21.8.07

Perjuangan Guru Melawan Ketidakadilan

SEKARANG ini, melawan barangkali sebuah keniscayaan bagi para guru. Sebab, peminggiran peran guru sangat mencolok. Kasus ujian nasional (UN) yang dilaksanakan pemerintah contoh peminggiran atas kerja keras guru selama bertahun-tahun.

Guru yang mendidik berbagai macam pengetahuan, direduksi pemerintah melalui UN dengan mendasarkan aspek kognitif. Aspek psikomotorik dan afektif siswa tidak tersentuh.

Jika mengacu buku Guru, Mendidik itu Melawan , muncul pertanyaan, apakah ada sosok guru yang bisa dijadikan contoh sebagai guru yang melawan? Nurlela, guru SMA 56 Jakarta melawan kuasa modal yang akan meminggirkan sekolahnya untuk diubah menjadi mal. Sedangkan Retno Retno Listyarti melawan kekuasaan politik Akbar Tanjung karena namanya dicantumkan dalam buku pelajaran sebagai studi kasus hukum bagi para siswa. Mereka berdua adalah contoh guru yang teguh dengan pendirian guna melawan ketidakadilan. Sayangnya, mencari atau menemukan sosok guru seperti Retno dan Nurlela ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Menurut penulis buku ini, Eko Prasetyo, sebagian besar para guru tidak ubahnya sebagai pekerja administratif Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Bahkan, guru-guru di sekolah sudah puas ketika menyelesaikan silabus dan menyampaikan materi kepada siswa.

Akibatnya, seperti yang dikatakan Ivan Illich dalam buku Sekolah Kapitalisme yang Licik, para guru mengalami de skilling. Guru sekedar sekrup dari kekuasaan Depdiknas. Hingga terparah, guru tak mampu lagi membaca realitas penindasan, baik yang dialaminya sendiri maupun yang terjadi di sekelilingnya.

Memang, menjadikan guru mau dan mampu melawan ketidakadilan sejatinya akan berhadapan dengan tembok tebal kekuasaan, seperti yang dialami Retno dan Nurlela. Perlu waktu dan kesabaran ekstra. Sebab, sistem pendidikan dibuat sekadar untuk menyesuaikan dengan realitas yang ada. Misalkan, ketika industri membutuhkan siswa-siswa yang melek teknologi dan pandai beradaptasi, keluarlah kurikulum berbasis kompetensi. Sayangnya, semua itu hanya vocassional skill, dalam bahasa Utomo Danan Jaya, siswa sekadar bisa bubut, las, dan merangkai perkakas.

Penulis memaparkan tugas guru pun kini menjadi sederhana, sekadar melatih murid mengerjakan soal-soal ujian demi mengejar kelulusan yang didasarkan standar ujian nasional. Sehingga guru telah berubah menjadi sebuah profesi administratif, bukan lagi menjadi aktivis gerakan sebagaimana diyakini dan diharapkan penulis. Dalam situasi itu, telah terjadi perubahan makna, antara mendidik dan memberi informasi tidak bisa dibedakan. Betul-betul menyakitkan penindasan yang dialami guru. Sayangnya, penguasa/pemerintah tidak melihat pendidikan sebagai proses, tetapi semata-mata mengarahkan untuk mengejar gelar.

Menurut Eko Prasetyo, akibat pendidikan yang mengabdikan diri kepada pasar, sejak itu pula urusan pendidikan diibaratkan atau memang telah sama dengan sekadar urusan ekspor-impor barang. Artinya, pendidikan diperlakukan sama halnya dengan sektor ekonomi. Akibatnya sekolah sekadar penyalur sumber daya manusia yang diinginkan pasar. Akhirnya, fungsi sekolah untuk membangun karakter dan watak siswa bergeser 180 derajat menjadi mengajarkan keterampilan teknis sesuai dengan ukuran yang sudah ditetapkan dan diminta pasar semata. Ibaratnya, kini sekolah layaknya mesin pencetak generasi siap pakai. Sekolah tidak lagi mengajarkan bagaimana siswa mampu membaca ketidakadilan, penindasan, dan pengisapan yang tiap hari terjadi dalam tubuh bangsanya.

Persoalan atau isu pendidikan sebenarnya adalah persoalan atau perdebatan tentang perumusan tujuan dan fungsi pendidikan atau sekolah dalam kaitannya dengan masyarakat. Tak terkecuali para guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Menurut penulis, di tengah realitas penindasan yang dialami para guru, serta diamnya organisasi guru, sudah saatnya guru berubah dari petugas administratif pendidikan menjadi aktor pergerakan demi kebangkitan pendidikan. Eko memberi contoh Tan Malaka sebagai acuan guru yang melawan. Tan Malaka dalam berbagai penyamarannya kerap mendidik masyarakat. Tan Malaka selalu melatih para muridnya agar semakin matang dalam berpikir dan dewasa dalam bersikap dan bertindak.

Jika melihat judul yang digunakan, secara tegas Eko menggunakan kerangka disiplin pendidikan bertipe radikal. Bukan tipe konservatif yang cenderung mengarahkan guru untuk sekadar menyesuaikan diri. Dengan prinsip pendidikan radikal ala Paulo Freire, Eko mengharap para guru tidak sekadar menjadikan anak didiknya sebagai sekrup sosial semata. Bahkan, dalam buku ini, Eko juga mengharap para guru mendidik muridnya untuk menjadi para pembaru dan pembebas masyarakat.

Dengan melawan, Eko hendak mengubah pemahaman bahwa mengajar tidak sekadar memindahkan pengetahuan. Mengajar adalah tugas politik.

Artinya dalam mengajar secara inheren tersurat tugas untuk menyadarkan para siswa bersikap kritis. Namun, sambil tetap menghidupkan motivasi kepada siswa sendiri agar mau menjadi pemimpin, di segala bidang, dan tetap mampu bersikap jujur.

Gunanya melawan Keharusan guru melawan ketidakadilan, selain demi kemajuan dirinya sendiri, juga untuk kebaikan sistem pendidikan. Dengan kesadaran untuk melawan, segala hal yang sekiranya akan merugikan pendidikan bisa dihindari.

Cara bagaimana guru melawan sistem pendidikan dicontohkan Retno Listyarti. Ia menggunakan guntingan koran hingga memutar film dokumenter dengan tema-tema panas sebagai bahan mengajar.

Kesadaran melawan juga sejatinya tecermin pada sikap dan perilaku guru yang demokratis. Melalui pendidikan progresif, sebagaimana tecermin dalam buku ini, secara perlahan para guru juga harus mengubah sistem di dalam kelas. Tidak lagi ada dominasi guru, kekakuan, dan macetnya suatu dialog, tetapi digantikan percakapan kritis menuju kedewasaan siswa meraih jati dirinya. Ruangan kelas menjadi ruang pergulatan imajinasi, perdebatan gagasan, keterampilan berkarya, dan kepedulian dengan masyarakatnya.

Dengan situasi tersebut, kelak para guru dan siswa akan semakin menyadari diri mereka di tengah realitas masyarakat masing-masing. Akhirnya, sekolah yang dulunya dianggap angker menjadi lebih hidup karena seluruh siswa dan komunitas sekolah bisa bertemu dan berdialog satu dengan lainnya. Hingga perlawanan bisa semakin kuat.

Eko juga menggarisbawahi bahwa dalam hal proses perlawanan atau proses pembebasan harus selalu didampingi sikap optimisme. Sebab, sikap optimistis itulah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan.

Menurut Eko, tugas guru bukan sekadar membuat seorang peserta didik menjadi cerdas, melainkan juga melatih kesediaan murid agar rela berkorban dan memiliki kemauan kuat untuk bertindak untuk sesamanya yang miskin dan tertindas. Agar guru semakin sadar untuk melawan, mungkin 'slogan' Karl Marx dalam bukunya, Manifesto Comunist, untuk konteks Indonesia diubah, bukan 'Bersatulah Kaum Buruh', melainkan 'Bersatulah Kaum Guru'.
Harapannya guru semakin terpecut untuk melawan ketidakadilan bersama murid-muridnya. Kini saatnya guru menyadari bahwa mengajar bukan hanya memindahkan pengetahuan, melainkan juga tugas politik dalam mendidik perlawanan. Tentunya perlawanan itu adalah perlawanan yang diarahkan demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan demokratis yang bisa dinikmati semua kalangan masyarakat tanpa memandang kelas mana pun juga.


No comments: