28.3.08

Catatan dari Ujung Kulon II


Abah Sukemi, seorang nelayan. Ia berbesan dengan lurah kampung—Kamirudin. Anak-anak lelakinya mengikuti jejak sang ayah. Setiap hari melaut. Tubuhnya kekar, hitam terpanggang matahari.

Siang hari kami berangkat. Cikawung Girang menuju desa Cikawung. Jarak tempuh tak seberapa. Sungai yang menjadi pintu utama desa Cikawung Girang agak sukar dilalui. Dua hari hujan turun tanpa henti. Volume air meluap, arus bertambah deras. Abah Kemi tak mau dikecewakan. Dua bulan lalu kami ke sini, ia merasa agak cemburu. Hanya desanya yang tak dikunjungi.

Bukan maksud hati enggan mengunjungi. Sukemi dan anak-anaknya tak sungkan memperlakukan teman-teman laiknya raja. Padahal, kita tak tahu bagaimana kondisi ekonominya. Udang laut bertubuh gemuk, ikan bakar dan sambal asam dihidangkan. Untuk menu yang disajikan, kita perlu mengeluarkan kocek kira-kira sebesar Rp.300.000—itu di Jakarta. Di Ujung Kulon, laut, ladang, sawah dan hutan memberikan segalanya. Masyarakat tak begitu saja mengambil. Di sini berlaku kepercayaan. Yang telah diamalkan secara turun temurun sejak generasi pertama Abah Pelen.

Abah Pelen dipercaya warga sebagai leluhur masyarakat Ujung Kulon. Ia adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Syahdan, ia merupakan salah satu orang kepercayaan Soekarno. Ia juga dipercaya memiliki kemampuan supranatural—hal yang lazim di masyarakat sini. Abah Pelen meninggalkan pesan untuk anak-cucunya. Mereka yang hidup bersanding dengan alam. Manusia, adalah srigala. Tapi di sini, manusia adalah penjaga. Sangat dilarang untuk menebang pohon sembarangan. Balai Taman Nasional Ujung Kulon tak bosan menuduh warga sebagai perambah huton. Di kampung, nama abah Pelen masih begitu dikagumi. Pesan-pesannya, dijunjung begitu tinggi.

Abah Sukemi, sama seperti leluhurnya. Meski ia tak berladang. Ia mengambil isi laut seperlunya. Subsisten. Abah Sukemi dan nelayan lainnya, melaut dengan cara yang masih tradisional. Kapal kayu yang ditumpangi tak mampu menampung awak berhitung belasan. “ Saya baru bisa menangkap udang tahun 1999,” ujar abah Kemi polos. Ia mendapatkan pengetahuan menangkap udang dari nelayan Indramayu yang datang. Jaring pukat yang digunakan nelayan sini pun mulai beragam.

No comments: