21.8.07

NADEMKRA SEBAGAI ANTITESA

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme? Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia. (Manipol FPPI Nasional Demokrasi Kerakyatan).

IDEOLOGI: ANTARA SEJARAH TEORI DAN TEORI SEJARAH

Berangkat dari sebuah pernyataan diatas, membuat kita akhirnya sebagai kaum pergerakan harus berani segera mengambil sikap tegas atas sejarah Indonesia. Sikap yang semata-mata tidak hanya diwujudkan dalam hujatan-hujatan terhadap para penguasa zolim ataupun tindakan heroisme dan keterburu-buruan semata yang terkadang selalu terjebak dan selalu berujung pada kalkulasi untung rugi sosial saja. Pendekatan atas sejarah teori atau pendekatan teori sejarah menjadi hal yang sangat fundamental untuk dipilih dalam merangkai sebuah bangunan Ideologi. Jikalau kita meyakini bahwa talenta yang dimiliki manusia-manusia di dunia ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman (baca:heterogenitas) yang luar biasa, mengapa di dunia ini selalu ada kehendak dari beberapa sekolompok manusia yang masih menginginkan keseragaman (baca: homogenitas)? Apakah maksud-maksud dari ideologi-ideologi besar dunia hadir untuk menglobalisasikan keberadaan dan hakekat manusia di dunia menjadi satu sistem dunia? Sesungguhnya kemana gerangan arah yang dituju gerak cepat kemajuan yang dibikin manusia dengan kecanggungan metafisis yang masih belum bisa selesai bahkan dengan proyek sejarah yang dimulai sejak zaman Pencerahan sekalipun? Atau benarkah komunisme pada akhirnya malah menggali liang kuburnya sendiri karena maksud-maksud dari ideologi itu sendiri tidak sempat diimplementasikan oleh para penganjurnya dan penciptanya sendiri?

Menjadi manusia kaya atau miskin dalam pengertian sikap ideologi menjadi hal yang krusial bagi kaum pergerakan dalam menyusun pentahapan teori revolusinya sendiri. Sikap yang pernah diyakini oleh republik ini ketika memandang kelahiran Nasionalisme bangsa ini sebagai antitesa dari Kapitalisme-Sosialisme adalah merupakan suatu lompatan sejarah dalam republik ini untuk mendudukan kembali bangunan sejarah kembali ke rel yang seharusnya. Tapi ini bukanlah berarti bahwa Nasionalisme republik ini bisa mengungkung gerbong sejarah yang sedang terus berjalan. Disinilah kemudian menjadi hal yang sangat penting, bagaimana kita harus memahami dan memperlakukan ideologi.

Jika abad ke-19 dikenal sebagai "abad ideologi" (the age of ideology), ternyata abad ke-20 dipandang sebagai "akhir ideologi"(the end of ideology) lewat sosiolog Daniel Bell, atau oleh pemikir-pemikir liberal Francis Fukuyama malah disebut sebagai periode dari "akhir sejarah" (the end of history), bahwa Kapitalisme telah menjadi dari ujungnya sejarah peradaban umat manusia di dunia. Maka dengan apa kita ingin membuktikan bahwa ideologi belumlah terkubur dan dengan apa pula kita ingin mengatakan bahwa ideologi hadir bukan untuk kepalsuan dan dogmatisme suatu ajaran?

Sekiranya Nasional Demokrasi Kerakyatan (Nademkra) yang telah diusung oleh Front Perjuangan Pemuda Indonesia dalam menghiasi pergerakan di Indonesia selalma ini berusaha ambil andil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi yang harus disedari dari awal, bahwa ideologi bukanlah ilmu nujum yang disusun untuk impian dan ramal meramal perubahan. Kemampuan rasional manusia melihat masa depan harus dibuktikan dengan membangun relasi substansiil dengan proses yang berlangsung pada saat ini; bukan dengan mengumpul-ngumpulkan busa angan-angan menjadi gambaran yang seakan masuk akal. Pintu akal kita, yang dengannya pikiran kita bakal terbuka dan dapat merencanakan (ingat; merencanakan, bukan meramal) masa depan, adalah tindakan dialektika yang sungguh-sungguh kita wujudkan melalui ukuran dan hitungan kenyataan.(Manipol NDK)

Ini berarti tugas pergerakan di republik ini bukanlah menyusun dan merangkai teks-teks revolusioner di berbagai belahan dunia sebagai bahan untuk membuat karangan ideologi bagi Indonesia, namun tugas pergerakan hari ini adalah bagaimana kita bisa menuliskan ideologi kita sendiri dengan memasuki relung dalam ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat republik ini sebagai jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan. Pada akhirnya itu semua akan bermakna bahwa ideologi bangsa ini adalah milik seluruh rakyat Indonesia itu sendiri.
Tetapi sebelum kita membahas mengenai formulasi atas nademkra itu sendiri, mungkin kita harus bisa menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan terdahulu di awal tulisan ini.

DARI UTOPIA KE IDEOLOGI

Ideologi pada hakekatnya tidak pernah bisa terlepas dari sebuah teori. Sebab seperti yang dikatakan di atas tadi, ideologi adalah proses untuk merencanakan masa depan. Namun pemaknaan atas teori itu sendiri, dalam perjalanannya telah banyak mengalami perubahan-perubahan.
Pada pemikiran Yunani Purba sesungguhnya telah terbentuk suatu pertautan antara teori dengan praxis (yang kemudian disebut dengan bios theoretikos), yang mengacu menuju pada cita-cita etis, kebaikan, kebijaksanaan atau kehidupan sejati baik secara individual maupun secara kolektif di dalam polis (negara kota). Pada awalnya teori diadopsi dari kata theorea yang berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani kuno. `Theoros` adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus-ritus keagamaan. Di dalam perayaan-perayaan itu, orang ini melakukan theorea atau `memandang` ke arah peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia akan mengalami emansipansi dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani, pengalaman itu disebut katharsis: yakni pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, sesungguhnya teori memiliki kekuatan emansipatoris. Pada babak zaman ini, kita melihat bahwa teori lahir dari praxis kehidupan manusia saat itu.
Namun seiring munculnya pemikiran filsafat dalam masyarakat Yunani, akhirnya mulai memisahkan teori dari praxis. Sebab filsafat telah menarik garis batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang menyebabkan lahirnya ontologi dalam sejarah pemikiran manusia. Melalui teori, filsuf mulai menyusun konsep-konsep tentang ke-apa-an (hakekat) benda-benda dan apa yang disebut hakekat itu tak lain adalah inti kenyataan yang tak berubah-ubah. Kelahiran ontologi pada akhirnya telah mengikis habis bios theoretikos karena teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya dalam kehidupan praxis manusia (atau disebut juga kontemplasi kosmos), melainkan justru dengan menarik teori dari kehidupan praktis manusia untuk menuju pemurnian ilmu pengetahuan untuk menju suatu keadaan kontemplasi bebas-kepentingan (baca:sikap teoritis murni).
Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Sehingga pada selanjutnya positivisme akan mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika karena ontologi dapat menelaah apa yang melampaui fakta indrawi. Positivisme adalah kesadaran positivistis tentang kenyataan, khususnya sebagaimana yang diamati oleh ilmu-ilmu alam, yaitu klaim-klaim tentang fakta obyektif. Maka diluar ucapan-ucapan positif akan dinilai sebagai isapan jempol belaka, misalnya klaim-klaim moral, ucapan-ucapan estetis dan ontologi menjadi nonsense karena tidak dapat diverifikasikan secara kongkrit. Positivisme inilah yang kemudian menjadi suatu kesadaran manusia Barat.
Menurut Sastrapratedja, seperti halnya utopia, ideologi merupakan suatu bentuk imajinasi sosial. Fungsi ideologi adalah memolakan, mengonsolidasi, menciptakan tertib dalam arus tindakan manusia. Namun di satu sisi, ideologi dapat juga diartikan mempunyai fungsi untuk memperkuat rasionalitas kekuasaan sehingga dapat memiliki legitimasi. Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika perspektif ideologi konservatif yang hanya menjadikan legitimasi kekuasaan sebagai fungsi utama ideologinya sudah bercampur baur dengan pemikiran dan teori-teori ala pemikiran positivisme. Tentu saja, konsekuensi dari semua ini adalah timbulnya teori-teori murni (bebas-nilai), karena para perumus dan penganjurnya bekerja dalam tingkat abstraksi yang jauh dari kenyataan. Semakin abstrak legitimasi yang dibangun dengan kehidupan praxis masyarakatnya, pada akhirnya akan membawa ideologi tidak lagi menjadi sebagai prinsip tindakan manusia namun telah berkembang menjadi “kesadaran palsu”, karena ideologi telah memberikan legitimasi terhadap sistem yang sebetulnya berlawanan dengan nilai-nilai yang menjadi cita-cita masyarakat semula. Kontradiksi inilah yang kemudian menstimulus lahirnya ideologi komunis sebagai antitesa dari kapitalisme yang telah menjadi ideologi dari mereka yang menikmati keuntungan terbesar dari sistem yang ada, yakni penghisapan surplus value negara proletariat ke negara pusat kapitalisme.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis ala Mazhab Frankurt telah lahir sebagai kritik ideologi dalam mengemban tugas untuk membongkar `kesadaran palsu` ideologis dari postivisme. Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan ideologiekritik (Kritik-Ideologi), yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia dari dinding tebal yang memisahkan pengetahuan dengan kehidupan praxis manusia, yakni dengan menemukan kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia itu sendiri. Di sini kita bisa melihat perbedaan yang cukup mendasar dari aliran Marxisme orthodok dengan Teori Kritis ala Frankurt yang juga berhaluan Marxisme, yang tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma (baca:dogma) melainkan memperlakukannya sebagai alat analisis. Sekiranya pemikiran Marxisme kritis gelombang pertama telah membuat ideologi marxisme itu sendiri menjadi rahim atas kesadaran-kesadaran palsu di masyarakatnya. Kita bisa melihat, kehadiran Stalinisme dan Fasisme akhirnya malah menandai suatu peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang ditangani langsung oleh para penindas. Dengan kata lain, fasisme dan maupun Stalinisme yang bermaksud mewujudkan masyarakat sosialisme itu tak lain dari perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme yang disebut dengan kapitalisme negara. Dan untuk kesekian kalinya, seakan-akan kapitalisme telah menunjukan keluwesan ideologinya dalam mempertahankan legitimasinya sebagai the end of history dunia ini. Benarkah itu ???

NADEMKRA, NADEMKRA, NADEMKRA…

Pelajaran yang bisa kita petik sebagai kaum pergerakan ketika memandang perjalanan sejarah ideologi-ideologi besar dunia, bahwa sejarah itu nyata adanya dan “teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia”.(Manipol NDK)
Untuk itu, kita harus segera membalikan urutannya, bukan sosialisme dan kapitalisme yang telah menjadi batas pilihan-pilihan gerak sejarah tetapi sejarah lah yang memberi batas untuk kapitalisme dan sosialisme. Dengan begini, kita bisa melihat bahwa (ternyata) dunia sedemikian luas dan manusia sudah begitu kaya. Dan Nasional Demokrasi Kerakyatan (NDK) sebagai antitesa dari ideologi-ideologi besar dunia juga memiliki kesempatan sejarah hari ini sebagai bahan refleksi dan basis teori sikap tindakan rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan 100% atas pertukaran yang timpang dari Kapitalisme Global serta sisa-sisa bangunan feodalisme yang telah bercokol lama di negeri ini. Menjadi jelas, bahwa sikap sejarah kaum pergerakan hari ini seharusnya setia dan tetap percaya untuk menggunakan pendekatan sejarah teori. Sebab masa depan negeri ini bukanlah dicukupkan ketika aktifis-aktifis kiri-kanan atau tengah itu sekalipun telah merasa cukup ketika sudah mempelajari dan menghapalkan teks-teks revolusioner yang itu sesungguhnya berasal dari pengalaman orang lain dan bukannya pengalaman kita sendiri. Kaum pergerakan haruslah mampu untuk menjadi konteks (bukannya teks) dan selalu berdialetika antara teori yang sedang dibangun dengan gerak laju realitas masyarakatnya sendiri. Kalo Lenin pernah mengatakan : “Tidak ada Gerakan Revolusioner Tanpa Teori Revolusioner”, maka hari ini harus kita ralat menjadi “ Tidak Ada Gerakan dan Teori Revolusioner tanpa Kesadaran Revolusioner”. Dan kesadaran revolusioner ini harus lahir atas tarikan praksis dari obyektivitas sejarah, local atau indigenous knowledge, yakni pengalaman-pemahaman otentik ketika berhadapan dengan penindasan dalam memperjuangkan pembebasannya”
Mengembangkan teori praksis tentang nasional demokrasi kerakyatan dalam semangat building new path of proletariat movemen, juga harus kita pandang sebagai Indonesian way to build internasional justice/global fairness Ini artinya, bahwa kita berkewajiban untuk terus mencerdasi konflik yang terjadi dari sekian peristiwa sosial ekonomi politik juga kebudayaan yang terjadi sebagai efek dari praktek liberalisasi. Di sisi lain, bangunan masyarakat produksionis maju harus dapat mengukuhkan Nasional Demokrasi Kerakyatan yang juga mampu memposisikan diri sebagai mode of production, bagian dari masyarakat internasional dengan siasat atas segala dampak maupun kecenderungannya. Kita sebagai anak negeri ini haruslah percaya dan yakin 100% bahwa Indonesia masih bisa menjadi intelektual organik bagi negara-negara dunia ketiga, sebab posisi republik ini untuk mewujudkan Keadilan Global sangat signifikan. Ketika banyak daerah di Eropa sadar bahwa krisis ke depan adalah krisis air bersih, tiba-tiba di Indonesia lahir UU Sumber daya Air. Ketika Amerika Latin mulai bergerak ke arah kiri dengan menasionalisasi aset perusahaan minyak Amerika Serikat, tiba-tiba Condeleza Rice datang ke Indonesia untuk merebut Blok Cepu dari pangkuan ibu pertiwi, belum lagi Freeport sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia telah ratusan tahun menjadi penyuplai upeti terbesar ke AS dan sekutunya. Belum lagi, praktek-praktek liberalisasi segala bidang yang pada akhirnya mengakibatkan jasa pelayanan publik dan sosial di negeri ini melambung tinggi juga menjadi catatan panjang bahwa sesungguhnya bangsa kita adalah bangsa besar yang pada suatu saat rakyat akan segera merapatkan barisan untuk merebut kedaulatan kuasa rakyat atas tanah, air dan udaranya sendiri.

REVOLUSI BERARTI MEMULAI

Tidak ada gladi resik dalam revolusi. Itulah satu-satunya alasan kenapa kita butuh kewaspadaan, bukan kecurigaan yang hanya akan melahirkan rencana-rencana gerakan tidak lebih sebagai bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan. Demokrasi tidak bisa dipahami sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan harus dipahami untuk memenuhi kepentingan rakyat yang terjalin lewat logika ekonomistis sebagai turunan dari moda produksi yang dimungkinkan dalam sebuah formasi sosial. Membangun demokrasi kerakyatan melalui jalan pergerakan ekstraparlementer haruslah kita dudukan sebagai fase pentahapan masyarakat kita hari ini yang masih terkontaminasi atas sentimen pengelompokan sosial yang berakar dari politik aliran (baca:Oligarki Politik) yang berkembang di tingkatan elit politik. Mengambil pilihan politik untuk tidak masuk dalam wacana parlementarian dan elitisme adalah pilihan rasional dari situasi anomali dan amnesia kolektif yang sedang berjangkit dan berkembang di masyarakat.
Situasi masyarakat yang tidak rasional dan tidak demokratis ini terjadi dikarenakan terhambatnya / tidak berkembangnya artikulasi cara-cara produksi (mode of production) di Indonesia secara wajar. Hal ini disebabkan karena peralihan kapitalisme di dunia ke III, secara umum dan Indonesia khususnya, tidaklah menciptakan kapital yang kuat justru menjadikan bangsa ini tergantung baik pada level ekonomi (produksionist) maupun politik (dependencia). Atas dasar pijakan analisis di atas mengakibatkan tidak terbentuknya/munculnya kelas sosial (berbasis produksi) yang kuat sampai hari ini.
Mengutip pidato tahunan Hugo Chaves di Gedung Parlemen Venezuela, “...bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan”. Inilah yang membedakan Nademkra FPPI dengan Nademkra (Nasionalisme Demokrasi Kerakyatan) ala Papernas. Nasionalisme republik ini tidak bisa semata-mata dibangun dengan menjadikan politik sebagai panglima dan pengertian Nasionalisme ala Soekarno yang hanya terjebak dalam pengertian ikatan teritorial wilayah kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke saja. Na dalam pengertian Nasional Demokrasi Kerakyatan adalah suatu ide dalam rangka perang posisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik berbasiskan emansipasi massa. Sehingga menjadi penting apa yang telah dikemukakan Marx bahwa pengertian nasional harus dimaknai sebagai sebuah modal dagang di mana dependencia harus dipahami dalam pengertian politik: negara dalam pengertian nation bukanlah terjebak dalam bentuk konsolidasi primitif semata sehingga kemerdekaan 100% yang kita yakini harus dapat diidentifikasikan dalam pengertian produksi, dimana negara dan rakyat akan menggunakan menjadikan air, udara tanah beserta isinya sebagai alat produksi dan menciptakan cara produksi yang mampu menciptakan pemerintahan demokratik dalam pengertian anti imperialisme dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Tapi bagaimanapun, pada akhirnya ini bukan merupakan justifikasi atas gagasan sesuatu kelompok atas kedaulatan negeri ini. Seperti yang telah diutarakan diatas, bahwa tugas kaum pergerakan bukanlah mengarang ideologi melainkan menuliskan ideologi sesuai dengan gerak laju realitas masyarakatnya. Entah itu FPPI, FSPI, PRD, HMI, PMII, FMN ataupun yang sampai hari ini masih mengatasnamakan sebagai gerakan pro demokrasi, tidak bisa merajut emansipansi bagi negeri ini dengan hanya menjadi teks bagi perubahan bangsa ini dan juga kita tidak perlu meragukan apakah Indonesia akan terjebak di antara diskursif atas kematian sosialisme dan kemustahilan menghindari kejayaan kapitalisme; cara pandang kita musti menyertakan pertimbangan bahwa bagi dan dalam konteks masyarakat Indonesia, baik kapitalisme maupun sosialisme sekalipun —–sebagaimana sudah dikemukakan di muka—–dan menyejarah bersama emansipasi rakyat yang telah tertanam dalam jiwa para petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, PKL dan semesta rakyat Indonesia semenjak zaman pergolakan di era kolonialisme muncul. Sebab pertautan antara teori dan praxis harus menjadi pondasi utama dalam merumuskan ideologi dan dalam ideologi kita tidak bisa menformalkan suatu aliran pengetahuan tertentu dan dalam rangka itu semua siapapun berhak untuk melakukannya dan pada akhirnya sejarah lah yang akan menjadi hakim atas rumusan-rumusan perubahan itu sendiri.
-----------------------
Wassalam... (BG)
By: Dept. Pendidikan dan Propaganda FPPI



Cerpen: Perayaan Kematian

George pada mulanya. Hanyalah seorang anak kecil yang iri pada seorang lelaki yang sangat dipuja—dipuji, oleh banyak orang. Pada permainannya, anak-anak lain akan berkata “ia pantas menang karena ia adalah George.” Dan cibiran yang menyebalkan akan terdengar, “sungguh memalukan seorang George kalah.” Hidupnya selalu dibayangi akan kebesaran nama lelaki yang perlahan sangat dibencinya. Lelaki yang meniduri ibunya, sehingga menyebabkan George kecil lahir ke dunia.

Pada hari Minggu, George selalu mendatangi gereja. Ia datang paling pagi, membantu para pastur untuk menyiapkan upacara. Menggantung kantung-kantung di ujung bangku. Mengisi air di cawan perak, dan memasang rangkaian bunga di atas altar. Ia melakukan itu untuk menghindari ajakan ayahnya berangkat ke Gereja bersama. Seusai Misa, ia akan segera memacu cepat sepedanya, pulang ke rumah. Ia tidak ingin siapapun mengajaknya berbicara—yang akan memujinya, betapa beruntungnya ia dilahirkan ke dunia sebagai George Junior. Ia membencinya.

George tidak pernah ingin ayahnya hadir pada tiap perayaan di sekolah, karena hanya akan membuatnya malu. Membuatnya tampak bukan sebagai apa-apa, selain sebagai George kecil. Dan ia sangat membenci itu. Ia sangat ingin berteriak “ Hei, ada apa dengan kalian? Aku adalah George, bukan bayang-bayang George.” Tapi George tidak pernah bisa meneriakkan itu, dan ia sangat tahu, ia tak pernah bisa meneriakkan itu, hanya teriakkan dalam hati atau goresan tebal pada kertas kusam yang langsung dihancurkannya.

Hingga pada suatu pagi, George terbangun dari tidur. Ia memutuskan untuk berdamai dengan perang yang dialaminya. “ Ini adalah gencatan senjata, kita harus mengatur strategi yang lebih hebat,” pikirnya. Di meja sarapan, ia bertanya pada ayahnya. “ Dad, maukah kau mengantarkanku ke sekolah?” Pagi itu, ia melupakan sepedanya, dan membiarkannya usang dalam garasi.

George memilih diam dan mendengarkan pembicaraan ayahnya. Ia berharap mobil lebih cepat tiba di sekolah. “ Ketika aku kecil, aku tidak pernah diantarkan ayahku pergi ke sekolah. Perang memaksanya untuk berada jauh dengan kami, dan ia tak pernah kembali. Aku sangat membenci perang.” Kakek George adalah seorang pilot pesawat tempur, ia meninggal di Afrika. George kecil tidak pernah melihat kakeknya. Pagi itu, George tahu apa yang harus dilakukannya. George memulai dengan memperpanjang jam belajarnya, dalam satu semester, ia diakui sebagai anak paling cerdas di sekolah. Selain itu, ia mengikuti klub olahraga rugby, di sana, ia menjadi kapten, ditakuti oleh semua lawan.

George mendaftarkan dirinya pada program akselerasi. Di usia enambelas tahun, ia tercatat sebagai mahasiswa di universitas. Ia menikmati kehidupan kampusnya. Pesta di Sabtu malam dan seks yang menyenangkan. Berada jauh dari ayahnya.

“ Ini tiket kepulanganmu,” seorang Profesor tua memberikan amplop berisi tiket penerbangan. Ia tahu untuk apa. Rumahnya kini dipenuhi oleh orang-orang yang selalu menghiasi layar televisi. Selebritis, politisi dan pengusaha-pengusaha kaya, yang hanya tahu soal keuntungan dan kesenangan. Ibunya, bergaun hitam. Duduk sendu di samping peti mati. Ia datang, memberikan bahunya untuk sandaran tangisan. Ia tidak menangis.

George berada di barisan paling depan, iring-iringan yang mengantarkan jenasah ke Gereja. Di sana, ia sampaikan pada pelayat, kematian ayahnya adalah sebuah misteri kehidupan. Tidak pernah ada yang menginginkan, tiga tembakan peluru bersarang di dada, untuk mengantarkan nyawa pada kematian. Dan tidak akan pernah ada, keabadian selamanya. George membayar duaribu dollar untuk tiga peluru. Letusan salvo menandakan, dia adalah pemenang. Atas perang yang berlangsung seumur hidupnya. Ia bisa menjadi George, tanpa bayang-bayang George.

George memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Ia mendaftarkan diri di Angkatan Darat.. Ia sangat menyukai perang. Letusan peluru adalah nafasnya, tatapan kengerian adalah senyumnya, yang menemani nyawa-nyawa meregang. Lemparan granat, adalah sebuah kesenangan lain, yang hanya ia sendiri dapat merasakannya. Perang adalah hidupnya. George adalah pahlawan. Meski kini ia tidak lagi di medan pertempuran, ia tetap mencintai perang. Dan ia sangat berterimakasih pada ayahnya, yang sangat membenci perang. Pada kakeknya, yang tak pernah ia lihat wujudnya, yang mati dalam perang.

George adalah pahlawan. Meski ratusan orang membencinya, tidak berbanding dengan jutaan para pengikutnya. Ia adalah pahlawan. Perang adalah kehidupannya. Untuk hidup, ia selalu menciptakan perang. Perang yang menyenangkan kolega-koleganya. Yang tak segan-segan memberikan lembaran-lembaran dollar, pada tiap perang, dan keberhasilan perang yang dibuatnya. Perang yang memacu para ilmuwan untuk menunjukkan kehebatannya. Pada tiap perang dan keberhasilan perang. Perang yang menggairahkan prajuritnya, orang-orang buangan untuk menunjukkan nasionalismenya. Perang yang selalu membuat ia tertawa. Perang adalah pekerjaan. Ia selalu berpesan, “pergilah berperang, dan kau akan menjadi pahlawan, dalam perayaan kematianmu.”

Hingga pada suatu malam. Ibunya, mengenakan gaun terusan hitam. Wajahnya tampak berkilauan. Dalam temaram dan hidangan makan. “ Ibu menyaksikan, ribuan orang membentangkan spanduk, mereka berjalan dan berteriak. Lelaki dan perempuan.”
“Dan?”, jawab Goerge. “ Aku menyaksikan, anak-anak bertubuh kurus, mereka kelaparan. Aku menyaksikan, perempuan-perempuan histeris menangisi anak lelakinya. Mereka membencimu George.”
“ Ibu bermimpi?”
“Tidak, aku menyaksikan perang melalui televisi. Bertahun-tahun sejak kematian ayahmu.” “ Ayolah Bu, kau adalah perempuan berpendidikan. Kau tahu, televisi adalah sebuah kebohongan. Televisi hanya meracuni otakmu, tanpa sesuatu yang bermanfaat.” Goerge menyantap hidangan, “ masakanmu selalu yang terlezat.”

Ibunya kembali meneruskan pembicaraan. Tentang perang, tentang kelaparan, tentang kematian, membuat George bosan. Hingga setelah diamnya, ia melanjutkan.
“ Masakanku memang selalu lezat. Ayahmu, tidak pernah ingin memakan masakan orang lain. Jika ia pulang, ia akan segera membuka open dan bertanya girang, “Lihat, apa yang kudapatkan.” Ia lelaki yang menyenangkan.”

George menghentikan makannya, ia usap lembut pipi ibunya, basah airmata. “Kau percaya George, pada karma? Pada kehidupan setelah kematian?” George kembali pada kursi, mendudukinya. Ia sangat mencintai ibunya. Pada masa kecilnya, ibunyalah yang mendatanginya, saat tangan George kecil berlumuran darah. Ia membunuh Rainbow, anjing kesayangan ayahnya. Ia berkilah, Rainbow menggigit celana barunya, ia hanya mempertahankan diri. Saat menggali tanah, ia berpesan jangan sampai ayah tahu, ayahnya sangat tidak menyukai pembunuhan, bagaimanapun caranya.

Pada akhirnya, George hanyalah seonggok tubuh tanpa nyawa. Sendiri dalam kematian. Tenggorokannya tercekat. “ Ibu meracuniku!!!” Suaranya lirih, nafasnya tak beraturan.
“ Tidak George, ibu hanya melakukan, apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu.”
George terdiam. Ibunya menelpon beberapa orang, “ Maukah kau datang malam ini ke rumahku? Untuk sebuah perayaan kematian?”


Pisangan, 5 November 2006.
Dimuat dalam antologi cerpen “Perayaan Kematian” 2007



Perjuangan Guru Melawan Ketidakadilan

SEKARANG ini, melawan barangkali sebuah keniscayaan bagi para guru. Sebab, peminggiran peran guru sangat mencolok. Kasus ujian nasional (UN) yang dilaksanakan pemerintah contoh peminggiran atas kerja keras guru selama bertahun-tahun.

Guru yang mendidik berbagai macam pengetahuan, direduksi pemerintah melalui UN dengan mendasarkan aspek kognitif. Aspek psikomotorik dan afektif siswa tidak tersentuh.

Jika mengacu buku Guru, Mendidik itu Melawan , muncul pertanyaan, apakah ada sosok guru yang bisa dijadikan contoh sebagai guru yang melawan? Nurlela, guru SMA 56 Jakarta melawan kuasa modal yang akan meminggirkan sekolahnya untuk diubah menjadi mal. Sedangkan Retno Retno Listyarti melawan kekuasaan politik Akbar Tanjung karena namanya dicantumkan dalam buku pelajaran sebagai studi kasus hukum bagi para siswa. Mereka berdua adalah contoh guru yang teguh dengan pendirian guna melawan ketidakadilan. Sayangnya, mencari atau menemukan sosok guru seperti Retno dan Nurlela ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Menurut penulis buku ini, Eko Prasetyo, sebagian besar para guru tidak ubahnya sebagai pekerja administratif Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Bahkan, guru-guru di sekolah sudah puas ketika menyelesaikan silabus dan menyampaikan materi kepada siswa.

Akibatnya, seperti yang dikatakan Ivan Illich dalam buku Sekolah Kapitalisme yang Licik, para guru mengalami de skilling. Guru sekedar sekrup dari kekuasaan Depdiknas. Hingga terparah, guru tak mampu lagi membaca realitas penindasan, baik yang dialaminya sendiri maupun yang terjadi di sekelilingnya.

Memang, menjadikan guru mau dan mampu melawan ketidakadilan sejatinya akan berhadapan dengan tembok tebal kekuasaan, seperti yang dialami Retno dan Nurlela. Perlu waktu dan kesabaran ekstra. Sebab, sistem pendidikan dibuat sekadar untuk menyesuaikan dengan realitas yang ada. Misalkan, ketika industri membutuhkan siswa-siswa yang melek teknologi dan pandai beradaptasi, keluarlah kurikulum berbasis kompetensi. Sayangnya, semua itu hanya vocassional skill, dalam bahasa Utomo Danan Jaya, siswa sekadar bisa bubut, las, dan merangkai perkakas.

Penulis memaparkan tugas guru pun kini menjadi sederhana, sekadar melatih murid mengerjakan soal-soal ujian demi mengejar kelulusan yang didasarkan standar ujian nasional. Sehingga guru telah berubah menjadi sebuah profesi administratif, bukan lagi menjadi aktivis gerakan sebagaimana diyakini dan diharapkan penulis. Dalam situasi itu, telah terjadi perubahan makna, antara mendidik dan memberi informasi tidak bisa dibedakan. Betul-betul menyakitkan penindasan yang dialami guru. Sayangnya, penguasa/pemerintah tidak melihat pendidikan sebagai proses, tetapi semata-mata mengarahkan untuk mengejar gelar.

Menurut Eko Prasetyo, akibat pendidikan yang mengabdikan diri kepada pasar, sejak itu pula urusan pendidikan diibaratkan atau memang telah sama dengan sekadar urusan ekspor-impor barang. Artinya, pendidikan diperlakukan sama halnya dengan sektor ekonomi. Akibatnya sekolah sekadar penyalur sumber daya manusia yang diinginkan pasar. Akhirnya, fungsi sekolah untuk membangun karakter dan watak siswa bergeser 180 derajat menjadi mengajarkan keterampilan teknis sesuai dengan ukuran yang sudah ditetapkan dan diminta pasar semata. Ibaratnya, kini sekolah layaknya mesin pencetak generasi siap pakai. Sekolah tidak lagi mengajarkan bagaimana siswa mampu membaca ketidakadilan, penindasan, dan pengisapan yang tiap hari terjadi dalam tubuh bangsanya.

Persoalan atau isu pendidikan sebenarnya adalah persoalan atau perdebatan tentang perumusan tujuan dan fungsi pendidikan atau sekolah dalam kaitannya dengan masyarakat. Tak terkecuali para guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Menurut penulis, di tengah realitas penindasan yang dialami para guru, serta diamnya organisasi guru, sudah saatnya guru berubah dari petugas administratif pendidikan menjadi aktor pergerakan demi kebangkitan pendidikan. Eko memberi contoh Tan Malaka sebagai acuan guru yang melawan. Tan Malaka dalam berbagai penyamarannya kerap mendidik masyarakat. Tan Malaka selalu melatih para muridnya agar semakin matang dalam berpikir dan dewasa dalam bersikap dan bertindak.

Jika melihat judul yang digunakan, secara tegas Eko menggunakan kerangka disiplin pendidikan bertipe radikal. Bukan tipe konservatif yang cenderung mengarahkan guru untuk sekadar menyesuaikan diri. Dengan prinsip pendidikan radikal ala Paulo Freire, Eko mengharap para guru tidak sekadar menjadikan anak didiknya sebagai sekrup sosial semata. Bahkan, dalam buku ini, Eko juga mengharap para guru mendidik muridnya untuk menjadi para pembaru dan pembebas masyarakat.

Dengan melawan, Eko hendak mengubah pemahaman bahwa mengajar tidak sekadar memindahkan pengetahuan. Mengajar adalah tugas politik.

Artinya dalam mengajar secara inheren tersurat tugas untuk menyadarkan para siswa bersikap kritis. Namun, sambil tetap menghidupkan motivasi kepada siswa sendiri agar mau menjadi pemimpin, di segala bidang, dan tetap mampu bersikap jujur.

Gunanya melawan Keharusan guru melawan ketidakadilan, selain demi kemajuan dirinya sendiri, juga untuk kebaikan sistem pendidikan. Dengan kesadaran untuk melawan, segala hal yang sekiranya akan merugikan pendidikan bisa dihindari.

Cara bagaimana guru melawan sistem pendidikan dicontohkan Retno Listyarti. Ia menggunakan guntingan koran hingga memutar film dokumenter dengan tema-tema panas sebagai bahan mengajar.

Kesadaran melawan juga sejatinya tecermin pada sikap dan perilaku guru yang demokratis. Melalui pendidikan progresif, sebagaimana tecermin dalam buku ini, secara perlahan para guru juga harus mengubah sistem di dalam kelas. Tidak lagi ada dominasi guru, kekakuan, dan macetnya suatu dialog, tetapi digantikan percakapan kritis menuju kedewasaan siswa meraih jati dirinya. Ruangan kelas menjadi ruang pergulatan imajinasi, perdebatan gagasan, keterampilan berkarya, dan kepedulian dengan masyarakatnya.

Dengan situasi tersebut, kelak para guru dan siswa akan semakin menyadari diri mereka di tengah realitas masyarakat masing-masing. Akhirnya, sekolah yang dulunya dianggap angker menjadi lebih hidup karena seluruh siswa dan komunitas sekolah bisa bertemu dan berdialog satu dengan lainnya. Hingga perlawanan bisa semakin kuat.

Eko juga menggarisbawahi bahwa dalam hal proses perlawanan atau proses pembebasan harus selalu didampingi sikap optimisme. Sebab, sikap optimistis itulah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan.

Menurut Eko, tugas guru bukan sekadar membuat seorang peserta didik menjadi cerdas, melainkan juga melatih kesediaan murid agar rela berkorban dan memiliki kemauan kuat untuk bertindak untuk sesamanya yang miskin dan tertindas. Agar guru semakin sadar untuk melawan, mungkin 'slogan' Karl Marx dalam bukunya, Manifesto Comunist, untuk konteks Indonesia diubah, bukan 'Bersatulah Kaum Buruh', melainkan 'Bersatulah Kaum Guru'.
Harapannya guru semakin terpecut untuk melawan ketidakadilan bersama murid-muridnya. Kini saatnya guru menyadari bahwa mengajar bukan hanya memindahkan pengetahuan, melainkan juga tugas politik dalam mendidik perlawanan. Tentunya perlawanan itu adalah perlawanan yang diarahkan demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan demokratis yang bisa dinikmati semua kalangan masyarakat tanpa memandang kelas mana pun juga.


Revolusi Belum Selesai

”DENGAN merebut kembali aksi massa, rakyat Indonesia menjadi tangguh dan bersedia sukarela turun ke jalan untuk menuntut hak dan kepentingannya.Itu salah satu kekayaan revolusi nasional yang perlu direbut kembali.” -Max Lane-

Hampir semua bangsa lahir dari hasil revolusi yang melibatkan rakyat.Pengalaman Inggris, Prancis, dan AS telah membuktikannya. Pembebasan nasional rakyat Amerika Latin yang terinspirasi perjuangan rakyat Venezuela, selayaknya juga dapat mengilhami metode dan ideologi perjuangan nasional di Indonesia.

Sayang, pendeknya ingatan kolektif telah membuat kita cepat melupakan segala peristiwa penting. Reformasi 1998 yang belum genap 10 tahun pun cepat terkikis dari memori.Demikian juga beragam represi sejak kediktatoran Orde Baru serta berbagai perlawanannya.

Max Lane merekamnya dengan cermat sejumlah proses pergerakan di Indonesia hingga kegamangan bangsa ini berhadapan dengan gempuran neoliberalisme,yang dia gambarkan sebagai ”revolusi nasional membentuk Indonesia menjadi sebuah bangsa yang belum selesai”. Orde Baru memang sudah jatuh. Namun sistem yang dibangun semasa kekuasaan Soeharto sesungguhnya tidak hilang.

Akibatnya sebagai bangsa yang besar, Indonesia tak kunjung berhasil mewujudkan citacita kesejahteraan rakyat. Reformasi telah melenceng bahkan telah menjauh dari tujuan awal.Buktinya, setelah tujuh tahun kejatuhan Soeharto ternyata belum ada perubahan signifikan sampai saat ini. Malah, sebagian masyarakat menganggap kondisi sekarang jauh lebih buruk dibandingkan zaman Soeharto.

Pendidikan mahal, biaya kesehatan tidak terjangkau, kenaikan harga beras dan antrean minyak,semuanya menyiratkan aras reformasi tidak berjalan sesuai harapan.Bahkan pascareformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya Soeharto (bukan Orde Baru), negara sesungguhnya makin angkuh.

Keangkuhan negara itu dapat diidentifikasi dengan makin menguatnya penindasan negara berupa penggusuran dan peminggiran kaum minoritas, khususnya kelompok masyarakat yang tidak berpunya. Akan menjadi pertanyaan jika reformasi yang dikatakan bentuk baru pembaruan Indonesia macet di tengah jalan,lalu seperti apa nasib Indonesia di masa depan?

Lewat analisis sejarah yang kritis, Max Lane dalam buku ini berusaha mencari jawabannya sambil meramu strategi baru dalam merumuskan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Memang tidak mudah merumuskan bentuk kenegaraan bagi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama.

Para founding father kita pun mengalami kesulitan ketika menyusun kesepakatan bersama dalam menentukan asas dan identitas negara ini.Keberadaan tiga ideologi besar, yakni nasionalisme, Islam, dan marxisme menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun konsep Indonesia. Selama tahun 1950-an,kiri dan kanan, Islam dan sekuler,kesatuan atau federalis semuanya mencoba merumuskan gagasan untuk menjawab pertanyaan seperti apa Indonesia itu di masa depan.Indonesia merupakan konsep sentral yang dipertanyakan bersama.

Di 1960-an, Soekarno berusaha menyusun puzzle ideologi yang bernama nasakom sebagai jalan tengah membangun persatuan dan kesatuan Indonesia. Tetapi proyeksi besar ini gagal di tengah jalan akibat konflik politik dan pergeseran kekuasaan di tubuh pemerintah. Lewat buku setebal 339 halaman ini,Max Lane membedah isi sejarah Indonesia mulai dari masa prakolonial sampai dengan orde reformasi.

Meski dikaji secara umum dengan mengandalkan referensi sejarah lain, Max Lane mampu memaparkan alur sejarah bangsa ini secara baik. Ia membagi karakter sejarah Indonesia antara 1945–1965 dan Indonesianya Soeharto 1965–1998.Orde Baru menempati ”porsi”terbesar dalam analisis Max Lane untuk dikaji lebih mendalam.Seperti ilmuwan Ba-rat lainnya, Max Lane berusaha membedah awal kemunculan Orde Baru, peristiwa sosial-politik yang terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru maupun pra dan pascakejatuhan Soeharto.

Max Lane menyebut Orde Baru sebagai ”kontra revolusi”tentu saja ini berkebalikan dengan Orde Lama yang begitu mengagungagungkan kata ”revolusi”. Dalam bab lima sampai bab terakhir, Max Lane menyoroti peranan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam peta sejarah gerakan mahasiswa menjelang kejatuhan Soeharto.Upaya menstabilkan kekuatan politik turut dilakukan PRD dengan membangun aliansi bersama PDI Megawati untuk mengkritik kebijakan pemerintah ke instansi dan lembaga pemerintah lain.

Situasi perpolitikan antara 1995 hingga 1996 selalu diwarnai dengan tindakan represif negara kepada peserta aksi karena peningkatan demonstrasi massa secara kuantitas.Berdasarkan data Yayasan Insan Politika (YIP) yang meneliti jumlah aksi massa mulai 1989 dan 1998 dengan terfokus di Pulau Jawa, ditemukan 30 dan 40 aksi protes mahasiswa terutama di Jakarta dan Jawa setiap tahunnya antara 1989 hingga 1992 dengan mengangkat isu berbeda seperti demokrasi kampus, solidaritas petani dan buruh, protes sekitar penangkapan aktivis yang mendistribusikan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, kebebasan pers.

Sementara itu pada 1993 ada 71 kali protes; 1994 terdapat 111 kali protes; pada 1995 ada penurunan menjadi 55 kali protes kemudian meningkat menjadi 143 protes pada 1996 dan pada 1997 ada 154 protes (hlm 153). Menurut Max Lane, kediktatoran Soeharto yang dijatuhkan aksi massa dan mahasiswa ternyata membuktikan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengelola kebijakan ”massa mengambang” untuk terus hidup dalam kepasifan.

Meskipun beberapa kalangan menilai bahwa kejatuhan Soeharto juga tidak terlepas dari campur tangan luar negeri, tampaknya peningkatan jumlah aksi dan radikalisasinya mampu memunculkan ”keberanian” massa terhadap kebijakan negara beserta aparatnya. Memangreformasimembuka kebebasan hak politik dan hak sipil tetapi belum mampu menyejahterakan masyarakat secaraekonomi.Akibatnya,muncullah ”demam Soeharto” di tengah-tengah masyarakat kita yang mengidam-idamkan stabilitas politik dan ekonomi seperti 32 tahun lalu.

Sebagai seorang Marxian, Max Lane tetap menyandarkan kesadaran kelas dalam memperbaiki sistem sosial, politik dan ekonomi secara keseluruhan. Saat ini masyarakat mesti menyadari bentuk kolonialisme tidak lagi berwujud fisik melainkan ekonomi oleh karena itu dibutuhkan perjuangan pembebasan nasional dan melawan neoliberalisme untuk membawa Indonesia ke arah perubahan lebih baik.

Boleh dikatakan,kedekatan emosional Max Lane dengan PRD menjadi salah satu titik kelemahan dari buku ini. Di satu sisi, ia terlalu ”overdosis”membedah perjalanan PRD selama masa Orde Baru yang pada akhirnya kitahanya memandangbuku ini tidak lebih dari profil PRD, sementara alur sejarah Indonesia sekadar tambalan.Mungkin saja,Max Lane juga tidak menyadari bahwa PRD telah gagal menjadi saluran politik alternatif di masa Orba karena ketiadaan basis massa yang kuat.

Bahkan sekarang, PRD perlahan-perlahan mulai mati suri. Selain itu, pisau analisis Marxis yang digunakannya terlalu tumpul untuk mencari jawaban atas keterpurukan Indonesia di berbagai lini kehidupan. Tidak cukup rasanya hanya bersandar pada perjuangan kelas dan membangun ideologi revolusi nasional karena Indonesia bukanlah Eropa abad ke- 19.

Meski demikian, Max Lane patut diacungi jempol karena karyanya menyadarkan kita bahwa masa depan Indonesia masih di awang-awang dan butuh proses lama untuk menyelesaikannya. Layaknya anak kecil, Indonesia memang perlu belajar dari sejarah.Kedaulatan politik sudah di tangan bangsa sejak merdeka, tapi nation building memerlukan dinamika baru.(*)

----------------------
*Epung Saepudin

Naskah ini dipublikasikan juga di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 19/08/2007


17.8.07

SIAGA PEMUDA: Perjuangkan Kemerdekaan Nasional II

--------------------------------------- sticker berisi teks Proklamasi --------------------------------

Hari ini, 17 Agustus 2007, kawan-kawan FPPI Jakarta dan Pimpinan Nasional turun di Bundaran HI untuk memperingati hari kemerdekaan RI. dalam pada itu aksi yang dikemas dalam format upacara 'alternatif' ini mengusung topik perjuangan anti imperialisme modal sebagai wajah baru penjajahan dunia. karenanya -- meski hanya diikuti oleh sekitar 40an massa aksi-- FPPI 'melaunching' Proklamasi Perjuangan sebagai refleksi dan pemaknaan ulang atas kemerdekaan bangsa Indonesia dari sejarah imperialisme. dengan ini pula diserukan kepada seluruh pimpinan kota di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi sebagaimana dimaksud. di bawah ini adalah Pernyataan sikap yang dapat direferensi, dan tidak menutup kemungkinan untuk membawa muatan lokal sejauh tetap dalam frame pemahaman yang sejalan.

SIKAP POLITIK PEMUDA:
PERJUANGKAN KEMERDEKAAN NASIONAL KEDUA

Sejarah Indonesia modern tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme-imperialisme. Kemerdekaan politik yang kita proklamasikan pada 17 Agustus 1945 telah menjadi tonggak lahirnya nation-state Republik Indonesia. Namun kedaulatan yang kita miliki hingga hari ini ternyata tidak dengan sendirinya menjadikan Indonesia terlepas dari penetrasi kekuatan-kekuatan asing yang imperialistik. Hal inilah yang sering diingatkan oleh Bung Karno dalam jargonnya “revolusi belum selesai”. Ini menandakan bahwa Revolusi Kemerdekaan 1945 sesungguhnya merupakan suatu tahapan awal untuk menorehkan lembaran sejarah baru yang mampu menjadi ingatan atas kedaulatan absolut rakyat Indonesia untuk bebas dari segala bentuk penghisapan dan penindasan.

Luasan wilayah NKRI yang mencapai kurang lebih dua juta km persegi, dengan hamparan 13. 699 pulau dengan total penduduk 203, 46 juta jiwa yang di dalamnya hidup sekitar 495 rumpun bahasa dalam kelompok etnis dan 5 agama resmi plus puluhan aneka kepercayaan, telah mengandung potensi konflik yang bisa direkayasa oleh kepentingan para pemodal untuk memecahbelah integritas ekonomi politik masyarakat Indonesia. Sejarah pun pernah mencatat, kelahiran Indonesia ‘muda’ pun masih harus berhadapan dengan kekuatan separatisme seperti PRRI Permesta, DII-TII, RMS dan lain-lain sebagai akibat perebutan dan penguasaan akses ekonomi politik kolonialisme dan kapitalisme internasional yang menjadikan perbedaan identitas masyarakat sebagai sumbu yang sewaktu-waktu bisa disulut.

Rezim silih berganti, namun hanya melahirkan krisis multidimensi yang begitu kompleks. Sebut saja, problem sengketa agraria, liberalisasi pendidikan, liberalisasi tenaga kerja sampai munculnya kebijakan negara yang anti rakyat dan pro modal telah membuat tergadainya kekayaan sumber daya alam ke dalam cengkraman Kapitalisme Internasional. Belum lagi, penerapan investasi yang tidak pernah nyambung dengan kebutuhan publik masyarakat telah mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi yang begitu hebat sehingga di beberapa daerah terbelakang di luar jawa justru semakin menyulut kemarahan masa— lalu berkeinginan memerdekan diri untuk lepas dari pangkuan ibu pertiwi. Dan sejarah pun mencatat pula, bahwa embrio konflik disintegrasi masa lalu tidak terlepas dari kepentingan Kapitalisme Internasional untuk memecah belah NKRI agar penetrasi ekonomi politik liberalnya bisa masuk dengan mudah.

Refleksi situasi diatas, suka tidak suka menuntut kita untuk memaknai ulang perayaan kemerdekaan nasional yang selalu dirayakan pada tanggal 17 Agustus 1945 tiap tahunnya. Dari persoalan perseteruan perusahaan-perusahaan Blok Migas di Sulawesi yang berimbas pada konflik horisontal di tingkatan masyarakatnya serta penembakan petani yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai akibat sengketa tanah antara rakyat dengan Dept. Kehutanan sampai persoalan penetapan Rancangan Peraturan Pemerintah Ketenagakerjaan menjadi PP sebagai tindak lanjut dari gagalnya revisi UUK No 13 untuk memperbaiki iklim investasi nasional dengan menggadaikan tenaga kerja Indonesia—bahkan sampai problem komersialisasi pendidikan dengan adanya RUU Badan Hukum Pendidikan yang pada akhirnya akan berbanding lurus dengan tingginya angka putus sekolah dan meningkatnya angka pengangguran, ini semua bisa menjadi sederetan bukti nyata dan pertanyaan, sesungguhnya dimanakah esensi sesungguhnya Kemerdekaan Nasional yang selalu dirayakan tiap tahunnya yang selalu berbarengan dengan munculnya problem-problem baru yang melilit kesejahteraan rakyat Indonesia.

Singkat kata, sulit membayangkan hiruk pikuk perayaan kemerdekaan ketika masih banyak terjadi wabah penyakit merajalela dimana-mana, angka pengangguran yang semakin tinggi, naiknya harga sembako bahkan sampai praktek-praktek brutal eksploitasi investasi asing yang sewenang-wenang menghisap sumber daya alam ibu pertiwi dan memarjinalkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Maka, siapapun rezim yang berkuasa hari ini tidak pernah bisa akan menjadi faktor dominan bagi perubahan riil kesejahteraan masyarakat indonesia ketika seluruh kekayaan alam dan kebijakan negara masih hanya menguntungkan segelintir elit birokrasi dan kroni-kroninya serta kepentingan Kapitalisme Internasional.

Untuk itu, bersamaan dengan kehendak Rakyat Indonesia yang merindukan Kemerdekaan Nasional yang sejati maka kami Pimpinan Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia menyerukan Sikap Politik Pemuda Perjuangkan Kemerdekaan Nasional 2 dengan menuntut :

1. Kembalikan Tanah Rakyat yang Terampas dan Wujudkan Revolusi Agraria
2. Cabut UU dan Peraturan Ketenagakerjaan yang tidak Berpihak kepada Kaum Buruh
Indonesia serta Naikkan Upah Buruh
3. Hentikan praktek liberalisasi dan Komersialisasi Dunia Pendidikan dan
Wujudkan Pendidikan Murah untuk Rakyat
4. Sita Harta aset-aset Koruptor dan Bangun Industrialisasi Nasional yang
Berpihak kepada Rakyat
5. Subsidi penuh untuk kesejahteraan rakyat dan sediakan Lapangan Kerja untuk
Rakyat

"MENOLAK TUNDUK MENUNTUT TANGGUNG JAWAB"


PIMPINAN NASIONAL
FRONT PERJUANGAN PEMUDA INDONESIA
2006-2009




15.8.07

“DEFENDING OUR REPUBLIC FOR RESPUBLICA”

(pertahankan republik untuk Res-Publica)

Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme? Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia. (Manipol FPPI Nasional Demokrasi Kerakyatan). Berangkat dari sebuah pernyataan tersebut, membuat kita akhirnya sebagai kaum pergerakan harus berani segera mengambil sikap tegas atas sejarah Indonesia. Sikap yang semata-mata tidak hanya diwujudkan dalam hujatan-hujatan terhadap para penguasa zolim ataupun tindakan heroisme dan keterburu-buruan semata yang terkadang selalu terjebak dan selalu berujung pada kalkulasi untung rugi sosial saja.

Pendekatan atas sejarah teori atau pendekatan teori sejarah menjadi hal yang sangat fundamental untuk dipilih dalam merangkai sebuah bangunan Ideologi. Sejarah Indonesia modern tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme-imperialisme. Kemerdekaan politik yang kita proklamasikan pada 17 Agustus 1945 menjadi tonggak lahirnya nation-state Indonesia. Kedaulatan yang kita miliki tidak dengan sendirinya menjadikan Indonesia terlepas dari penetrasi kekuatan-kekuatan asing yang imperialistik. Hal inilah yang sering diingatkan oleh Bung Karno dalam jargonnya “revolusi belum selesai”. Secara internal, Indonesia ‘muda’ juga masih menghadapi konsolidasi kekuatan-kekuatan sosial-politik dan sisa-sisa feodalisme. Yang terakhir dapat dikatakan sebagai ‘benalu’ bagi Indonesia yang sedang menuju menjadi negara demokratis.

Membaca lika liku perjalanan bangsa ini tidaklah bisa dibaca secara parsial semata. Bangkitnya sosialisme sebagai antitesa dari kapitalisme ternyata menjadi cikal bakal dari lahirnya aliran-aliran ideologi baru di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Luasan wilayah yang mencapai kurang lebih dua juta km persegi, dengan hamparan 13. 699 pulau dengan total penduduk 203, 46 juta jiwa yang di dalamnya hidup sekitar 495 rumpun bahasa dalam kelompok etnis dan 5 agama resmi plus puluhan aneka kepercayaan. Realitas ini suka atau tidak suka banyak mengandung potensi konflik besar yang bisa mengoyak kehidupan masyarakat dengan segala perbedaannya.

Untuk itulah, pilihan atas sebuah ideologi sebagai suatu cara pandang masih menjadi relevan untuk dijadikan alat psikoanalisa membaca republik ini. Sebab kukungan Neoliberalisme dan Neokolonialisme telah menjadikan perkembangan sejarah masyarakat Indonesia tidak berkembang secara wajar. Sudah seharusnya, kaum pergerakan Indonesia dan penguasa negeri ini mampu membaca dan melihat banyaknya momentum-momentum internasional yang bisa kita gunakan untuk melakukan terobosan guna menaikkan posisi tawar republik ini untuk segera keluar dari cengkraman Neo liberalisme dan Neo kolonialisme.

Untuk itu sekarang sudah waktunya kita bangsa dan Negara Indonesia membuat sebuah batasan dan sekaligus mencari AKHIRAN dari kerja panjang penindasan-pembisuan-pembodohan yang menimpa kita selama ini. Dengan adanya pelatihan Sekolah Kader Nasional ini diharapkan menjadi media pendidikan untuk secara bersama-sama kita berpikir dan bekerja keras untuk keluar dari keterpurukan, dengan menciptakan sebuah pijakan yang kokoh agar terwujud sebuah Negara Nasional yang mandiri, Demokratik dan berorientasikan Kerakyatan.

SEKOLAH KADER NASIONAL FPPI: “Defending Our Republic for Respublica”

“Perlawanan Seratus Orang yang Tidak Berpendidikan adalah Pemberontakan,
Perlawanan Satu Orang yang Berpendidikan adalah awal dari Pergerakan”


SEWINDU lebih reformasi telah bergulir di negri ini namun jalan baru bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemakmuran serta kedaulatannya sendiri belum pernah tercapai hingga detik ini. Sekiranya inilah yang menjadikan hingga detik ini mengapa FPPI masih ada dan masih layak untuk dipertahankan di tengah hiruk pikuk dinamika gerakan sosial yang telah menjamur dimana-mana. Memahami intensifikasi penindasan yang terjadi di negri ini tentu tidak bisa kita lakukan secara parsial dan terpisah-pisah. Dan tentu saja, kritik oto kritik serta reevaluasi dan evaluasi atas pengolahan gagasan yang komprehensif, sistematika kerja organisasi bahkan sampai sistematisasi manajerial organisasi dari pemaknaan kita atas pengelolaan administrasi organisasi sampai perapian dan penataan dokumentasi atas sekian eksperimentasi kerja dan terobosan-terobosan dari kawan-kawan yang telah bekerja dan berproyeksi dimana-mana menjadi kebutuhan yang mendesak untuk segera kita kerjakan. Sistematisasi komunikasi dan koordinasi kerja atas laju gerak perubahan di semua lini tentu membutuhkan energi yang cukup besar dan kesabaran serta ketangguhan etos kerja dalam meniti perubahan itu sendiri menjadi sesuatu yang harus melekat dalam setiap insan kader yang akan lahir guna menjadi bagian dari pelaku sejarah perubahan itu sendiri.

Terpuruknya situasi masyarakat hari ini dalam konteks sosial, budaya, politik dan moral masyarakat bangsa ini, sudah menjadi bagian yang tidak mampu dihindarkan bahkan menghindarkan diri dari situasi yang ada. Lengsernya rezim otoritarian-birokratik Orde Baru yang seharusnya diikuti oleh transisi demokrasi ternyata malahan terjebak dalam struktur politik yang menjelma menjadi kekuatan oligarki politik. Keputusan politik nasional yang didominasi oleh beberapa partai besar sampai hari ini ternyata tidak terlepas dari konstelasi politik perebutan kekuasaan semata yang masih saja berimplikasi terhadap sekian rekayasa peristiwa sosial di tingkatan grass root.


Untuk itu kerja-kerja advokasi kerakyatan tidak bisa terjebak dalam bingkai aktivisme dan romantisme pergerakan masa lalu, melainkan sebagai upaya untuk mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik. Front Perjuangan Pemuda Indonesia percaya bahwa posisi pergerakan, organisasi dan ideologi perjuangan, sebagai suatu siasat kebudayaan pemuda menyikapi penderitaan rakyat menghadapi penindasan-penghisapan, bukan dan tidak boleh berada di bawah (ke)sadar(an) massa. Posisi seperti itu hanya akan menghasilkan pengulangan sejarah hilangnya revolusi semata-mata sebagai mimpi buruk rakyat buruh dan tani. Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama mode produksi, mode konsumsi, atau sebatas mode distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki relung dalam ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan.

Seluruh jajaran pengurus Pimpinan Nasional FPPI juga sadar sesungguhnya percepatan beberapa pembasisan pemuda (Buruh-Petani-KMK-Mahasiswa) serta kerja-kerja perluasan front di beberapa kota menuntut kaum pergerakan untuk semakin jernih dalam mencerdasi setiap kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat. Untuk itu, berangkat atas gagasan bersama yang telah dicetuskan dalam Kongres Nasional FPPI Nasional IV yang bertemakan “Meneguhkan Demokrasi Rakyat Melalui Jalan Pergerakan Ekstra Parlementer”, memberikan pesan bahwasanya sedari awal kaum pergerakan tidak perlu merasa alergi terhadap instrumen-instrumen kekuasaan sebagai alat dari perjuangannya. Namun yang harus segera kita garis bawahi adalah bagaimana pemaknaan kita atas kekuasaan itu sendiri, kekuasaan bagi FPPI haruslah diletakan dalam pengertian garis massa itu sendiri. Kelahiran FPPI untuk Respublika mempunyai arti bahwasanya bagaimana kita mampu menggali dan menggalang (institusionalisasi) potensi masyarakat yang berserak dimana-mana dan yang telah terkotak-kotak oleh pengelompokan identitas baik di ranah sosialnya maupun di tingkatan bangunan garis politiknya sendiri, guna dikonsolidasikan sebagai capital costs sebagai pondasi dasar dari kedaulatan Negara yang berpihak kepada masyarakat. Dari situlah kekuasaan sejati yang sesungguhnya akan lahir, sehingga negosiasi-negosiasi politik yang akan dilakukan harus tetap bersandar atas pembangunan relung dalam (inner world) sistem masyarakat itu sendiri baik di tingkatan rasionalisasi atas bangunan sosial politik masyarakatnya serta yang terlebih penting lagi adalah peningkatan dan pengelolaan kapasitas cara produksi ekonomi politik masyarakatnya. Sehingga pemaknaan atas manifestasi atas pergerakan ekstraparlementer adalah suatu fase awal dan jalan panjang yang harus ditempuh guna melahirkan blok sosial baru masyarakat Indonesia yang anti kapitalisme demi terwujudnya kemerdekaan 100% rakyat Indonesia atas tanah, pangan, mineral, air dan tambang ibu pertiwi sendiri.

Disinilah relevansi mengapa prinsip-prinsip bangunan ideologi pembebasan yang ditransformasikan dalam PENDIDIKAN KADER menjadi bagian yang sangat fundamental untuk segera kita kerjakan. Maka, sebagai turunan atas tema orientasi kerja perjuangan FPPI 2006-2009 yang berbunyi “Penataan dan Penguatan Integrasi Organisasi untuk Mendorong Manifestasi FPPI sebagai Gerakan Ekstraparlementer Berbasis Pemuda” , mensaratkan kita untuk segera melakukan upgrading kapasitas sumber daya organisasi secara nasional baik di tingkatan ideologisasi ataupun penempaan kapasitas skill Community Organizer (CO) guna melahirkan rasionalisasi bersama atas perkembangan situasi kontemporer serta sebagai media antar kader-kader FPPI se-Indonesia Raya untuk melakukan re-konsolidasi sistem kerja FPPI secara nasional sebagai tahapan awal public space rational discourse untuk konsolidasi nasional bersama seluruh kaum pergerakan Indonesia dan NGO/LSM kerakyatan menuju pembebasan nasional demi terwujudnya demokrasi kerakyatan yang sejati.

kegiatan yang dilaksanakan di Jakarta pada Selasa, 24 Juli 2007 – Kamis, 2 Agustus 2007 dan diikuti sedikitnya 50 peserta dari berbagai kota di seluruh Indonesia ini berTUJUAN :

1. Mentransformasikan basis nilai nasional demokrasi kerakyatan menjadi tradisi berfikir dan epistemologi pengetahuan dalam mengapresiasi perubahan sosial
2. Mentransformasikan organisasi sebagai alat dan mekanisme perjuangan
3. Melahirkan rumusan-rumusan taktik dan strategi memenangkan tujuan-tujuan gerakan di wilayah basis dan wilayah pergerakan
4. Memperluas dan mengamulasi resources pergerakan (sektoral & non sektoral) pada wilayah pengorganisasian kualitatif-kuantitatif
5. Menyerap sumber daya pergerakan sebagai motor dan pelaksana organisasi

sementara TARGETAN yang ingin dicapai antara lain:

1. Terbangunnya rekonstruksi dan rasionalisasi proyeksi pergerakan FPPI sebagai manifestasi pergerakan ekstra parlementer berbasis pemuda
2. Terhimpun dan terkonsolidasikannya gagasan-gagasan progresif berbasis nasional demokrasi kerakyatan
3. Terinternalisasinya organisasi ke dalam tubuh subjek gerakan dengan mengejawantahkan sikap dan tindakan yang tertib, disiplin dan organik
4. Terjadinya akumulasi-akumulasi baru sumber daya (kader) pergerakan



6.8.07

In Memoriam: Boy Yandra Fika (1982 - 2 Agustus 2007)

Mantan pendiri dan Sekjend I FPPI Pk Padang, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Andalas Padang Sumatera Barat.

" Perjuangan untuk kemanusiaan dan pembumian NADEMKRA di semesta nusantara akan terus berlanjut, walau satu persatu dari kita dipanggil menghadapNYA, karena kematian adalah saat manusia mencapai derajat terbaiknya disisi TUHAN, tak soal seperti apa jalan kematian menjemputnya"


4.8.07

Resensi: Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan

Judul : Negara adalah Kita: Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan
Pengantar : Sylvia Tiwon
Tebal : 508 halaman
Penerbit : Perkumpulan Praxis dan Yappika Jakarta
Cetakan : I
Tahun : 2007


Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan

Jika selama ini negara diandaikan memiliki kemampuan meneguhkan pelayanan publik yang adil bagi semua rakyatnya, nampaknya semua nilai ideal itu makin tidak menemukan bentuknya hari ini. Buku ini memberi analisis cukup mendalam atas 30 kasus perlawanan rakyat terhadap negara.

Pasca reformasi bergulir, yang ditandai dengan lengsernya Soeharto (bukan Orde Baru) negara sesungguhnya makin angkuh. Keangkuhan negara itu dapat diidentifikasi dengan makin menguatnya penindasan negara berupa penggusuran dan peminggiran kaum minoritas, terkhusus kelompok masyarakat yang tidak berpunya. Jika seperti itu, menurut para penulis buku ini, melawan adalah hak bahkan keharusan. Sebab sejak dahulu hingga saat ini, rakyat ditindas dengan mengatasnamakan Negara. Sangatlah wajar jika kemudian rakyat melakukan perlawanan karena Negara adalah rakyat dan rakyat adalah Negara.

Contoh jelas bagaimana kebijakan negara makin tidak berpihak kepada rakyat adalah ketika penggusuran justru dilegalkan serta dilegitimasikan melalui Perpres No.36/2005. Lebih parah lagi, Pemprov DKI merasa perlu untuk menerbitkan dua SK pelengkap Perpres No.36/2005 yakni SK Gubernur Nomor 36/2005 tentang Pedoman Penetapan Nilai Ganti Rugi tertanggal 8 Juli dan SK Gubernur Nomor 1222/2005 tentang Panitia Pengadaan Tanah yang sudah disetujui pada 30 Juni dan SK Nomor 1222/2005.

Perilaku kekuasaan seperti itu mirip dengan apa yang dilakukan pihak kolonial. Cara-cara eksploitatif, manipulatif, bahkan secara terang-terangan menghilangkan nyawa rakyat merupakan ciri yang paling mudah diidentifikasi.Siapa melawan kebijakan negara atau ‘rewel’ dengan langkah yang diambil negara, maka taruhannya nyawa melayang. Seperti yang menimpa almarhum Munir.

Setiap ada penindasan selalu muncul perlawanan. Itulah inti pesan buku ini. Rakyat tidak akan berdiam diri terhadap penindasan. Perlawanan itu kini tidak melulu dipelopori oleh kaum terpelajar seperti yang terjadi pada zaman kolonial. Kini perlawanan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tanpa perlu komando karena mereka kini lebih cerdas dan lebih mampu memahami perkembangan sosial politik. Perlawanan tak jarang langsung di dipelopori para petani, buruh, pedagang eceran, bahkan ibu-ibu rumah tangga. Lihat saja ketika harga minyak goreng belakangan ini menjadi begitu mahal, para ibu tak tanggung tanggung melakukan aksi demonstrasi sambil membawa panci dan kompor.

Menurut penulis, hadirnya perlawanan rakyat dapat diartikan telah munculnya dua hal penting yaitu dicabiknya kedaulatan rakyat serta tumbuhnya kesadaran rakyat akan hak mereka. Ketika rakyat tidak bisa lagi berdaulat atas diri dan kehidupannya sementara pada satu sisi kesadaran rakyat akan hak-haknya mulai tumbuh maka perlawanan-perlawanan merebut hak rakyat terjadi. Tanpa kesadaran rakyat akan haknya, penindasan dan perebutan hak rakyat sering tidak dianggap sebagai persoalan penting bagi kedaulatan rakyat. Itulah mengapa sejumlah kasus-kasus perlawanan rakyat yang muncul seringkali terlambat setelah negara dengan cukup leluasa mencabik-cabik kedaulatan rakyat. Sayangnya, perlawanan rakyat merebut hak-haknya seringkali dicap oleh negara sebagai gerakan pemberontakan melawan negara. Sehingga yang terjadi setiap penyelesaian konflik selalu menggunakan cara-cara kekerasan tanpa memperdulikan keberadaan rakyat.

Kumpulan artikel dalam buku ini secara gamblang memaparkan kisah-kisah pergerakan rakyat dari berbagai daerah dengan segala permasalahannya. Buku ini hendak mengabarkan bahwa hak-hak rakyat perlu terus diperjuangkan dengan keseriusan dan tidak mengharapkan belas kasih penguasa. Dengan demikian buku ini sangat berarti dalam menginspirasi kelompok-kelompok rakyat di komunitas lain untuk melakukan hal serupa. Buku ini juga dapat menjadi informasi komprehensif mengenai fenomena perlawanan rakyat di berbagai sisi kehidupan.

Munculnya perlawanan rakyat baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional merupakan perwujudan ketidakpuasan rakyat kepada para pemimpin dalam mengelola negara. Elitisasi kekuasaan jelas mengesampingkan peran rakyat selaku pemilik kedaulatan. Pengelola negara tidak melaksanakan mandat guna memberikan pelayanan terbaik hak-hak dasar warga negara. Aparat pengelola negara mengingkari sumpahnya sebagai pengayom, pelayan publik. Mereka malah seperti birokrat priyayi yang maunya dilayani, dihormati, dan selalu ingin didahulukan.

Para penulis dalam buku ini meyakini bahwa para elit dan pemimpin tidak sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya. Tanda yang paling mudah adalah dengan kentalnya kepentingan pribadi dan kelompok hingga mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas dan mendasar. Banyak elit yang merangkap sebagai pengusaha hyang dipastikan terjadi konflik kepentingan ketika merumuskan kebijakan. Selanjutnya, kebijakan yang diambil pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok-kelompok pendukung pemerintah semata. Di depan publik mereka seakan-akan memihak rakyat, terutama pada saat kampanye. Tapi setelah terpilih janji-janjinya ditaruh di lemari dan tak pernah disentuh lagi. Kondisi seperti itulah, menurut para penulis, menjadikan perlawanan dari rakyat.

Dari 30 bentuk perlawanan yang dikaji dalam buku ini menyentuh berbagai ranah berbeda-beda. Di antaranya perlawanan merebut hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob. Seperti disinggung oleh Sylvia Tiwon dalam pengantarnya, bahwa prakarsa rakyat yang mengorganisir diri dengan kemampuan membaca peta politik, kemudian memasuki celah yang terbuka untuk mengubah realitas yang dihadapinya, menemukan kembali suara dan tenaga untuk mrekonstruksi relasi sosial lama, dan menerobos status quo. Dengan ini rakyat sedang mempraktekkan paham bahwa ”Negara Adalah Kita”. Dalam kontrak sosial yang telah dideklarasikan pada saat pendirian Negara, bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Sementara lembaga-lembaga tinggi negara adalah perangkat yang dibentuk untuk menjalankan amanat rakyat. Maka sudah selayaknya rakyat merebut kembali kedaulatannya yang telah diselewengkan oleh aparat yang mengatasnamakan Negara.

Berbagai konflik yang terjadi di perkotaan maupun pedesaan dapat dipastikan selalu melibatkan kaum pemilik modal dan kekuatan apparatus Negara. Berbagai kebijakan neoliberal yang selalu dijaga dan diamankan oleh aparat militer pada akhirnya memberikan bukti bahwa militer dan modal, adalah sesuatu yang absolute di negeri ini. Kuatnya peran militer tersebut tentunya tak bisa dilepaskan dari doktrin Dwifungsi TNI. Kekuasaan militer telah menggurita bukan hanya di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi. Bukan hanya di wilayah supra-struktur politik seperti jatah kursi di DPR dsb, namun juga institusionalisasi militer merangsek jauh ke tingkat pemerintahan yang paling kecil—desa. Hal ini tentunya guna mempermudah memberangus setiap gerakan rakyat yang akan menentang kebijakan neolioberalisme-nya pemerintah. Negara, berikut aparatusnya, yang seharusnya berperan sebagai pelindung dan penjamin hak-hak rakyat akhirnya menjadi penyokong utama bagi dihapuskannya hak-hak rakyat antara lain subsidi, pendidikan murah, dan sebagainya.

Para penulis menilai, perlawanan ditingkat lokal menjadi signifikan karena dua hal. Pertama, belum adanya muara bagi sebuah perlawanan yang berskala nasional. Sehingga adanya inisiatif perlawanan local akan menjadi motor penggerak radikalisasi massa di tingkat desa/region. Inisiatif perlawanan tingkat lokal tidak akan mengalami kemajuan kualitatif jika meniadakan peranan organisasi (politik). Walaupun yang menjadi faktor pokok adalah kekuatan massa, namun keberadaan organisasi tetap diperlukanPembangunan organisasi berbasis sektoral memang sangat penting untuk memfasilitasi perjuangan tingkat sektoral namun untuk sebuah lokalitas yang memiliki keragaman sektor, pembangunan organisasi sektor tidaklah cukup. Artinya, dengan melibatkan segala sektor yang ada akan peningkatkan potensi sosial politik suatu daerah.

Disamping itu, pengorganisiran berbasis teritori akan menjadikan perlawanan lokal menjadi lebih kuat sekaligus terhindar dari watak sektarian. Dalam bidang politik, pengorganisiran berbasis teritori tidak bisa dilepaskan dari pendidikan politik yang diemban oleh organisasi (politik). Pendidikan politik sangat penting dalam upaya memerangi gejala depolitisasi dan apolitisasi massa sekaligus memperluas struktur kesempatan politik yang dibarengi dengan penyediaan akses informasi, serta kemampuan membangun jaringan yang lebih luas.

Dengan membaca buku ini akan mendapatkan gambaran sesungguhnya dari perjuangan rakyat dalam mendapatkan hak-haknya yang terampas oleh kekuasaan. Sudah saatnya negara disadarkan akan kewajiabnnya untuk melindungi rakyat bukan malah menindasnya.

Epung Saepudin
Anggota Dikprop Nasional FPPI

*tersebut pernah juga dimuat di koran seputar indonesia setelah melewati proses editing

Gus Hakim: Sitnas kita saiki, piye?

Sekedar informasi saja,.....(moga menjadi pembacaan kawan2 smua)

laju gerak eskalasi politik pasca bergabungnya partai golkar dengan PDIP dipusat disusul dengan didaerah2, ada indikasi. aliansi tersebut mencari mesin politik2nya yg sedikit mengalami pergeseran (bukan lagi spt: jurkam2 biasa) lebih kepada icon spiritual (paranormal), icon IT (hacker). sebagai pembuat isu di masyarakat bawahnya dan sebagai pembobol suara di saat pemilunya. bahwa rakyat yg akan menjadi korban semakin jelas, dan jalanan sebagai bahasa perlawanan kita ternyata kurang efektif lagi. (mungkin lebih pd pembuatan aliansi taktis spt: forum komunikasi2 ).
dan kayanya perlu kajian dan telaah tentang ekstra parlementer yg seperti apa? dalam situasi kekinian, basis-pimkot-biro atw pimnas seharusnya bs saling support utk mengatasi stagnan dalam berpergerakan. negara sudah demikian menindas, dan rakyat sudah demikian tertindas. Akibatnya,(seperti katt kwn epung S) tak ayal bangsa ini dihinggapi beragam konflik bak api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi sebagai Nademkrais, ternyata kita tidak punya lembaga, sistem, mekanisme, maupun instrumen deteksi dini ketegangan masyarakat yang mumpuni.

kalau 4 Faktor ini yang menjadi masalah :
(1) ketimpangan struktural internal
(2) praktek dan budaya politik yang elitis sebagai faktor ikutan dari ketimpangan
struktural internal
(3) rezim pemerintahan teknokratik yang neo-fasistik-
ilitegristik; serta
(4) birokrasi pemerintahan yang sentralistik.

Pemilu 2009 yg prediksi ronggowarsito akan muncul satrio pandito sisinuhun wahyu raja tanpa mahkota (yg menurut saya itu kita), tinggal kesiap siagaan kita untuk potong satu generasi dan sesegera mungkin melaksanakan revolusi nademkra lewat strategi kebudayaan harus terus dikerjakan????

itu dulu dari saya,
comrade in arms

Gus Hakim