”DENGAN merebut kembali aksi massa, rakyat Indonesia menjadi tangguh dan bersedia sukarela turun ke jalan untuk menuntut hak dan kepentingannya.Itu salah satu kekayaan revolusi nasional yang perlu direbut kembali.” -Max Lane-
Hampir semua bangsa lahir dari hasil revolusi yang melibatkan rakyat.Pengalaman Inggris, Prancis, dan AS telah membuktikannya. Pembebasan nasional rakyat Amerika Latin yang terinspirasi perjuangan rakyat Venezuela, selayaknya juga dapat mengilhami metode dan ideologi perjuangan nasional di Indonesia.
Sayang, pendeknya ingatan kolektif telah membuat kita cepat melupakan segala peristiwa penting. Reformasi 1998 yang belum genap 10 tahun pun cepat terkikis dari memori.Demikian juga beragam represi sejak kediktatoran Orde Baru serta berbagai perlawanannya.
Max Lane merekamnya dengan cermat sejumlah proses pergerakan di Indonesia hingga kegamangan bangsa ini berhadapan dengan gempuran neoliberalisme,yang dia gambarkan sebagai ”revolusi nasional membentuk Indonesia menjadi sebuah bangsa yang belum selesai”. Orde Baru memang sudah jatuh. Namun sistem yang dibangun semasa kekuasaan Soeharto sesungguhnya tidak hilang.
Akibatnya sebagai bangsa yang besar, Indonesia tak kunjung berhasil mewujudkan citacita kesejahteraan rakyat. Reformasi telah melenceng bahkan telah menjauh dari tujuan awal.Buktinya, setelah tujuh tahun kejatuhan Soeharto ternyata belum ada perubahan signifikan sampai saat ini. Malah, sebagian masyarakat menganggap kondisi sekarang jauh lebih buruk dibandingkan zaman Soeharto.
Pendidikan mahal, biaya kesehatan tidak terjangkau, kenaikan harga beras dan antrean minyak,semuanya menyiratkan aras reformasi tidak berjalan sesuai harapan.Bahkan pascareformasi bergulir yang ditandai dengan lengsernya Soeharto (bukan Orde Baru), negara sesungguhnya makin angkuh.
Keangkuhan negara itu dapat diidentifikasi dengan makin menguatnya penindasan negara berupa penggusuran dan peminggiran kaum minoritas, khususnya kelompok masyarakat yang tidak berpunya. Akan menjadi pertanyaan jika reformasi yang dikatakan bentuk baru pembaruan Indonesia macet di tengah jalan,lalu seperti apa nasib Indonesia di masa depan?
Lewat analisis sejarah yang kritis, Max Lane dalam buku ini berusaha mencari jawabannya sambil meramu strategi baru dalam merumuskan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Memang tidak mudah merumuskan bentuk kenegaraan bagi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama.
Para founding father kita pun mengalami kesulitan ketika menyusun kesepakatan bersama dalam menentukan asas dan identitas negara ini.Keberadaan tiga ideologi besar, yakni nasionalisme, Islam, dan marxisme menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun konsep Indonesia. Selama tahun 1950-an,kiri dan kanan, Islam dan sekuler,kesatuan atau federalis semuanya mencoba merumuskan gagasan untuk menjawab pertanyaan seperti apa Indonesia itu di masa depan.Indonesia merupakan konsep sentral yang dipertanyakan bersama.
Di 1960-an, Soekarno berusaha menyusun puzzle ideologi yang bernama nasakom sebagai jalan tengah membangun persatuan dan kesatuan Indonesia. Tetapi proyeksi besar ini gagal di tengah jalan akibat konflik politik dan pergeseran kekuasaan di tubuh pemerintah. Lewat buku setebal 339 halaman ini,Max Lane membedah isi sejarah Indonesia mulai dari masa prakolonial sampai dengan orde reformasi.
Meski dikaji secara umum dengan mengandalkan referensi sejarah lain, Max Lane mampu memaparkan alur sejarah bangsa ini secara baik. Ia membagi karakter sejarah Indonesia antara 1945–1965 dan Indonesianya Soeharto 1965–1998.Orde Baru menempati ”porsi”terbesar dalam analisis Max Lane untuk dikaji lebih mendalam.Seperti ilmuwan Ba-rat lainnya, Max Lane berusaha membedah awal kemunculan Orde Baru, peristiwa sosial-politik yang terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru maupun pra dan pascakejatuhan Soeharto.
Max Lane menyebut Orde Baru sebagai ”kontra revolusi”tentu saja ini berkebalikan dengan Orde Lama yang begitu mengagungagungkan kata ”revolusi”. Dalam bab lima sampai bab terakhir, Max Lane menyoroti peranan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam peta sejarah gerakan mahasiswa menjelang kejatuhan Soeharto.Upaya menstabilkan kekuatan politik turut dilakukan PRD dengan membangun aliansi bersama PDI Megawati untuk mengkritik kebijakan pemerintah ke instansi dan lembaga pemerintah lain.
Situasi perpolitikan antara 1995 hingga 1996 selalu diwarnai dengan tindakan represif negara kepada peserta aksi karena peningkatan demonstrasi massa secara kuantitas.Berdasarkan data Yayasan Insan Politika (YIP) yang meneliti jumlah aksi massa mulai 1989 dan 1998 dengan terfokus di Pulau Jawa, ditemukan 30 dan 40 aksi protes mahasiswa terutama di Jakarta dan Jawa setiap tahunnya antara 1989 hingga 1992 dengan mengangkat isu berbeda seperti demokrasi kampus, solidaritas petani dan buruh, protes sekitar penangkapan aktivis yang mendistribusikan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, kebebasan pers.
Sementara itu pada 1993 ada 71 kali protes; 1994 terdapat 111 kali protes; pada 1995 ada penurunan menjadi 55 kali protes kemudian meningkat menjadi 143 protes pada 1996 dan pada 1997 ada 154 protes (hlm 153). Menurut Max Lane, kediktatoran Soeharto yang dijatuhkan aksi massa dan mahasiswa ternyata membuktikan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengelola kebijakan ”massa mengambang” untuk terus hidup dalam kepasifan.
Meskipun beberapa kalangan menilai bahwa kejatuhan Soeharto juga tidak terlepas dari campur tangan luar negeri, tampaknya peningkatan jumlah aksi dan radikalisasinya mampu memunculkan ”keberanian” massa terhadap kebijakan negara beserta aparatnya. Memangreformasimembuka kebebasan hak politik dan hak sipil tetapi belum mampu menyejahterakan masyarakat secaraekonomi.Akibatnya,muncullah ”demam Soeharto” di tengah-tengah masyarakat kita yang mengidam-idamkan stabilitas politik dan ekonomi seperti 32 tahun lalu.
Sebagai seorang Marxian, Max Lane tetap menyandarkan kesadaran kelas dalam memperbaiki sistem sosial, politik dan ekonomi secara keseluruhan. Saat ini masyarakat mesti menyadari bentuk kolonialisme tidak lagi berwujud fisik melainkan ekonomi oleh karena itu dibutuhkan perjuangan pembebasan nasional dan melawan neoliberalisme untuk membawa Indonesia ke arah perubahan lebih baik.
Boleh dikatakan,kedekatan emosional Max Lane dengan PRD menjadi salah satu titik kelemahan dari buku ini. Di satu sisi, ia terlalu ”overdosis”membedah perjalanan PRD selama masa Orde Baru yang pada akhirnya kitahanya memandangbuku ini tidak lebih dari profil PRD, sementara alur sejarah Indonesia sekadar tambalan.Mungkin saja,Max Lane juga tidak menyadari bahwa PRD telah gagal menjadi saluran politik alternatif di masa Orba karena ketiadaan basis massa yang kuat.
Bahkan sekarang, PRD perlahan-perlahan mulai mati suri. Selain itu, pisau analisis Marxis yang digunakannya terlalu tumpul untuk mencari jawaban atas keterpurukan Indonesia di berbagai lini kehidupan. Tidak cukup rasanya hanya bersandar pada perjuangan kelas dan membangun ideologi revolusi nasional karena Indonesia bukanlah Eropa abad ke- 19.
Meski demikian, Max Lane patut diacungi jempol karena karyanya menyadarkan kita bahwa masa depan Indonesia masih di awang-awang dan butuh proses lama untuk menyelesaikannya. Layaknya anak kecil, Indonesia memang perlu belajar dari sejarah.Kedaulatan politik sudah di tangan bangsa sejak merdeka, tapi nation building memerlukan dinamika baru.(*)
----------------------
*Epung Saepudin
Naskah ini dipublikasikan juga di Koran Seputar Indonesia, Minggu, 19/08/2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment