30.7.07

Misteri Kapitalisme dan Kegagalan Dunia Ketiga

"Ketika kapital tidak hanya menjadi sebuah cerita keberhasilan di Barat tetapi juga di mana saja, kita dapat bergerak di luar batas dunia fisik dan menggunakan pikiran kita untuk membubung jauh ke masa depan". Hernando de Soto

Jika menganggap kapitalisme, dengan prinsip utamanya akumulasi dan ekspansi, bisa hidup di segala tempat dan mampu "menyejahterakan setiap pemeluknya", setelah membaca buku ini kita akan sadar bahwa pemikiran itu semakin tidak relevan. Sebagai contoh, Orde Baru memang mengikatkan diri ke dalam lingkungan kapitalisme global sambil berharap mendapatkan kesejahteraan melalui prinsip trickle down effect. Namun, hal tersebut dilakukan atas desakan lembaga multinasional dan dilakukan sekadar menyodorkan keunggulan komparatif yang sangat tidak memadai sebagai amunisi untuk bertarung dengan negara-negara maju yang mengusung kapitalisme.

Buku yang didasarkan atas penelitian praktis di berbagai negara ini mengajukan jawaban atas pertanyaan yang tak kunjung tuntas dan sudah lama tak terjawab di berbagai negara bekas jajahan atau Dunia Ketiga. Pertanyaan itu adalah pertanyaan besar mengenai kegagalan banyak negara berkembang (Dunia Ketiga) yang ingin menerapkan sistem kapitalisme yang tampak begitu baik dan berhasil di Barat, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, ternyata selalu "gagal" ketika diterapkan di negara Dunia Ketiga (berkembang). Bahkan, di kalangan negara bekas negara jajahan, seperti Indonesia, ternyata tidak pernah bisa terjawab apakah kegagalan menerapkan kapitalisme merupakan kesalahan mereka sendiri atau memang sistem ekonomi kapitalisme itu pada dasarnya tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara mereka.

Peter L. Berger, dalam buku The Capitalist Revolution: Fifty Proposition about Prosperity, Equality and Liberty, mengutarakan tujuh ciri utama sistem kapitalisme tulen. Ia dibesarkan oleh kebebasan pasar, kalkulasi rasional, alat produksi sebagai milik pribadi, adanya sistem hukum rasional, alat produksi sebagai milik pribadi, adanya sistem hukum yang rasional, pengembangan teknologi yang rasional, komersialisasi ekonomi, dan adanya buruh bebas.

Nah, jika mengikuti kategori Berger tersebut, kita akan sulit menemukan tujuh ciri di atas terpenuhi oleh negara-negara miskin dan bekas jajahan agar bisa menjadi kapitalis laiknya Amerika atau Eropa. Ambil contoh pengembangan teknologi yang rasional. Kita bisa melihat kebijakan Indonesia ketika melaksanakan proyek mercusuar tentang industri pesawat semasa Orde Baru. Proyek tersebut nyata-nyata gagal karena dilakukan berdasar ambisi tanpa memperhitungkan kalkulasi rasionalnya. Imbasnya tidak bisa dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Akhirnya, jika mengikuti pemikiran Hernando de Soto dalam buku ini, sangat wajar jika pengembangan teknologi itu tidak berimbas pada proses pembentukan kapital negara. Malah menjadi sangat ironi ketika krisis ekonomi pesawatnya hanya mampu ditukar dengan beras ketan dari Vietnam. Persoalan lain yang tidak mendukung terjadinya kapitalisme lokal di Indonesia adalah tidak adanya teknologi. Sebab, bukan rahasia lagi kapitalisme tidak pernah bisa dilepaskan dari dunia industri (teknologi).

Dalam buku ini, De Soto mengajukan pemikiran bahwa kegagalan kapitalisme di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan yang selama ini telah biasa diterima: perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Sebab, menurut De Soto, kehidupan Dunia Ketiga justru sangat akrab dengan kerja keras, keterampilan, dan kewirausahaan. Basis pemikiran De Soto adalah bahwa kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran.

Dalam buku ini De Soto mengemukakan kegagalan negara-negara selain Barat dalam mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kapitalisme disebabkan oleh ketidakmampuan negara tersebut untuk menciptakan kapital. Muncul pertanyaan, apa itu kapital? Bagi De Soto, kapital diartikan sebagai kekuatan yang mampu mendorong produktivitas kerja (labor productivity) dan menciptakan kekayaan bangsa (the wealth of nation). Pertanyaan selanjutnya, apa dan bagaimana caranya menciptakan kapital? Di titik pertanyaan itulah buku ini hendak memberikan jawabannya.

Tesis utama buku ini adalah bahwa properti sangat menentukan bagi perkembangan kapitalisme. Yang dimaksud properti oleh De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital. Kelemahan negara-negara non-Barat, seperti Indonesia, sehingga tidak bisa mengembangkan kapitalisme adalah karena mereka tidak memiliki properti sebagaimana dimaksud De Soto.

Bahkan ada ironi yang menyesakkan yang terjadi di Indonesia. Bahwa sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia, mengutip Dawam Rahardjo, dimiliki oleh sebagian kecil penduduknya, sementara sebagian besar penduduk Indonesia memperebutkan sebagian kecil kekayaan yang tersisa.

Hal penting yang sangat perlu dipahami dari pemikiran De Soto adalah properti bukanlah benda fisik yang dapat difoto dan dipetakan. Properti bukanlah sebuah kualitas utama aset, tapi suatu ekspresi legal tentang aset yang berasal dari konsensus yang memiliki makna ekonomi. Bahkan, menurut survei yang dilakukan penulis buku ini, negara-negara paling miskin sekalipun memiliki aset yang jumlahnya bisa melebihi 40 kali lipat dari total jumlah bantuan asing yang diterima oleh negara-negara itu di seluruh dunia.

De Soto berpendapat bahwa dasar keberhasilan ekonomi kapitalisme Jepang dan Amerika bersumber pada sistem hak milik yang jelas yang telah dibuat sejak zaman sebelum Perang Dunia I. Menurut De Soto, teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai kapital guna mengembangkan bisnis dan kewirausahaan. Sebagai akibatnya, kelompok petani di dunia berkembang selalu terperangkap dalam kemiskinan, ketika petani hanya mampu menanam untuk kebutuhan hidupnya sendiri.

Gagasan utama yang diusung dalam tulisan-tulisan De Soto adalah masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Dalam buku ini, De Soto menggunakan karya John R. Searle, yang berjudul The Construction of Social Reality, sebagai pijakan dasarnya. Buku tersebut membahas hubungan-hubungan sosial yang dibutuhkan dalam membentuk modal dan menghasilkan uang.

Menurut De Soto, ada lima misteri yang harus dipecahkan oleh negara berkembang agar properti-properti yang mereka miliki bisa menghasilkan kapital. Kelima misteri itu adalah misteri tidak adanya informasi, misteri kapital, misteri kesadaran politik, misteri hilangnya pelajaran yang diberikan oleh AS pada masa lalu, dan misteri kegagalan hukum. Kelimanya saling terhubung dan menentukan berhasil atau tidaknya sebuah properti bisa menciptakan kapital dan mungkin atau tidaknya kapital itu kemudian mampu diakumulasikan secara lebih luas.

Dalam bab terakhir buku ini, De Soto, yang pernah datang ke Indonesia dalam diskusi dan peluncuran buku edisi Inggris, mengajukan lima hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh pemerintah guna menciptakan kapital demi kesejahteraan bangsanya. Kelima hal itu adalah: 1. Situasi dan potensi kelompok miskin perlu didokumentasikan dengan lebih baik; 2. Semua orang mampu menabung; 3. Yang tidak dimiliki kelompok miskin adalah sistem properti yang terintegrasi secara legal yang mampu mengubah pekerjaan dan simpanan mereka menjadi kapital; 4. Ketidaktaatan sipil dan mafia sekarang ini bukan merupakan fenomena marginal, melainkan hasil pergerakan miliaran manusia dan kelompok-kelompok yang terorganisasikan ke dalam skala kecil hingga skala besar; 5. Kelompok miskin bukanlah permasalahan, melainkan solusi.

Di penutup buku ini De Soto dengan tegas mengatakan bahwa mengimplementasikan sebuah sistem properti yang menciptakan kapital merupakan tantangan politik karena akan berhubungan dengan banyak orang, selain ia juga berhubungan dengan pemahaman atas kontrak sosial dan perbaikan sistem legal.

No comments: