27.11.08



MASA DEPAN PEREKONOMIAN INDONESIA
(SKB 4 MENTERI DAN NASIB BURUH INDONESIA)
Oleh : Ferry Widodo


Badai krisis yang dialami Negara Amerika serikat sebenarnya menunjukan bahwa lemahnya sistem ekonomi kapitalisme (baca : Neoliberalisme) yang saat ini dianut oleh banyak Negara maju dan berkembang. Dengan semangat kesejahteraan sesuai dengan wacana ekonom konservatif para ekonom kaum liberal memaksa banyak Negara untuk memakai sistem ekonomi neoliberalisme sebagai sebuah sistem yang paling bagus dan sempurna dalam menciptakan kesejahteraan secara umum. Namun kebertahanan sistem ekonomi neoliberalisme kembali dipertanyakan pada saat badai krisis ekonomi AS sebagai Negara penganut setia paham neoliberalisme mengalami krisis yang menyebabkan imperium Wall Stret harus berjalan terseok-seok, sehingga akhirnya imbas badai krisis ini harus dialami banyak oleh Negara-negara maju dan berkembang sebagai konsekuensi dari mereka yang mengikuti paham sistem ekonomi neoliberalisme. Pertanyaanya kemudian apakah ini pertanda kegagalan sistem ekonomi neoliberalisme?. Sebelum kita lebih jauh memberi jawaban atas pertanyaan tersebut mari kita lihat dulu sejarah dan subtansi dari pemikiran sistem ekonomi neoliberalisme.

SEJARAH NEOLIBERALISME
Bagi banyak pemikir liberal, pada awalnya kapitalisme dianggap dapat menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan apa yg telah berhasil diraih. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas yang belum menemukan kebebasan dalam bentuk persaingan. Hal inilah yang kemudian mendorong terbentuknya paham dari kaum liberal yaitu kebebasan, yang berarti bahwa ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Apakah anda bernilai bagi orang lain, ataukah orang lain akan dengan senang hati memberi sesuatu kepada anda. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tersebut dengan memperkecil turut campurnya aturan pihak lain. "kita berhak menjalankan kehidupan sendiri"

Saat ini, ekonom seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kembali mengulangi argumentasi klasik Adam Smith dan JS Milton yang menyatakan bahwa: masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.

Pemahaman inilah yang kemudian dipakai oleh para ekonom kapitalis pada saat dekade tahun 1970an terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan terjadinya krisis minyak dunia akibat reaksi dari dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur yang kemudian disusul dengan embargo terhadap AS yang dilakukan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah dan sekutu-sekutunya serta melipatgandakan harga minyak dunia, ini kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Disituasi inilah kemudian ide-ide liberalisme kembali bangkit dan mendapatkan posisi yang cukup dominant bukan hanya di Negara-negara maju tetapi juga dilembaga-lembaga donor seperti IMF dan Worl Bank.

Hal ini dengan cepat disambut baik oleh pemimpin beberapa Negara seperti AS dan Inggris dengan langsung menerapkan sistem ekonomi neoliberalisme di Negara meraka masing-masing yang kemudian dikenal dengan “Reaganomics” untuk AS dan “Thatcherisme" untuk Negara Inggris. Walupun secara praktek dan pertemuan pikiran mereka dengan paham liberal berbeda-beda tetapi secara subtansi mereka mendorong bahwa intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Kemudian paham ekonomi neoliberal ini kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonom neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.

Imbas paham dari sistem ekonomi neoliberalisme adalah semakin berkembangnya logika pasar yang akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggaraan bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi disektor ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum.

Sepanjang periode tahun 1970-sekarang paham dan sistem neoliberlisme berjalan massif di seluruh belahan dunia. Bagi Negara-negara yang mempunyai fondasi ekonomi yang kuat penerapan sistem ekonomi neoliberalisme membuat kemajuan yang cukup fantastis. Di Inggris, penduduk yang memiliki tempat tinggal sendiri mengalami lonjakan dari sekitar separoh pada tahun 1980 meningkat menjadi dua pertiga pada akhir kepemimpinan Thatcher. Penjualan TV, CD, AC dan mobil mengalami lonjakan yang cukup drastis, setiap empat dari lima rumah memiliki video recorder, sekitar 43 persen rumah tangga Inggris memiliki komputer. Di selandia baru mengalami tingkat pertumbuhan rata-rata empat persen selama sejak tahun 1992 dan mampu mencapai angka pengangguran sebesar 6 persen. Australia menikmati satu tingkat lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Negara-negara maju. Cile mengalami pertumbuhan tujuh persen pertahun selama satu dekade 1988-1998. tidak terkecuali beberapa Negara asia seperti Singapura, Thailand, Cina dan India yang menikmati kue neoliberalisme.

Kemudian apa yang terjadi di Negara Indoesia pada saat sistem ekonomi neoliberalisme harus diterapkan di negeri ini mengingat bahwa fondansi sistem ekonomi kita masih belum cukup kuat. Bisa kita saksikan sendiri bahwa akhirnya perampokan aset-aset Negara terjadi, semenjak kran privatisasi dibuka dengan sekejab aset-aset penting Negara seperti BRI, BNI, PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, PT Perusahaan Gas Negara, PT Asuransi Kredit Indonesia, PT Kawasan Beriket Nusantara, PT Pulo Gadung Kumpus Negara, Telkomsel, Bank Mandiri, PT Danareksa, PT Angkasa Pura I dan II, PT Kimia Farma, PT Indosement, PT Jakarta Internasional, PT Semen Gersik, PT Wisma Nusantara, PT Intirub, PT ATmindo, PT Iglas, PT Kertas Padalarang, PT Kertas Basuki Rahmat dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan proses swastanisasi beberapa Rumah Sakit yang ada di Jakarta. Kebijakan pemerintah saat ini pun begitu gila dan semena-mena dengan memprivatisasi 37 BUMN tahun ini, dimana 34 BUMN merupakan BUMN yang baru masuk program privatisasi tahun 2008 ini dan 3 BUMN yang privatisasinya telah tertunda di tahun 2007.

Proses ini masih belum cukup, pemerintah dengan berani melakukan penarikan subsidi di beberapa sektor masyarakat serta proses liberalisasi perdagangan barang dan jasa juga semakin semakin massif dengan terbitnya UU dan Perpres yang memfasilitasi proses liberalisasi, hal ini kemudian semakin menggiring masyarakat masuk pada jurang kemiskinan yang akut. Seiring dengan proses penenarapan sistem ekonomi neoliberalisme dan turunannya, menyebabkan tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan masyarakatnya semakin hilang dan peran Negara hanya diwakili oleh institusi-institusi administratip yang berperan hanya tidak lebih sebagai event organizer bagi even-even pemerintah

PASAR YANG (Masihkah) BERKUASA…??
Sesuai dengan semangat Neoliberalisme yang mengampanyekan pasar bebas dengan bersandarkan pada model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab teori ekonomi neoklasik, pada model ini sejatinya berlaku persyaratan free entry dan free exit (bebas masuk dan keluar). Keuntungannya adalah bukan pemerintah yang dapat menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar saat defisit karena proses itu berlangsung begitu rupa sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal” (normal profit). Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti itu, sebagaimana pakem yang diyakini kalangan ekonom neoliberal. Tetapi untuk beberapa bulan terakhir mekanisme dan paham neoliberalisme kembali dipertanyakan. Pada saat kekisruhan di kerajaan Wall Street juga dapat dipandang sebagai bagian proses mekanisme pasar.

Awalnya, berbagai koorporasi diberi insentif untuk membesarkan diri dengan membebaskannya dari aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka difasilitasi regulasi yang sengaja dibiarkan longgar sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan berbagai produk keuangan yang ajaib dan berisiko tinggi. Hal inilah yang menyebabkan permainan di pasar keuangan AS semakin tidak terkontrol. Awal dari kredit macet perumahan yang kemudian berlaku efek domino yang menyebabkan ambruknya beberapa saham unggulan AS di pasar finsial dan berujung pada kebangkrutan perusahaan sekuritas seperti Lehman Brothers dan Mutual Washington, menunjukan bahwa saat ini paham pasar bebas (baca : neoliberalisme) menyebabkan para investor terjebak dalam insting dasar manusia yaitu kerakusan seperti yang pernah diungkapkan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang mereka minta) yaitu kerakusan para pemburu rente yang berbuah bencana.

Kemudian AS sebagai penganut paham neoliberalisme kembali dipertanyakan konsistensinya, pada saat pemerintah AS menerapkan kebijakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan paham neoliberalisme dengan memberi napas buatan (baill out) melalui dana talangan tanpa banyak persyaratan dan tak ada tenggat waktu pengembalian dan batas maksimum dana yang harus digelontorkan, serta pemerintah AS tidak juga mengatur apa yang harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi organisasinya dan kebijakannya guna memastikan dana talangan itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila dibandingkan dengan aneka syarat yang dianjurkan AS melalui IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada negara-negara berkembang, pada saat Negara tersebut mengahadapi krisis seperti yang pernah di alami Indonesia.

DAMPAK KRISIS AS Dan KELUARNYA SKB 4 MENTERI
Pelan-pelan krisis AS telah menjalar keseluruh dunia, beberapa pasar saham dunia telah terkena imbas krisis tersebut. Sebut saja Indonesia, sebagai Negara penganut rezim devisa bebas, pasar saham Indonesia terkena dampak yang cukup nyata, penurunan beberapa harga saham unggulan dan terus menurunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadikan banyak investor yang bermain di bursa saham menjadi kalang kabut dengan kembali menarik diri dari bursa saham Indonesia (BEI), hal ini terus diperparah dengan rontoknya nilai rupiah di pasar Valuta Asing yang menyebabkan kepercayaan para investor juga semakin melemah. Disatu sisi pemerintah Indonesia pun terlalu terburu-buru dengan mengeluarkan 10 paket kebijakan ekonomi yang sebenarnya hanya kebijakan normatif tanpa adanya orientasi pembangunan fundamen ekonomi yang nyata.

Seperti kebijakan Negara yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri menyangkut penetapan upah nominal perburuhan. Alih-alih agar tidak terjadi PHK massal terhadap pekerja, pemerintah mengeluarkan SKB 4 menteri dengan tidak mengacu pada masalah kesejahteraan dan keadaan nyata rakyat Indonesia. Kehidupan rakyat Indonesia saat ini begitu sangat memprihatinkan setelah kenaikan harga BBM pada bulan Mei lalu, angka kemiskinan di masyarakat ini mencapai 49,5 persen hampir separuh dari seluruh rakyat Indonesia (data yang dirilis oleh Bank Dunia) dengan pendapatan kurang dari $ 2 perhari. Angka ini berbeda dengan angka yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini. Pemerintah mengklaim bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar 2,21 juta jiwa dari angka semula 34,96 juta jiwa menjadi 37,17 juta jiwa, angka ini kemudian dianggap pemerintah sebagai sebuah keberhasilan yang nyata yang telah dilakukan pemerintah saat ini. Ini juga selaras dengan klaim pemerintah yang mengatakan bahwa pemerintah telah berhasil menurunkan angka pegangguran di Indonesia, mengacu pada angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen. Padahal saat ini saja, besaran angka pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 tercatat sebesar 17 persen, menjadi 26 persen pada tahun 2004, dan kini pada tahun 2008 meningkat menjadi 50,3 persen. Artinya bahwa angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini merupakan kebohongan publik dan semata-mata angka-angka politis demi menarik simpati masyarakat untuk pemilu 2009.

SKB 4 MENTERI DAN NASIB KAUM BURUH INDONESIA
SKB 4 Menteri yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang kemudian membuat banyak aksi penolakan dari para buruh di Indonesia merupakan kebijakan yang salah kaprah dan terburu-buru. Kebijakan yang memuat 5 pasal ini betul-betul menjadi kebijakan yang sangat merugikan nasib kaum buruh. Tercatat dalam pasal 2 bahwa penetapan upah buruh diupayahkan terlebih dahulu adanya komunikasi Bipartit antara unsur buruh yang diwakili oleh serikat buruh dan pengusaha di perusahaan. Tetapi yang kemudian mengkuatirkan adalah angka yang tercatat dari seluruh buruh yang ada di negeri ini, hanya 10 % kaum buruh yang terdaftar di serikat buruh. Pertemuan Bipartit juga sebenarnya hanyalah akal-akalan pemerintah dalam melepaskan tanggung jawabnya terhadap nasib buruh Indonesia, sebab dalam pertemuan Bipartit yang selama ini ada, posisi tawar kaum buruh sangatlah lemah dengan sedikit ancaman bahwa akan ada PHK apabila kaum buruh berselisih paham dengan pengusaha di pertemuan Bipartit, menyebabkan para buruh mengikuti keputusan hasil dari pertemuan Bipartit. Di pasal 3 kemudian juga disebutkan bahwa dalam penetapan upah buruh, Gubernur mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar enam persen, artinya angka kenaikan upah buruh yang akan ditetapkan oleh Gubenur hanya sebesar enam persen. Ambil contoh di D.I Yogyakarta angka upah minimum propinsi pada tahun 2008 hanya sebesar 586.000, apabila angka upah minimum pada tahun 2009 tidak boleh melampaui angka pertumbuhan nasional maka nilai UMP hanya sebesar 621.160. angka ini secara otomatis jauh dari angka KHL buruh di D.I Yogyakarta yang mencapai angka 850.000 ribu rupiah. Jadi dapat dibayangkan apabila angka UMP yang hanya sebesar 621.160 mampukah para buruh hidup ditengah himpitan semakin melonjaknya harga kebutuhan pokok, serta harga-harga kebutuhan buruh lainnya.

Maka dengan kata lain bahwa penerapan SKB 4 menteri ini merupakan tindakan pelepasan tanggung jawab Negara dalam melindungi nasib para buruh serta Negara lebih cenderung melindungi nasib para pengusaha yang selama ini memang tidak pernah mempunyai visi mensejahteraakan nasib para buruh. Sehingga menjadi wajar apabila terjadi banya aksi penolakan dari para buruh terhadap kebijakan SKB 4 menteri yang dipandang semakin memarjinalkan nasib buruh Indonesia, dengan demikian SKB 4 menteri merupakan akal-akalan pemerintah dalam menjerumuskan rakyat khususnya para buruh di Indonesia pada jurang kemiskinan.

MENUNTUT TANGGUNG JAWAB NEGARA (Pemerintah)
Kebijakan pemerintah dalam menaggulangi krisis hari ini masih dipandang sebagai kebijakan yang sangat normatif. Hal ini menunjukan bahwa peran Negara melalui dewan ekonominya tidak mempunyai sedikitpun orientasi pembangunan ekonomi yang bersandarkan dari ekonomi rakyat. Kebijakan Negara hanya akan memperparah dampak krisis ekonomi ini, beberapa hal yang menjadi catatan penting adalah sepanjang periodesasi tahun 1980an sampai dengan dengan sekarang kebijakan ekonomi bangsa ini sangat bercorak sistem ekonomi neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi didasarkan angka-angka statis investasi yang masuk ke Indonesia, perhitungan angka kemiskinan dan pengangguran yang dikeluarkan pemerintah pada periode sekarang pun, juga menjadi persoalan dan harus kembali dipertanyakan. Ini akibat peran pemikir ekonom liberal seperti Boediono, Srimulyani, Marielka Pangestu, Aburizal Bakrie dan lain-lain, sangat berperan penting dalam menentukan struktur kebijakan ekonomi Indonesia. Seperti yang di ungkapkan Rizal Mallarangeng dalam bukunya Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, bahwa peran komunitas epistemis liberal telah mampu mengehegemoni pemikiran masyarakat Indonesia melalui media cetak, seminar, diskusi, dan pertemuan publik lainnya. Selain itu, gagasan neoliberalisme juga berjalan dalam sebuah institusi besar yang bernama lembaga Negara, dalam perspektif itulah Mallarangeng melihat bahwa liberalisasi ekonomi terjadi.

Jadi jangan heran apabila Negara AS sebagai penganut dan penyebar paham neoliberalisme mengalami guncangan yang cukup hebat di sector ekonomi, Indonesia kemudian mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Dalam hal ini sebenarnya infrastrutur ekonomi Indonesia memang cukup lemah dan sekali lagi bahwa kebijakan ekonomi yang hadir pasca 1965, bukanlah kebijakan ekonomi yang berorientasi melakukan penguatan ekonomi rakyat yang bersumber pada sumber daya alam dan bentuk produksi masyarakat.

Melihat semakin tidak terkontrolnya situasi krisis global saat ini, semestinya pemerintah dengan berani melakukan langkah antisipasi yang seharusnya sejak dulu dilakukan pemerintah. Beberapa langkah antisipasi tersebut adalah :

1.Pemerintah berani melakukan pemutusan hubungan kepada semua lembaga-lembaga neoliberalisme serta berani melakukan negosiasi dalam penciptaan hubungan kerjasama dengan Negara-negara maju yang adil dan seimbang.

2.Pemerintah harus berani melakukan proteksionisme pasar dan memberikan insentif kepada sector industri rakyat, demi menjaga kelangsungan hidup industri dalam negeri. Langkah ini juga harus selaras dengan penciptaan pemintaan domestik yang mampu menyerap hasil produksi industri nasional.

3.Demi menanggulangi tindakan PHK massal akibat semakin tingginya biaya produksi dan hancurnya pasar luar negeri akibat krisis global ini, pemerintah harus sudah berani melakukan :

a.Memangkas ketidak efisiensinan birokrasi dalam praktek pungutan liar di setiap proses produksi industri nasional.
b.Membangun industri nasional dengan pemerintah berani melakukan nasionalisasi aset-aset Negara yang dikuasai asing serta melakukan reforma agraria sejati sebagai pembentukan fondasi ekonomi bangsa.
c.Menarik semua kebijakan dalam bentuk perpres dan UU yang selama ini hanya melindungi dan lebih memfasilitasi proses liberalisasi di Negara ini. Hal ini sejalan dengan pemerintah pun berani memprioritaskan Usaha Kecil Menengah dengan payung hukum yang jelas serta melibatkan mereka sebagai bagian dari pembangunan fondasi ekonomi bangsa.
d.Serta melakukan pengalihan sejumlah anggaran infrastruktur dan sektor publik untuk memperbaiki krisis disektor finansial dalam neger yangi akan berpotensi tidak terserapnya angka pengangguran angkatan kerja yang semakin tinggi. Serta melakukan pengelolaan anggaran yang seharusnya memberikan ruang yang lebih besar untuk perbaikan upah pekerja, pembukaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur, dan strategi industrialisasi.

PENUTUP
Pada akhirnya karena situasi ekonomi global yang dikuasai paham neo-liberalisme saat ini ternyata penuh dengan mitos-mitos palsu dan belajar dari krisis yang pernah melanda negeri ini, semoga fenomena krisis tersebut mampu dijadikan ruang kritis bagi kita semua atas kebijakan pemerintah dalam membangun system ekonomi yang tidak berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat. Sekali lagi tindakan nyata yang berorientasi pembangunan ekonomi rakyat haruslah menjadi prioritas utama. Dengan demikian akan tercipta fondasi ekonomi yang kuat yang itu bersandar atas corak produksi masyarakat.

Penulis adalah Sekjend Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Yogyakarta, juga sebagai bagain dari redaksi Koran Selembar “Respublika” Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Yogyakarta.