia (Indonesian way for global justice), pemerintah Indonesia harus membawa kasus kejahatan perang, kejahatan genocida, kejahatan terhadap kemanusian, dan kejahatan agresi yang dilakukan Amerika ke Mahkammah Internasional Permanen sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998, dan mendorong instrumen hak asasi manusia internasional (mekanisme di PBB) untuk mengatur perilaku TNC dan gugatan terhadap TNC, serta kesepakatan- kesepakatan di WTO

Jakarta, 16 November 2006
Kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neo Kolonialisme- Neo Imperialisme dan Amerika Serikat

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Serikat Buruh Jabotabek (SBJ)
Lingkar Studi – Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI)
KAM LAKSI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Laksi)
KM AI (Kesatuan Mahasiswa Anti Imperialisme)

Seruan Aksi Besok

Hari : Jumat, 17 November 2006
Pukul : 10.30 – selesai
Tempat : Kantor PT. Halliburton Energy (Jl. Letjend Simatupang Kav. 38 Jakarta)

Info lebih lanjut hubungi
Gunawan (Kadiv Kajian Kampanye PBHI/Humas Panitia Aksi Gerak Lawan)
Perkantoran Mitra Matraman A2/18
Jl. Matraman Raya 148
Jakarta Timur 13150
Tel. (021)859 18064
Fax. (021)859 18065
Email: pbhi@cbn.net. id
Web: http//www.pbhi. or.id