Judul : Negara adalah Kita: Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan
Pengantar : Sylvia Tiwon
Tebal : 508 halaman
Penerbit : Perkumpulan Praxis dan Yappika Jakarta
Cetakan : I
Tahun : 2007
Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan
Jika selama ini negara diandaikan memiliki kemampuan meneguhkan pelayanan publik yang adil bagi semua rakyatnya, nampaknya semua nilai ideal itu makin tidak menemukan bentuknya hari ini. Buku ini memberi analisis cukup mendalam atas 30 kasus perlawanan rakyat terhadap negara.
Pasca reformasi bergulir, yang ditandai dengan lengsernya Soeharto (bukan Orde Baru) negara sesungguhnya makin angkuh. Keangkuhan negara itu dapat diidentifikasi dengan makin menguatnya penindasan negara berupa penggusuran dan peminggiran kaum minoritas, terkhusus kelompok masyarakat yang tidak berpunya. Jika seperti itu, menurut para penulis buku ini, melawan adalah hak bahkan keharusan. Sebab sejak dahulu hingga saat ini, rakyat ditindas dengan mengatasnamakan Negara. Sangatlah wajar jika kemudian rakyat melakukan perlawanan karena Negara adalah rakyat dan rakyat adalah Negara.
Contoh jelas bagaimana kebijakan negara makin tidak berpihak kepada rakyat adalah ketika penggusuran justru dilegalkan serta dilegitimasikan melalui Perpres No.36/2005. Lebih parah lagi, Pemprov DKI merasa perlu untuk menerbitkan dua SK pelengkap Perpres No.36/2005 yakni SK Gubernur Nomor 36/2005 tentang Pedoman Penetapan Nilai Ganti Rugi tertanggal 8 Juli dan SK Gubernur Nomor 1222/2005 tentang Panitia Pengadaan Tanah yang sudah disetujui pada 30 Juni dan SK Nomor 1222/2005.
Perilaku kekuasaan seperti itu mirip dengan apa yang dilakukan pihak kolonial. Cara-cara eksploitatif, manipulatif, bahkan secara terang-terangan menghilangkan nyawa rakyat merupakan ciri yang paling mudah diidentifikasi.Siapa melawan kebijakan negara atau ‘rewel’ dengan langkah yang diambil negara, maka taruhannya nyawa melayang. Seperti yang menimpa almarhum Munir.
Setiap ada penindasan selalu muncul perlawanan. Itulah inti pesan buku ini. Rakyat tidak akan berdiam diri terhadap penindasan. Perlawanan itu kini tidak melulu dipelopori oleh kaum terpelajar seperti yang terjadi pada zaman kolonial. Kini perlawanan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tanpa perlu komando karena mereka kini lebih cerdas dan lebih mampu memahami perkembangan sosial politik. Perlawanan tak jarang langsung di dipelopori para petani, buruh, pedagang eceran, bahkan ibu-ibu rumah tangga. Lihat saja ketika harga minyak goreng belakangan ini menjadi begitu mahal, para ibu tak tanggung tanggung melakukan aksi demonstrasi sambil membawa panci dan kompor.
Menurut penulis, hadirnya perlawanan rakyat dapat diartikan telah munculnya dua hal penting yaitu dicabiknya kedaulatan rakyat serta tumbuhnya kesadaran rakyat akan hak mereka. Ketika rakyat tidak bisa lagi berdaulat atas diri dan kehidupannya sementara pada satu sisi kesadaran rakyat akan hak-haknya mulai tumbuh maka perlawanan-perlawanan merebut hak rakyat terjadi. Tanpa kesadaran rakyat akan haknya, penindasan dan perebutan hak rakyat sering tidak dianggap sebagai persoalan penting bagi kedaulatan rakyat. Itulah mengapa sejumlah kasus-kasus perlawanan rakyat yang muncul seringkali terlambat setelah negara dengan cukup leluasa mencabik-cabik kedaulatan rakyat. Sayangnya, perlawanan rakyat merebut hak-haknya seringkali dicap oleh negara sebagai gerakan pemberontakan melawan negara. Sehingga yang terjadi setiap penyelesaian konflik selalu menggunakan cara-cara kekerasan tanpa memperdulikan keberadaan rakyat.
Kumpulan artikel dalam buku ini secara gamblang memaparkan kisah-kisah pergerakan rakyat dari berbagai daerah dengan segala permasalahannya. Buku ini hendak mengabarkan bahwa hak-hak rakyat perlu terus diperjuangkan dengan keseriusan dan tidak mengharapkan belas kasih penguasa. Dengan demikian buku ini sangat berarti dalam menginspirasi kelompok-kelompok rakyat di komunitas lain untuk melakukan hal serupa. Buku ini juga dapat menjadi informasi komprehensif mengenai fenomena perlawanan rakyat di berbagai sisi kehidupan.
Munculnya perlawanan rakyat baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional merupakan perwujudan ketidakpuasan rakyat kepada para pemimpin dalam mengelola negara. Elitisasi kekuasaan jelas mengesampingkan peran rakyat selaku pemilik kedaulatan. Pengelola negara tidak melaksanakan mandat guna memberikan pelayanan terbaik hak-hak dasar warga negara. Aparat pengelola negara mengingkari sumpahnya sebagai pengayom, pelayan publik. Mereka malah seperti birokrat priyayi yang maunya dilayani, dihormati, dan selalu ingin didahulukan.
Para penulis dalam buku ini meyakini bahwa para elit dan pemimpin tidak sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya. Tanda yang paling mudah adalah dengan kentalnya kepentingan pribadi dan kelompok hingga mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas dan mendasar. Banyak elit yang merangkap sebagai pengusaha hyang dipastikan terjadi konflik kepentingan ketika merumuskan kebijakan. Selanjutnya, kebijakan yang diambil pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok-kelompok pendukung pemerintah semata. Di depan publik mereka seakan-akan memihak rakyat, terutama pada saat kampanye. Tapi setelah terpilih janji-janjinya ditaruh di lemari dan tak pernah disentuh lagi. Kondisi seperti itulah, menurut para penulis, menjadikan perlawanan dari rakyat.
Dari 30 bentuk perlawanan yang dikaji dalam buku ini menyentuh berbagai ranah berbeda-beda. Di antaranya perlawanan merebut hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob. Seperti disinggung oleh Sylvia Tiwon dalam pengantarnya, bahwa prakarsa rakyat yang mengorganisir diri dengan kemampuan membaca peta politik, kemudian memasuki celah yang terbuka untuk mengubah realitas yang dihadapinya, menemukan kembali suara dan tenaga untuk mrekonstruksi relasi sosial lama, dan menerobos status quo. Dengan ini rakyat sedang mempraktekkan paham bahwa ”Negara Adalah Kita”. Dalam kontrak sosial yang telah dideklarasikan pada saat pendirian Negara, bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Sementara lembaga-lembaga tinggi negara adalah perangkat yang dibentuk untuk menjalankan amanat rakyat. Maka sudah selayaknya rakyat merebut kembali kedaulatannya yang telah diselewengkan oleh aparat yang mengatasnamakan Negara.
Berbagai konflik yang terjadi di perkotaan maupun pedesaan dapat dipastikan selalu melibatkan kaum pemilik modal dan kekuatan apparatus Negara. Berbagai kebijakan neoliberal yang selalu dijaga dan diamankan oleh aparat militer pada akhirnya memberikan bukti bahwa militer dan modal, adalah sesuatu yang absolute di negeri ini. Kuatnya peran militer tersebut tentunya tak bisa dilepaskan dari doktrin Dwifungsi TNI. Kekuasaan militer telah menggurita bukan hanya di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi. Bukan hanya di wilayah supra-struktur politik seperti jatah kursi di DPR dsb, namun juga institusionalisasi militer merangsek jauh ke tingkat pemerintahan yang paling kecil—desa. Hal ini tentunya guna mempermudah memberangus setiap gerakan rakyat yang akan menentang kebijakan neolioberalisme-nya pemerintah. Negara, berikut aparatusnya, yang seharusnya berperan sebagai pelindung dan penjamin hak-hak rakyat akhirnya menjadi penyokong utama bagi dihapuskannya hak-hak rakyat antara lain subsidi, pendidikan murah, dan sebagainya.
Para penulis menilai, perlawanan ditingkat lokal menjadi signifikan karena dua hal. Pertama, belum adanya muara bagi sebuah perlawanan yang berskala nasional. Sehingga adanya inisiatif perlawanan local akan menjadi motor penggerak radikalisasi massa di tingkat desa/region. Inisiatif perlawanan tingkat lokal tidak akan mengalami kemajuan kualitatif jika meniadakan peranan organisasi (politik). Walaupun yang menjadi faktor pokok adalah kekuatan massa, namun keberadaan organisasi tetap diperlukanPembangunan organisasi berbasis sektoral memang sangat penting untuk memfasilitasi perjuangan tingkat sektoral namun untuk sebuah lokalitas yang memiliki keragaman sektor, pembangunan organisasi sektor tidaklah cukup. Artinya, dengan melibatkan segala sektor yang ada akan peningkatkan potensi sosial politik suatu daerah.
Disamping itu, pengorganisiran berbasis teritori akan menjadikan perlawanan lokal menjadi lebih kuat sekaligus terhindar dari watak sektarian. Dalam bidang politik, pengorganisiran berbasis teritori tidak bisa dilepaskan dari pendidikan politik yang diemban oleh organisasi (politik). Pendidikan politik sangat penting dalam upaya memerangi gejala depolitisasi dan apolitisasi massa sekaligus memperluas struktur kesempatan politik yang dibarengi dengan penyediaan akses informasi, serta kemampuan membangun jaringan yang lebih luas.
Dengan membaca buku ini akan mendapatkan gambaran sesungguhnya dari perjuangan rakyat dalam mendapatkan hak-haknya yang terampas oleh kekuasaan. Sudah saatnya negara disadarkan akan kewajiabnnya untuk melindungi rakyat bukan malah menindasnya.
Epung Saepudin
Anggota Dikprop Nasional FPPI
*tersebut pernah juga dimuat di koran seputar indonesia setelah melewati proses editing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment