4.3.08

Aroma Derita Warga dan Komitmen Pemerintah

Peraturan dan perundangan-undangan Indonesia secara jelas menyatakan bahwa penguasaan tanah diatur oleh negara dan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan pengusaha.

Telah satu minggu Oman ditempatkan di penjara Polres Palabuan Ratu. Jumat malam 23 Februari 2007, Oman ditangkap dan langsung ditahan kepolisian, dengan alasan telah memasuki dan menggunakan lahan perkebunan Tugu Cimenteng Sukabumi, tanpa ijin. Keesokan harinya, Imas, sang istri baru mengetahui keberadaan suaminya. Imas tidak menangis, meski hatinya sedih. Sesungguhnya, ia merasa sangat takut. Tidak terbiasa dengan keadaannya kini. Tanpa suaminya—dalam hari-harinya. “ Saya nanya, kata orang-orang dia di rumah komandan,” papar Imas. Kedua anaknya belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Satu minggu pula Imas tidak memasak makanan. Sawahnya dibiarkan terlantar. Rumahpun enggan dibersihkan. Semangatnya hilang, kerapuhannya datang. “ Ya gimana, kita istri masak ama bebenah buat nyenengin suami, biar suami betah di rumah. Gara-gara ini, saya jadi malas ngapa-ngapain. Makan saja nggak nafsu.” Kedua anaknya bergantian diurus para tetangga, sering juga mertuanya. Kedua orangtua Oman tinggal tak jauh dari kediaman mereka. Angga si sulung, beberapa kali menanyakan keberadaan bapaknya. Imas hanya dapat memberikan kebohongan yang sama, sebelum ia mengetahui keberadaan suaminya. Setelah penangkapan, beredar desas-desus penangkapan lanjutan. Kali ini ditujukan pada kaum perempuan dan anak-anak. Istri dan keluarga “pembangkang”. Ketakutan Imas bertambah. Atas prakarsa warga, ia diungsikan ke kediaman Komandan.

“Komandan”, alias Taufik selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam menghadapi masalah sengketa tanah mereka. Berbekal pengetahuan akademik, Taufik yang pernah mengenyam pendidikan Sejarah sejak tahun 1990 di Universitas Indonesia dengan sukarela membantu warga. Ia menikah, memiliki anak dan menetap di sana. “ Lebih enak tinggal di desa. Di Jakarta semuanya mahal, yang murah cuma satu, harga diri,” ujarnya berkelakar. Jalur ekstraparlemen pernah ditempuhnya, perlawanan dari jalanan. Ini tidak cukup. Berbekal kepercayaan warga, Taufik yang kini sedang menunggu kelahiran anaknya yang kedua maju dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Ia terpilih, dan pada tahun ini pula, ia akan dilantik sebagai lurah desa Bojong Haur, Sukabumi.

Penangkapan

Iptu. Enan Supena. SH. Bripka. Cahya. Spd. Bripda. Anthonius. Amd. Briptu. Omon Sutisna Spd. Bripda. Ali Indriawan—berbekal surat perintah penangkapan dengan nomor : Sp.Kap/40/II/2007/Reskrim datang ke kampung Cibunut, Babakan Baru (BBR). Bersama mereka, Kanon yang juga warga setempat, merangkap keamanan perkebunan menjadi pemandu—penangkapan tetangganya. Tanpa perlawanan berarti, Oman ditangkap. Sebelumnya, ancaman dan teror dialami. Penangkapan dan penahanan ini bukanlah kali pertama dialami Oman. Tahun 2004, ia mendekam di prodeo selama duapuluhtujuh hari. Surat penangkapan menginstruksikan untuk membawa serta Sohibin, Kosasih, dan Hidayatulloh. Ketiganya lari ke hutan. Bersembunyi di sana. Sohibin dan Kosasih serta bapak Oman, meneruskan perjalanan ke Jakarta. Menembus hutan, melewati bukit. Berharap derita yang dialaminya akan dibantu oleh “orang-orang pintar” di Jakarta. Usahanya tidak sia-sia. Gerak Lawan, Gerakan Rakyat Lawan Nekolim dengan segera berangkat ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan dua kendaraan. Ada tujuh belas orang, termasuk Kosasih. Dari Jakarta, rombongan langsung menuju Polres Palabuan Ratu, tempat Oman ditahan. Setiba di sana, polisi piket menjelaskan bahwa Kapolres sedang tidak ditempat. Begitu juga Wakapolres, petugas penyidik dan Iptu. Enan Supena SH, petugas berwenang yang menangkap dan menahan Oman. Iptu. Budhi, selaku petugas piket mengantarkan rombongan membesuk Oman. Pembicaraan diawasi, pengambilan gambar dilarang. Oman menyerahkan kuasa hukumnya pada pengacara dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia). “ Ini merupakan tindakan waspada hukum, jika kasus saudara Oman ditindak lanjuti hingga pengadilan.” Ujar Janses, koordinator tim pengacara. Bersamanya Manahar dan Benny, masing-masing pengacara PBHI.

Setelah dari polres, rombongan Gerak Lawan bergerak ke kecamatan Lengkong. Sebelumnya, kami mampir di kediaman “komandan”, mendiskusikan kronologi dan langkah-langkah yang akan ditempuh selanjutnya. Pukul sembilan malam, rintik gerimis dan lantunan suara alam malam menyertai kami ke kediaman camat Lengkong. Tak sungkan, ia mengajak kami ke kantornya. Pertemuan merekomendasikan camat untuk meninjau ulang kasus sengketa tanah yang dialami warganya. Rapat Muspika akan segera digelar, sehubungan dengan kasus ini. Tugas pertama dalam satu bulan jabatan barunya sebagai camat Lengkong.

Dusun BBR

Kampung Cibunut, desa Cilangkap, kecamatan Lengkong kabupaten Sukabumi. Dusun Babakan Baru, dihuni 20 kepala keluarga. Ada dua puluh rumah hunian, dan satu Musholla, yang kesemuanya berbentuk rumah panggung. “ Kita sih pengennya permanen, tapi kan dilarang.” Ujar Kosasih, menjelaskan mengenai model rumah panggung yang dihuni warga. Memerlukan waktu sekitar tiga jam dengan berjalan kaki menuju dusun BBR. “ Bisa cepat, lewat jalan pintas. Kira-kira satu setengah jam-lah nyampe.” Untuk memasuki wilayah ini, tersedia ojek. Bebatuan kasar, jalan tanah menyempit. Hujan yang datang merupakan tantangan tersendiri bagi orang yang hendak menyambangi dusun yang terletak di balik bukit perkebunan teh. Penumpang ojek tidak selama perjalanan dapat duduk di atas jok motor. Jika dirasa sulit, supir ojek akan meminta penumpangnya untuk turun dan berjalan kaki. “ Demi keselamatan,” ujar supir ojek. Bersama kami, seorang yang pernah aktif menjadi penggemar alam. Berbekal petunjuk via sms, dia berada di depan, menunjuk jalan.

Bermula pada bencana tanah longsor yang terjadi tahun 1999, di Kecamatan Lengkong, Sukabumi. Kosasih, kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap dan tokoh masyarakat lainnya, meminta agar sebanyak 150 KK direlokasi. Dibuatlah kesepakatan antara, Muspika (musyawarah pimpinan kecamatan) Lengkong, Kadus Cilangkap, masyarakat dan pihak perkebunan Tugu Cimenteng—agar warga yang rumahnya terancam longsor direlokasi.

Perkebunan Tugu Cimenteng, PT. J.A. Wattie, mendapatkan HGU (Hak Guna Usaha) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.44/HGU/BPN/1998. Tanah seluas ± 1.893,7160 Ha diberikan HGU dengan komoditi teh kepada PT.J.A Wattie yang akan berakhir haknya pada 31 Desember 2023.

Hingga tahun 2001, terdapat 12 KK yang telah direlokasi, jauh dari permohonan warga dan hasil inventarisir yang telah disepakati. Masing-masing KK yang telah direlokasi mendapatkan tanah dari PT. J.A. Wattie, perkebunan Tugu Cimenteng sebesar 200m2, dengan status pinjam pakai. Warga yang direlokasi, membersihkan sendiri tanah yang kelak akan digunakannya. “ Dulu mah ini alang-alang. Kita bersihin sendiri. Namanya tanah di bukit.” Ujar Kosasih. Alang-alang tinggi, perkebunan yang tidak terawat, pucuk-pucuk daun teh tidak dipetik. Masuk ke tengah areal perkebunan, tampak pohon-pohon karet yang berusia muda. “ Setelah tanah kita bersihin, perkebunan nanam karet. Mereka bilang, tanah yang kita bikin rumah juga akan ditanam karet.” Di atas kerta ijin HGU adalah penanaman teh. Di lapangan, areal perkebunan ditanami karet. Inilah yang menjadi alasan pengusiran warga. Perkebunan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pembersihan lahan.

Pihak perkebunan keras berusaha mengusir warga. Teror senantiasa datang. Mereka ketakutan. Warga tidak mau pergi. Mereka tetap berupaya untuk mempertahankan rumahnya. Pinjam pakai yang disepakati atas tanah yang digunakan warga tidaklah gratis. Setiap panen, mereka wajib menyetorkan parabon sawah (hasil panen) pada pihak perkebunan. Parabon sawah yang disetorkan, disesuaikan dengan luas tanah yang mereka gunakan. Umumnya, mereka bertanam padi, kacang tanah, jagung dan ubi kayu. “ Warga memang harus mempertahankan tanahnya. Kemana lagi mereka akan tinggal dan mencari nafkah.”

Kekerasan Pada Petani

Adalah Engkos Kosasih. Mantan kepala dusun Cijeruk, desa Cilangkap. Sejak tahun 1980 ia telah dipercaya masyarakat untuk memimpin dusun. Atas prakarsanya pula warga mendapatkan relokasi atas tempat tinggal yang terancam longsor. Semasa menjabat sebagai kepala dusun di BBR, melanjutkan amanah setelah hijrah dari Cijeruk—ialah yang paling sering diintimidasi, oleh perkebunan dan kepolisian. “ Tahun 2004, saya diundang ke kecamatan, untuk membicarakan hal ini. Belum sampai di kecamatan saya dihadang pasukan Brimob. Saya ketakutan. Sama mereka saya disuruh tandatangan surat.” Kosasih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya. Ia diminta secara paksa untuk menandatangani surat, yang berisi tuntutan agar tidak lagi menghasut warga dan tidak lagi muncul di masyarakat. Ia sangat tahu, ancaman yang akan didapatkan jika tidak menendatangani surat yang disodorkan Brimob. Pasukan Brimob juga pernah menyerbu masuk ke dusun BBR. Memeriksa rumah-rumah, mencari dan menangkap para lelaki, serta mengejar untuk menahan kelompok yang membantu masyarakat untuk mempertahankan tanahnya. “ Kita lari dan bersembunyi ke hutan.” Kata Hidayatulloh. Lari dan bersembunyi ke hutan, merupakan pilihan yang diambil oleh sebagian besar warga untuk menghindari teror dan kekerasan yang dialami oleh mereka. Budaya perlawanan sangat jarang dalam masyarakat Sunda. Mereka memilih menyingkir. Pendidikan yang relatif rendah, serta budaya cinta damai menjadi latar belakang yang menjelaskan pilihan tersebut. Lelah terus-menerus diteror, Kosasih dan beberapa warga mencari bantuan lain.

Di sana, rombongan Gerak Lawan, dipertemukan dengan masyarakat yang tersebar di beberapa lokasi dusun. Anak-anak, orang tua dan para istri. Tidak tampak wajah-wajah pemuda dalam pertemuan yang di gelar di halaman rumah Kosasih. “ Anak mudanya pada di kota. Kerja konveksi, pembantu rumah tangga. Kalau Lebaran nanti baru pulang.”

Hidayat, pun kembali dari persembunyiannya di hutan. Kegiatan pengajian yang dipimpinnya belum dapat dilaksanakan segera, setelah terhenti akibat kaburnya Hidayat, menghindar dari upaya penangkapan aparat. Kejar-kejaran warga dengan aparat, teror yang diterima warga menyebabkan terhentinya kerja masyarakat. Sawah tidak terawat, sebagian dari mereka memilih bersembunyi.

Reforma Agraria

Sebagai upaya penyelesaian konflik agraria, dan upaya mengatasi ketimpangan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan struktur agraria, pemerintah Indonesia saat ini menyelenggarakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sebanyak 8,15 juta hektar tanah akan akan di re-distribusi kepada petani. Program yang dipimpin langsung oleh Presiden melalui kepala Badan Pertanahan Nasional, sejatinya akan mengurangi angka kemiskinan masyarakat Indonesia.

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menjadikan agenda pembaruan agraria sebagai bagian dari visi, misi dan program pemerintahan. Pelaksanaan agenda ini diletakkan dalam dua kerangka program pembangunan nasional, yaitu sebagai bagian dari agenda “perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesaan”. Sesuai Perpres 10 Tahun 2006, pelaksanaan agenda ini juga menjadi mandat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Agenda ini, bersama dengan pengkajian dan penanganan konflik agraria, merupakan bagian dari 21 fungsi BPN RI dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

Pada tataran kebijakan, titik tolak bagi pelaksanaan agenda ini juga telah ditunjukkan oleh komitmen pemerintah yang dinyatakan Presiden SBY beberapa waktu lalu untuk mengalokasikan sejumlah lahan sebagai obyek pelaksanaan pembaruan agraria. Hal ini akan dilaksanakan dalam sebuah kerangka terpadu Program Pembaruan Agraria Nasional (disingkat PPAN). Kerangka terpadu PPAN ini mengandung pengertian bahwa agenda pembaruan agraria harus dijalankan dengan kandungan dua aspek sekaligus. Selain merupakan upaya struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria (baca: asset reform), ia juga mesti diikuti program-program pendukungnya yang membuat aset tadi akan berkembang produktif, seperti dukungan teknologi, pendidikan, pembiayaan, infrastruktur, pasar, kebijakan ( access reform).

Dengan kedua aspek ini, maka pelaksanaan pembaruan agraria secara langsung akan berkontribusi kepada penyelesaian konflik agraria, penciptaan sumber-sumber baru kesejahteraaan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Tetapi lebih dari itu, dengan berkembangnya aktivitas perekonomian pertanian di pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembaruan agraria memiliki landasan yang kuat bukan saja dari sudut politik dan hukum, tetapi juga secara sosial dan ekonomi.

Seiring dengan komitmen pemerintah ini, hal yang kemudian harus dilakukan adalah menggalang kebersamaan dan kesatupaduan langkah di antara semua komponen bangsa secara umum, dan khususnya mereka yang bergerak di bidang agraria. Kebersamaan dan kesatupaduan langkah ini penting untuk menjamin agar pelaksanaan PPAN ini dapat berlangsung secara sinergis, terkelola, dan terarah sehingga berhasil mencapai tujuannya untuk menjamin akses rakyat pada sumber-sumber agraria, mendorong perekonomian nasional, dan melahirkan kemakmuran bangsa secara keseluruhan.

” Udah miskin, dianiaya pula,” keluh Imas. Imas berupaya tetap tabah. Ia yakin, yang dialami suaminya adalah konsekuensi perjuangan yang juga menimpa banyak orang, sehubungan dengan konflik tanah yang dialami masyarakat. Di luar itu, ia tidak memahami pertarungan besar antara kekuatan koorporasi-koorporasi dengan masyarakat miskin. Akankah negara dan penyelanggara negara dapat melindungi warga negaranya ?





No comments: