5.3.08

Pluralitas Sebagai Modal Sosial

Front Perjuang Pemuda Indonesia atau FPPI lahir dari komunitas-komunitas aktivis yang plural. Bagi mereka, perbedaan merupakan modal sosial yang berharga untuk pengorganisiran masyarakat.


Yusran, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Makassar, Sulawesi Selatan. Pria berkacamata yang hafal 30 juz Al-qur’an ini menghabiskan masa remaja dan sekolah menengahnya di pondok pesantren Tarbiyah Takalar. Setamat dari pesanten, dia memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta. Di kota ini, rupanya Yusran menjadi mahasiswa yang tak puas hanya dengan 3D (datang, duduk dan dengar). Sebagai santri yang punya minat besar pada kajian Al Qur’an, Yusran bergabung dengan Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz Al-Mizan, sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang concern pada kajian, hafalan, dan berbagai kegiatan seni Al Qur’an.

Kuliah, mengaji dan dan berdiskusi. Begitulah Yusran menjalani hari-harinya. Entah karena apa, Yusran lalu tertarik untuk membicarakan banyak hal, di luar topik-topik yang selama ini dia diskusikan. Mungkin karena factor bahan bacaan yang kian beragam, atau cara pandang atas realitas kehidupan yang mulai berkembang. Pria yang kini berambut gondrong ini mulai bergaul dengan teman yang beragam. Ia mulai terlibat dalam obrolan-obrolan tentang keberagamaan, kondisi social masyarakat hingga perpolitikan. Akhirnya Yusran merasa cocok untuk berproses dengan teman-temanya yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi atau lebih dikenal KMPD.

Sejak 1990-an awal, hampir semua aktivis di kota Gudeg mengenal komunitas mahasiswa ini. Di zaman Orde baru dulu, kelompok ini dikenal sebagai komunitas aktivis mahasiswa yang radikal. Advokasi masyarakat Kedung Ombo, demonstrasi penurunan Bupati Bantul Sri Roso yang masih keluarga Soeharto merupakan sebagain dari peristiwa sejarah yang membuat kelompok ini dikenal.

Sejak zaman dulu aktivis KMPD berusaha membangun komunikasi dengan komunitas-komunitas serupa di kampus lain, bahkan di luar kota. Kendati aktivis di kelompok ini sebagian berlatar belakang santri atau pendidikan pesantren, mereka tak pernah melihat perbedaan agama atau etnis dalam menjalin jaringan kerja dengan komunitas lain. Maka tak heran bila setelah reformasi 1998, mereka bersama seluruh jaringan organisasi gerakan mahasiswa yang telah terbangun sejak era 1990-an mampu membentuk Front Perjuangan Pemuda Indonesia atau FPPI.

Di kota Yogyakarta, komposisi basis kampus organisasi ini cukup plural. Lihat saja dari asal kampus mereka. UIN Sunan Kalijaga, Universitas Sanata Dharma, Atmajaya, Janabadra, UPN Veteran hingga UGM. Maka tak heran bila toleransi beragama bukan lagi isu yang relevan bagi mereka karena mereka tak merasa ada sekat antar teman yang berbeda agama.

Seluruh aktivis dari UIN Sunan Kalijaga pasti beragama Islam, dan hampir semua yang dari Universitas Sanata Dharma beragama Katholik. Mereka hidup dalam satu rumah kontrakan yang biasa mereka sebut base camp. “Saat adzan berkumandang diskusi harus dihentikan untuk memberi kesempatan sholat bagi yang Muslim. Begitu pula saat Sabtu sore atau Minggu pagi, banyak teman Muslim yang meminjamkan motor atau mengantar teman-teman Katholik dan Kristen ke gereja” Yusran bercerita.

Dari kampus Universitas ada Pangihutan Blasius Sihaloho atau biasa dipanggil Iyut. Mahasiswa asal Jambi ini lahir dan tumbuh dalam keluarga dan lingkungan Katholik. Iyut mengaku awalnya mengikuti LDK (latihan dasar kepemimpinan) yang diselenggarakan oleh BEM UJB. Lantas enam bulan kemudian baru mengkuti pelatihan kader SMPR (Sarekat Mahasiswa Peduli Rakyat), basis FPPI di kampusnya. Ketika ditanya kenapa tidak masuk organisasi mahasiswa yang berbasis keagamaan, ia mengaku karena latar belakang pemahaman agamanya yang cukup minim. Selain itu memang karena dinamika di Universitas Jana Badra, tempat ia kuliah, tidak didominasi oleh organisasi pergerakan yang berbasis keagamaan. Dan pada akhirnya dengan pilihan rasional, ia memilih FPPI sebagai organisasi pergerakannya. “Di dalamnya persekawanan cukup baik, ada solidaritas, dan cara pandang melihat situasi cukup akomodatif,” kesannya pertama kali terhadap FPPI.

Berbeda dengan Veronica Indrianingrum atau biasa dipangil Varo. Kesan pertama yang ia rasakan, FPPI adalah organisasi yang serius dan akomodatif. “Dari banyak organisasi yang sudah saya lihat dan ikuti, FPPI membuat saya ingin berbuat sesuatu. Intinya dari orientasi sertifikat menjadi “hidup rakyat…!” ungkapnya dengan penuh semangat. Soal perbedaan di dalamnya, Varo dengan tegas mengatakan sudah terbiasa dengan keberagaman. “Keluarga saya adalah keluarga katolik, tapi salah satu kakek saya muslim dan sebagian saudara juga ada yang Kristen. Jadi sudah terbiasa dengan keragaman,” imbuhnya.

Baik Yusran, Iyut maupun Varo tak memerlihatkan sekat bergaul sama sekali. “Kami sudah terbiasa tinggal dalam satu rumah kontrakan bersama teman-teman yang berbeda agama,” kata mereka. Mereka bersepakat bahwa perbedaan dan keragaman, baik agama atau ras, merupakan suatu keharusan di muka bumi ini. Namun bukan penghalang untuk membangun cita-cita bersama.

Aditya Rahman, ketua FPPI pimpinan Kota Yogyakarta, sangat bangga dengan pluralitas kader yang ada. Menurutnya, sejauh ini tidak pernah ada pertentangan sekalipun. Bisa saling memahami, berkomunikasi dengan baik dan menghormati perbedaan yang ada. Ia juga mencontohkan ketika lebaran atau natal, banyak pengurus organisasi yang minta libur dan organisasi mengizinkan. “Kalau rapat yang mau sholat diizinkan sholat dan yang mau ke gereja diizinkan ke gereja,” jelasnya.

Bagi kader FPPI, perbedaan kepercayaan bukan persoalan yang harus diperdebatkan bahkan dipermasalahkan sebab pada intinya kepercayaan bersifat personal, hubungan hamba dengan Tuhannya. Beda agama bukan berarti beda prinsip dalam bermasyarakat dan cita-cita pembebasan nasional menuju demokrasi kerakyatan.

Ketika ditanya tentang komentar orang lain atas aktifitas mereka, beragam jawaban bermunculan. Varo mengatakan bahwa keluarga dan teman-temanya mendukung tetapi dalam taraf memberikan semangat secara moral saja. Sedangkan beberapa dosen ada sebagian yang kritis dan concern juga dengan masalah-masalah kerakyatan tetapi di kampus seperti Sanata Darma mereka lebih memilih moderat karena sudah masuk dalam lingkungan sistem. “Yang lain lebih menyuruh saya study orented daripada social orented, padahal udah jelas motto Sanata Darma itu adalah memadukan keunggulan akademis dan nilai-nilai humanistik,” ceritanya panjang lebar.

Tak beda jauh dengan cerita Pangihutan Blasius Sihaloho, cowok kelahiran Jambi ini sepenuhnya mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari keluarga, dosen, teman dan saudara. “Teman-teman men-support, baik dari LKM atau Permahi (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia). Orang tua juga mendukung dengan catatan menyelesaikan dan mendahulukan studi,” tutur Iyut dengan tersenyum.

Beda halnya dengan Yusron, kader FPPI yang sempat kuliah satu semester di UMI Makassar ini. Ia dengan susah payah meyakinkan keluarga dan orang-orang terdekatnya agar mau memahami sikap dan pilihannya. “Bapak saya NU, ibu saya Muhammadiyah dan saya sendiri bertekad memilih untuk keluar dari mainstream politik aliran tersebut,” ceritanya.

Pluralitas sebagai Modal Sosial

FPPI sendiri dideklarasikan di Jakarta tahun 2000 silam. Organisasi ini lebih memilih menggunakan terma pemuda supaya lebih memperluas keanggotaan. Namun sebagian besar kader atau anggotanya memang mahasiswa perguruan tinggi. Menurut Aditya Rahman, organisasi ini telah memiliki cabang atau pimpinan kota hampir di seluruh propinsi, termasuk Yogyakarta. Dari database FPPI Yogyakarta, jumlah kader FPPI Jogja kurang lebih 200 orang yang terdiri dari 60% beragama Islam, 35% beragama katolik, dan 5% dari selain Islam dan Katholik. Terdiri dari beberapa etnis serperti Jawa, Sunda, Madura, Lombok, Kalimantan, Batak, Irian, Sulawesi, Sumatra dan lain sebagainya. “Kalau di kongres kemarin yang hadir cuma 105, tetapi yang tidak hadir lebih banyak. Terdiri dari bermacam kampus seperti UIN, UMY, USD, UAJY, UJB, UPN, UTY, UGM, UNY, dan kampus-kampus lain,” terang Adit. Di samping basis kampus, FPPI Yogyakarta juga mempunyai kader yang berlatar belakang buruh, petani dan pedagang kaki lima berkat proses advokasi dan pengorganisiran yang telah lama dilakukan.

Untuk mengelola keberagaman ini, tambah Adit, harus disiasati dengan persekawanan atau pendekatan kultural, bukan pendekatan formal yang dikedepankan. “Sebenarnya bukan mengelola tetapi mengikuti alur saja karena itu sensitif dan personal,” jelas mahasiswa Universitas Sanata Dharma ini.

Menurut Adit, potensi organisasi ini terletak pada diri seorang kader untuk mengelola potensi diri sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Dari potensi yang dimiliki setiap kader, kelak akan terbangun sinergi social yang sangat kaya karena mereka berasal dari lingkungan keagamaan dan social yang beragam. Bagi kami, terang Adit, pluralitas merupakan potensi berharga yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pengorganisasian social masyarakat yang memang plural. Dengan kohesi social yang kuat, baru dimungkinkan untuk membangun cita-cita dan kerja bersama.

Lebih lanjut, Adit mengatakan, bahwa selain mendidik dan mengembangkan potensi kepemimpinan kader, FPPI secara organisasi juga menjadi fasilitator untuk melakukan kerja-kerjka riil di masyarakat, seperti advokasi kebijakan, pendampingan, dan pendidikan kader.

Selain kegiatan di atas, FPPI juga kerap membangun komunikasi pemuda lintas etnis, agama, dan ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. “Setiap tahun kita selalu melakukan buka puasa bersama, kita juga pernah menyelenggarakan kursus politik bagi teman-teman paroki Katholik,” kata Adit.

Organisasi kepemudaan ini lahir dengan menyebut “Nasional Demokrasi Kerakyatan” sebagai ideologinya. Dengan ideologi tersebut, mereka mampu mengelola pluralitas yang ada demi cita-cita nasional yang lebih akomodatif terhadap keragaman. Tak ayal bila kader FPPI tampak merasa nyaman dengan perbedaan yang ada. Bagi mereka, berbeda kepercayaan bukan berarti berbeda cita-cita.

Ditulis oleh: M. Falikul Isbah

Reportase oleh: Ficky Ubaidillah dan Abdul Aziz



No comments: