27.3.08

Catatan dari Ujung Kulon I



220 km dari Jakarta. Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang-Banten. Di sana, terselip kisah, tentang semangat warga yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Hak atas tanah, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak untuk kehidupan yang layak. Sebagian besar dari kita masih bertarung untuk mendapatkan itu semua. Warga Ujung Kulon tidak sendiri.

Kampung Legon Pakis. Di sana, listrik tidak ada. Pak Kadir, seorang juragan kopra—hanya dia yang memilikinya. Minggu ini, Kamsah putri Kadir dinikahkan. Meninggalkan kesan pada dinamika perjuangan seorang kawan. Seluruh kampung ramai, orang dari luar kecamatan turut diundang.

Legon Pakis saat ini dirundung sedih. Sudah tiga orang mati. Sakit panas dan liver. Di sana tak ada layanan kesehatan. Warga masih mempercayakan pengobatan pada dukun ataupun mantri. Seorang warga masih bertahan dalam kesakitannya. Perutnya membesar, tubuhnya melayu. Jasa rumah sakit di ibukota propinsi pernah dicoba. Tehnologi modern membantu si sakit mengempiskan perut yang membusung. Sekali sedot, mampu mangambil sepuluh liter air dari tubuh. Perut mengempis, tapi tak berapa lama. Sedang untuk penggunaan peralatan kesehatan membutuhkan biaya. Di sana, desas-desus tak bisa dibendung. “Ini hasil guna-guna”—kata warga kampung.

Cikawung Girang, sekitar sepuluh kilometer dari Legon Pakis menggunakan kendaraan roda dua. Lebih cepat menembus hutan. Resikonya—ular hitam. Jika terpatuk, tubuh hanya akan bertahan dalam bilangan jam. Carik Udin, menceritakan beberapa pengalaman. Ada yang selamat dari patukan si bulat hitam, itupun dengan merelakan sebelah tangan. Ular hitam, menurut orang-orang adalah ular yang sangat mematikan. Semakin dewasa ia, semakin memendek ukuran tubuhnya—semakin keras bisa-nya.

Di Cikawung Girang, seluruh masyarakat bermasalah dengan pengelola taman nasional. Hutan yang menjadi tapal batas wilayah masyarakat dengan balai, dimajukan secara sepihak sampai memasuki lahan garapan warga. Kang Rohman, kepala rukun tetangga tak tinggal diam. Tahun lalu ia datang ke Jakarta, meminta solidaritas perjuangan. Rohman menembus lima jam jarak Ujung Kulon-Pandeglang, dilanjutkan tiga jam Pandeglang-Jakarta. Ia tak tahan naik mobil, apalagi yang ber-AC. Tetapi ia meneguhkan, derita yang ia rasakan tak berbanding dengan derita yang ditimbulkan dari hegemoni kekuasaan. Hutan diperluas, menggusur lahan garapan dan pemukiman warga.

No comments: