Benarkah pilihan-pilihan sejarah manusia sedemikian harus dibatasi dengan garis yang memisahkan atau menghubungkan sosialisme dan kapitalisme? Kalau demikian halnya, alangkah sempitnya dunia; alangkah miskinnya manusia. (Manipol FPPI Nasional Demokrasi Kerakyatan).
IDEOLOGI: ANTARA SEJARAH TEORI DAN TEORI SEJARAH
Berangkat dari sebuah pernyataan diatas, membuat kita akhirnya sebagai kaum pergerakan harus berani segera mengambil sikap tegas atas sejarah Indonesia. Sikap yang semata-mata tidak hanya diwujudkan dalam hujatan-hujatan terhadap para penguasa zolim ataupun tindakan heroisme dan keterburu-buruan semata yang terkadang selalu terjebak dan selalu berujung pada kalkulasi untung rugi sosial saja. Pendekatan atas sejarah teori atau pendekatan teori sejarah menjadi hal yang sangat fundamental untuk dipilih dalam merangkai sebuah bangunan Ideologi. Jikalau kita meyakini bahwa talenta yang dimiliki manusia-manusia di dunia ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman (baca:heterogenitas) yang luar biasa, mengapa di dunia ini selalu ada kehendak dari beberapa sekolompok manusia yang masih menginginkan keseragaman (baca: homogenitas)? Apakah maksud-maksud dari ideologi-ideologi besar dunia hadir untuk menglobalisasikan keberadaan dan hakekat manusia di dunia menjadi satu sistem dunia? Sesungguhnya kemana gerangan arah yang dituju gerak cepat kemajuan yang dibikin manusia dengan kecanggungan metafisis yang masih belum bisa selesai bahkan dengan proyek sejarah yang dimulai sejak zaman Pencerahan sekalipun? Atau benarkah komunisme pada akhirnya malah menggali liang kuburnya sendiri karena maksud-maksud dari ideologi itu sendiri tidak sempat diimplementasikan oleh para penganjurnya dan penciptanya sendiri?
Menjadi manusia kaya atau miskin dalam pengertian sikap ideologi menjadi hal yang krusial bagi kaum pergerakan dalam menyusun pentahapan teori revolusinya sendiri. Sikap yang pernah diyakini oleh republik ini ketika memandang kelahiran Nasionalisme bangsa ini sebagai antitesa dari Kapitalisme-Sosialisme adalah merupakan suatu lompatan sejarah dalam republik ini untuk mendudukan kembali bangunan sejarah kembali ke rel yang seharusnya. Tapi ini bukanlah berarti bahwa Nasionalisme republik ini bisa mengungkung gerbong sejarah yang sedang terus berjalan. Disinilah kemudian menjadi hal yang sangat penting, bagaimana kita harus memahami dan memperlakukan ideologi.
Jika abad ke-19 dikenal sebagai "abad ideologi" (the age of ideology), ternyata abad ke-20 dipandang sebagai "akhir ideologi"(the end of ideology) lewat sosiolog Daniel Bell, atau oleh pemikir-pemikir liberal Francis Fukuyama malah disebut sebagai periode dari "akhir sejarah" (the end of history), bahwa Kapitalisme telah menjadi dari ujungnya sejarah peradaban umat manusia di dunia. Maka dengan apa kita ingin membuktikan bahwa ideologi belumlah terkubur dan dengan apa pula kita ingin mengatakan bahwa ideologi hadir bukan untuk kepalsuan dan dogmatisme suatu ajaran?
Sekiranya Nasional Demokrasi Kerakyatan (Nademkra) yang telah diusung oleh Front Perjuangan Pemuda Indonesia dalam menghiasi pergerakan di Indonesia selalma ini berusaha ambil andil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi yang harus disedari dari awal, bahwa ideologi bukanlah ilmu nujum yang disusun untuk impian dan ramal meramal perubahan. Kemampuan rasional manusia melihat masa depan harus dibuktikan dengan membangun relasi substansiil dengan proses yang berlangsung pada saat ini; bukan dengan mengumpul-ngumpulkan busa angan-angan menjadi gambaran yang seakan masuk akal. Pintu akal kita, yang dengannya pikiran kita bakal terbuka dan dapat merencanakan (ingat; merencanakan, bukan meramal) masa depan, adalah tindakan dialektika yang sungguh-sungguh kita wujudkan melalui ukuran dan hitungan kenyataan.(Manipol NDK)
Ini berarti tugas pergerakan di republik ini bukanlah menyusun dan merangkai teks-teks revolusioner di berbagai belahan dunia sebagai bahan untuk membuat karangan ideologi bagi Indonesia, namun tugas pergerakan hari ini adalah bagaimana kita bisa menuliskan ideologi kita sendiri dengan memasuki relung dalam ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat republik ini sebagai jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan. Pada akhirnya itu semua akan bermakna bahwa ideologi bangsa ini adalah milik seluruh rakyat Indonesia itu sendiri.
Tetapi sebelum kita membahas mengenai formulasi atas nademkra itu sendiri, mungkin kita harus bisa menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan terdahulu di awal tulisan ini.
DARI UTOPIA KE IDEOLOGI
Ideologi pada hakekatnya tidak pernah bisa terlepas dari sebuah teori. Sebab seperti yang dikatakan di atas tadi, ideologi adalah proses untuk merencanakan masa depan. Namun pemaknaan atas teori itu sendiri, dalam perjalanannya telah banyak mengalami perubahan-perubahan.
Pada pemikiran Yunani Purba sesungguhnya telah terbentuk suatu pertautan antara teori dengan praxis (yang kemudian disebut dengan bios theoretikos), yang mengacu menuju pada cita-cita etis, kebaikan, kebijaksanaan atau kehidupan sejati baik secara individual maupun secara kolektif di dalam polis (negara kota). Pada awalnya teori diadopsi dari kata theorea yang berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan Yunani kuno. `Theoros` adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus-ritus keagamaan. Di dalam perayaan-perayaan itu, orang ini melakukan theorea atau `memandang` ke arah peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia akan mengalami emansipansi dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani, pengalaman itu disebut katharsis: yakni pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, sesungguhnya teori memiliki kekuatan emansipatoris. Pada babak zaman ini, kita melihat bahwa teori lahir dari praxis kehidupan manusia saat itu.
Namun seiring munculnya pemikiran filsafat dalam masyarakat Yunani, akhirnya mulai memisahkan teori dari praxis. Sebab filsafat telah menarik garis batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang menyebabkan lahirnya ontologi dalam sejarah pemikiran manusia. Melalui teori, filsuf mulai menyusun konsep-konsep tentang ke-apa-an (hakekat) benda-benda dan apa yang disebut hakekat itu tak lain adalah inti kenyataan yang tak berubah-ubah. Kelahiran ontologi pada akhirnya telah mengikis habis bios theoretikos karena teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya dalam kehidupan praxis manusia (atau disebut juga kontemplasi kosmos), melainkan justru dengan menarik teori dari kehidupan praktis manusia untuk menuju pemurnian ilmu pengetahuan untuk menju suatu keadaan kontemplasi bebas-kepentingan (baca:sikap teoritis murni).
Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Sehingga pada selanjutnya positivisme akan mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika karena ontologi dapat menelaah apa yang melampaui fakta indrawi. Positivisme adalah kesadaran positivistis tentang kenyataan, khususnya sebagaimana yang diamati oleh ilmu-ilmu alam, yaitu klaim-klaim tentang fakta obyektif. Maka diluar ucapan-ucapan positif akan dinilai sebagai isapan jempol belaka, misalnya klaim-klaim moral, ucapan-ucapan estetis dan ontologi menjadi nonsense karena tidak dapat diverifikasikan secara kongkrit. Positivisme inilah yang kemudian menjadi suatu kesadaran manusia Barat.
Menurut Sastrapratedja, seperti halnya utopia, ideologi merupakan suatu bentuk imajinasi sosial. Fungsi ideologi adalah memolakan, mengonsolidasi, menciptakan tertib dalam arus tindakan manusia. Namun di satu sisi, ideologi dapat juga diartikan mempunyai fungsi untuk memperkuat rasionalitas kekuasaan sehingga dapat memiliki legitimasi. Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika perspektif ideologi konservatif yang hanya menjadikan legitimasi kekuasaan sebagai fungsi utama ideologinya sudah bercampur baur dengan pemikiran dan teori-teori ala pemikiran positivisme. Tentu saja, konsekuensi dari semua ini adalah timbulnya teori-teori murni (bebas-nilai), karena para perumus dan penganjurnya bekerja dalam tingkat abstraksi yang jauh dari kenyataan. Semakin abstrak legitimasi yang dibangun dengan kehidupan praxis masyarakatnya, pada akhirnya akan membawa ideologi tidak lagi menjadi sebagai prinsip tindakan manusia namun telah berkembang menjadi “kesadaran palsu”, karena ideologi telah memberikan legitimasi terhadap sistem yang sebetulnya berlawanan dengan nilai-nilai yang menjadi cita-cita masyarakat semula. Kontradiksi inilah yang kemudian menstimulus lahirnya ideologi komunis sebagai antitesa dari kapitalisme yang telah menjadi ideologi dari mereka yang menikmati keuntungan terbesar dari sistem yang ada, yakni penghisapan surplus value negara proletariat ke negara pusat kapitalisme.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis ala Mazhab Frankurt telah lahir sebagai kritik ideologi dalam mengemban tugas untuk membongkar `kesadaran palsu` ideologis dari postivisme. Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan ideologiekritik (Kritik-Ideologi), yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia dari dinding tebal yang memisahkan pengetahuan dengan kehidupan praxis manusia, yakni dengan menemukan kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia itu sendiri. Di sini kita bisa melihat perbedaan yang cukup mendasar dari aliran Marxisme orthodok dengan Teori Kritis ala Frankurt yang juga berhaluan Marxisme, yang tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma (baca:dogma) melainkan memperlakukannya sebagai alat analisis. Sekiranya pemikiran Marxisme kritis gelombang pertama telah membuat ideologi marxisme itu sendiri menjadi rahim atas kesadaran-kesadaran palsu di masyarakatnya. Kita bisa melihat, kehadiran Stalinisme dan Fasisme akhirnya malah menandai suatu peralihan dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang ditangani langsung oleh para penindas. Dengan kata lain, fasisme dan maupun Stalinisme yang bermaksud mewujudkan masyarakat sosialisme itu tak lain dari perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme yang disebut dengan kapitalisme negara. Dan untuk kesekian kalinya, seakan-akan kapitalisme telah menunjukan keluwesan ideologinya dalam mempertahankan legitimasinya sebagai the end of history dunia ini. Benarkah itu ???
NADEMKRA, NADEMKRA, NADEMKRA…
Pelajaran yang bisa kita petik sebagai kaum pergerakan ketika memandang perjalanan sejarah ideologi-ideologi besar dunia, bahwa sejarah itu nyata adanya dan “teori revolusi yang tidak disusun dari dan sebagai praksis perjuangan adalah cerita yang hanya layak didengar dan mungkin malah akan menidurkan kembali kesadaran masyarakat dan bangsa-bangsa tertindas-terjajah justru ketika mereka berada pada masa-masa kebangkitannya. Membongkar penindasan-penjajahan modern dan lapis-lapis ideologi yang menyelimuti adalah masa depan perjuangan kerakyatan di Indonesia”.(Manipol NDK)
Untuk itu, kita harus segera membalikan urutannya, bukan sosialisme dan kapitalisme yang telah menjadi batas pilihan-pilihan gerak sejarah tetapi sejarah lah yang memberi batas untuk kapitalisme dan sosialisme. Dengan begini, kita bisa melihat bahwa (ternyata) dunia sedemikian luas dan manusia sudah begitu kaya. Dan Nasional Demokrasi Kerakyatan (NDK) sebagai antitesa dari ideologi-ideologi besar dunia juga memiliki kesempatan sejarah hari ini sebagai bahan refleksi dan basis teori sikap tindakan rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan 100% atas pertukaran yang timpang dari Kapitalisme Global serta sisa-sisa bangunan feodalisme yang telah bercokol lama di negeri ini. Menjadi jelas, bahwa sikap sejarah kaum pergerakan hari ini seharusnya setia dan tetap percaya untuk menggunakan pendekatan sejarah teori. Sebab masa depan negeri ini bukanlah dicukupkan ketika aktifis-aktifis kiri-kanan atau tengah itu sekalipun telah merasa cukup ketika sudah mempelajari dan menghapalkan teks-teks revolusioner yang itu sesungguhnya berasal dari pengalaman orang lain dan bukannya pengalaman kita sendiri. Kaum pergerakan haruslah mampu untuk menjadi konteks (bukannya teks) dan selalu berdialetika antara teori yang sedang dibangun dengan gerak laju realitas masyarakatnya sendiri. Kalo Lenin pernah mengatakan : “Tidak ada Gerakan Revolusioner Tanpa Teori Revolusioner”, maka hari ini harus kita ralat menjadi “ Tidak Ada Gerakan dan Teori Revolusioner tanpa Kesadaran Revolusioner”. Dan kesadaran revolusioner ini harus lahir atas tarikan praksis dari obyektivitas sejarah, local atau indigenous knowledge, yakni pengalaman-pemahaman otentik ketika berhadapan dengan penindasan dalam memperjuangkan pembebasannya”
Mengembangkan teori praksis tentang nasional demokrasi kerakyatan dalam semangat building new path of proletariat movemen, juga harus kita pandang sebagai Indonesian way to build internasional justice/global fairness Ini artinya, bahwa kita berkewajiban untuk terus mencerdasi konflik yang terjadi dari sekian peristiwa sosial ekonomi politik juga kebudayaan yang terjadi sebagai efek dari praktek liberalisasi. Di sisi lain, bangunan masyarakat produksionis maju harus dapat mengukuhkan Nasional Demokrasi Kerakyatan yang juga mampu memposisikan diri sebagai mode of production, bagian dari masyarakat internasional dengan siasat atas segala dampak maupun kecenderungannya. Kita sebagai anak negeri ini haruslah percaya dan yakin 100% bahwa Indonesia masih bisa menjadi intelektual organik bagi negara-negara dunia ketiga, sebab posisi republik ini untuk mewujudkan Keadilan Global sangat signifikan. Ketika banyak daerah di Eropa sadar bahwa krisis ke depan adalah krisis air bersih, tiba-tiba di Indonesia lahir UU Sumber daya Air. Ketika Amerika Latin mulai bergerak ke arah kiri dengan menasionalisasi aset perusahaan minyak Amerika Serikat, tiba-tiba Condeleza Rice datang ke Indonesia untuk merebut Blok Cepu dari pangkuan ibu pertiwi, belum lagi Freeport sebagai perusahaan tambang emas terbesar di dunia telah ratusan tahun menjadi penyuplai upeti terbesar ke AS dan sekutunya. Belum lagi, praktek-praktek liberalisasi segala bidang yang pada akhirnya mengakibatkan jasa pelayanan publik dan sosial di negeri ini melambung tinggi juga menjadi catatan panjang bahwa sesungguhnya bangsa kita adalah bangsa besar yang pada suatu saat rakyat akan segera merapatkan barisan untuk merebut kedaulatan kuasa rakyat atas tanah, air dan udaranya sendiri.
REVOLUSI BERARTI MEMULAI
Tidak ada gladi resik dalam revolusi. Itulah satu-satunya alasan kenapa kita butuh kewaspadaan, bukan kecurigaan yang hanya akan melahirkan rencana-rencana gerakan tidak lebih sebagai bentuk lain frustasi permanen para pemburu kekuasaan. Demokrasi tidak bisa dipahami sebagai ajang perebutan kekuasaan semata melainkan harus dipahami untuk memenuhi kepentingan rakyat yang terjalin lewat logika ekonomistis sebagai turunan dari moda produksi yang dimungkinkan dalam sebuah formasi sosial. Membangun demokrasi kerakyatan melalui jalan pergerakan ekstraparlementer haruslah kita dudukan sebagai fase pentahapan masyarakat kita hari ini yang masih terkontaminasi atas sentimen pengelompokan sosial yang berakar dari politik aliran (baca:Oligarki Politik) yang berkembang di tingkatan elit politik. Mengambil pilihan politik untuk tidak masuk dalam wacana parlementarian dan elitisme adalah pilihan rasional dari situasi anomali dan amnesia kolektif yang sedang berjangkit dan berkembang di masyarakat.
Situasi masyarakat yang tidak rasional dan tidak demokratis ini terjadi dikarenakan terhambatnya / tidak berkembangnya artikulasi cara-cara produksi (mode of production) di Indonesia secara wajar. Hal ini disebabkan karena peralihan kapitalisme di dunia ke III, secara umum dan Indonesia khususnya, tidaklah menciptakan kapital yang kuat justru menjadikan bangsa ini tergantung baik pada level ekonomi (produksionist) maupun politik (dependencia). Atas dasar pijakan analisis di atas mengakibatkan tidak terbentuknya/munculnya kelas sosial (berbasis produksi) yang kuat sampai hari ini.
Mengutip pidato tahunan Hugo Chaves di Gedung Parlemen Venezuela, “...bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan”. Inilah yang membedakan Nademkra FPPI dengan Nademkra (Nasionalisme Demokrasi Kerakyatan) ala Papernas. Nasionalisme republik ini tidak bisa semata-mata dibangun dengan menjadikan politik sebagai panglima dan pengertian Nasionalisme ala Soekarno yang hanya terjebak dalam pengertian ikatan teritorial wilayah kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke saja. Na dalam pengertian Nasional Demokrasi Kerakyatan adalah suatu ide dalam rangka perang posisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan menyandarkan pada gerakan ekonomi politik berbasiskan emansipasi massa. Sehingga menjadi penting apa yang telah dikemukakan Marx bahwa pengertian nasional harus dimaknai sebagai sebuah modal dagang di mana dependencia harus dipahami dalam pengertian politik: negara dalam pengertian nation bukanlah terjebak dalam bentuk konsolidasi primitif semata sehingga kemerdekaan 100% yang kita yakini harus dapat diidentifikasikan dalam pengertian produksi, dimana negara dan rakyat akan menggunakan menjadikan air, udara tanah beserta isinya sebagai alat produksi dan menciptakan cara produksi yang mampu menciptakan pemerintahan demokratik dalam pengertian anti imperialisme dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Tapi bagaimanapun, pada akhirnya ini bukan merupakan justifikasi atas gagasan sesuatu kelompok atas kedaulatan negeri ini. Seperti yang telah diutarakan diatas, bahwa tugas kaum pergerakan bukanlah mengarang ideologi melainkan menuliskan ideologi sesuai dengan gerak laju realitas masyarakatnya. Entah itu FPPI, FSPI, PRD, HMI, PMII, FMN ataupun yang sampai hari ini masih mengatasnamakan sebagai gerakan pro demokrasi, tidak bisa merajut emansipansi bagi negeri ini dengan hanya menjadi teks bagi perubahan bangsa ini dan juga kita tidak perlu meragukan apakah Indonesia akan terjebak di antara diskursif atas kematian sosialisme dan kemustahilan menghindari kejayaan kapitalisme; cara pandang kita musti menyertakan pertimbangan bahwa bagi dan dalam konteks masyarakat Indonesia, baik kapitalisme maupun sosialisme sekalipun —–sebagaimana sudah dikemukakan di muka—–dan menyejarah bersama emansipasi rakyat yang telah tertanam dalam jiwa para petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan, mahasiswa, PKL dan semesta rakyat Indonesia semenjak zaman pergolakan di era kolonialisme muncul. Sebab pertautan antara teori dan praxis harus menjadi pondasi utama dalam merumuskan ideologi dan dalam ideologi kita tidak bisa menformalkan suatu aliran pengetahuan tertentu dan dalam rangka itu semua siapapun berhak untuk melakukannya dan pada akhirnya sejarah lah yang akan menjadi hakim atas rumusan-rumusan perubahan itu sendiri.
-----------------------
Wassalam... (BG)
By: Dept. Pendidikan dan Propaganda FPPI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment