11.3.08

Omong Kosong Penyewaan Lahan

Kisah Negeri Salah Urus
Oleh Sahat Tarida

Lumpur Lapindo kini hanya menampakkan lautan kelam. Hunian, ladang sawah tempat bekerja, dan pabrik rumahan tenggelam. Pengungsi tak semuanya mendapatkan ganti rugi—yang layak. Penyelenggara negara menganggapnya sebagai bencana alam.

Bencana alam ini dimulai dari kebijakan penyelenggara negara yang memberikan ijin operasi penambangan di Jawa Timur. Tanpa sepengetahuan warga, operasi dilakukan. Semburan lumpur perdana, diumumkan sebagai dampak dari Tsunami yang menggoncang Jawa. Pembohongan publik semena-mena. Lumpur saat ini menambah luasan area, menggeser hunian dan pusat kegiatan. Anak-anak tanpa sekolah, dan petani tanpa sawah.

Kali ini, pemerintah kembali menunjukkan ketidakmampuannya dalam pengelolaan negara. Tak mampu—paling terang tak mau. Diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2008 menunjukkan itu. PP No.02 tahun 2008 berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan yang berlaku di Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Dalam peraturan ini, pemerintah memberikan kewenangan pada siapapun untuk mengelola hutan lindung dengan sistem sewa. Tarifnya murah, hanya Rp. 300 permeter persegi untuk hutan lindung, dan Rp.120 permeter untuk hutan produksi. Jika dihitung, biaya sewa perhektar lahan hutan hanya sekitar Rp. 1.800.000 hingga Rp.3.000.000. Biaya sewa lahan hutan lebih murah dibandingkan seliter minyak goreng.

Bencana Ekologi Terencana
Pertemuan Internasional Perubahan Iklim di Bali beberapa waktu lalu merekomendasikan upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang timbul akibat aktifitas manusia. Tak hanya diakibatkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil, perubahan iklim sejatinya didukung oleh kerusakan lingkungan.

Indonesia, merupakan salah satu negara penyumbang terbesar untuk kerusakan lingkungan. Lautnya, hutan dan gunung kerap diperkosa. Tanpa upaya pemulihan yang memadai dan berkelanjutan. Aneka kebijakan telah diterbitkan, untuk mengatur penggunaan dan eksploitasi lingkungan yang ramah. Apa lacur, sistem hanya untuk dibuat. Sekian peraturan diluncurkan kembali, aturan dan perundang-undangan timpang tindih.

PP No.02/2008 salah satunya. Peraturan serupa dibuat pada era Megawati—menjelang akhir jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemilu—jika jadi dilangsungkan, tinggal satu tahun lagi. Yang berarti pertarungan politik skala nasional memperebutkan kekuasaan. Di sini tampak modus yang hampir tak beda. Kontroversi dimunculkan kembali. Kebijakan ini secara langsung mementahkan komitmen Indonesia dalam kepemimpinan kolektif untuk mengupayakan pengurangan perubahan iklim.

Banjir, longsor bukan semata kehendak tuhan apalagi fenomena alam yang terjadi begitu saja. Namun, prilaku terhadap alam yang mendorong terciptanya sebuah fenomena.

Perkembangan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarah menunjukkan sinergi harmoni antara manusia dan alam. Hal ini membekas dalam prilaku masyarakat modern yang masih menempati hutan dan lingkungan pedesaan. Tak semena-mena memperlakukan lingkungan. Tindakan tidak terpuji justru lahir dari rekomendasi kebijakan yang dilahirkan pemerintah pusat—yang memberikan ruang untuk operasi industri. Sebut saja Freeport di Papua atau Newmont, di Nusa Tenggara atau Sulawesi Utara.

PP no.02/08 menambah keluwesan industri untuk kembali mengekspolitasi lingkungan. Tanpa memberikan kepastian pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkannya kelak. Pengusaha industri dengan nyaman berlindung di balik ketiak pemerintah, dan ini nampaknya akan terus berulang. Kasus Lapindo memberikan pelajaran, bahwa pemerintah tidak tegas dalam menjalankan aturan hukum. Dari Rp.300, bukan tak mungkin pembayar pajak menanggung Rp.3.000.000 untuk recovery terjadinya kerusakan yang makin parah. Jadi, patutkah rencana ini disetujui?

1 comment:

korban lapindo said...

ketika pemegang kuasa berselingkuh dengan pemilik harta, maka negara seolah milik keluarga. Dan tumbalnya selalu rakyat jelata.

Konon dijaman2 lampau, pemuda dan mahasiswa selalu menjadi garda terdepan memperjuangkan hak rakyat. Tapi kenapa dalam bencana Lapindo ini rakyat korban dibiarkan oleh elemen bangsa?

Kapan FPPI mendidik rakyat korban lapindo dan bergerak bersama kami, untuk mendidik penguasa dengan perlawanan?

salam setengah merdeka dari Sidoarjo,

korbanlapindo